Paijo dibuat pusing. Raden Ayu Jumilah masih belum juga mau menyerah. Ia terus mendesak agar hubungan mereka kembali bisa terajut indah seperti yang dulu kala.
“Ada satu hal yang sebenarnya saya malu untuk menyampaikan, tapi saya ingin jujur: saya belum bisa melupakan pengalaman pengalaman indah yang pernah ada di antara kita. Gila “, tulis Ayu dalam e mailnya. Sebuah bentuk kejujuran
dari perasaan seorang perempuan.
Hati Paijo kontan luluh. Ia hanya bisa terdiam. Lidahnya terasa keluh. Jemarinya serasa kaku. Tak ada lagi gerakan jari jemari yang lincah di atas
keyboard. Ia menghela napas dalam dalam. Istighfar. Hanya bisa terpaku di depan monitor dengan jemari yang tertekuk lemas. Tak ada daya.
Paijo lalu mengangkat kedua tangan. Kedua jari jemari telapak tangan itu ia eratkan satu sama lain dengan posisi sikunya masih di atas meja. Ia
menunduk, membenamkan mukanya di punggung jemari yang saling merapat itu. Hm, kenapa bisa begini?, guman Paijo. Ya, pada awalnya Paijo memang tak berniat berkomunikasi yang lebih, atau
bahkan berdiskusi tentang masa lalu. Ia hanya ingin mengucapkan selamat atas tulisan Ayu di sebuah koran di East Java beberapa hari sebelumnya.
“Selamat, Jeng. Seharusnya begitulah anda sebagai seorang tokoh aktivis perempuan. Harus ikut aktif beropini di media massa,” tulis Paijo saat itu. Dan, Paijo tak pernah membayangkan, bila balasan email Ayu seserius seperti itu, walaupun sempat di paragraf awalnya, Ayu menulis:
“Dear Paijo, Tulisan itu lahir dari kondisi yang sangat terpaksa, untuk menyemangati
teman teman saya yang terjun ke dunia politik, khususnya teman teman di East Java. Saya lupa kalau koran itu bukan jurnal, jadi tulisan saya banyak yang di kebiri. Sejujurnya, saya lebih suka menulis untuk jurnal ketimbang
koran, apalagi buletin :)”.
Ada keseriusan jawaban atas pertanyaan Paijo dari email Ayu. Pun begitu dengan humornya yang kelihatan segar dan cerdas. Tapi, paragraf berikutnya itu yang membuat masalah bagi Paijo.
Paijo hanya bisa terdiam. Ia mencoba bersikap bijaksana melihat kondisi seperti ini. Bagaimanapun, ia sangat menyadari, Ayu masih mencintainya. Sudah berkali kali Ayu berusaha menghubunginya, walaupun hanya sekedar
mengucapkan selamat berpuasa ataupun ucapan selamat lebaran saja. Paijo sudah berniat, ia tak mungkin kembali pada masa lalu, kecuali hanya
menengoknya saja untuk pelajaran bagi masa mendatang. Kalaupun kemudian ia bersikap lunak pada Ayu, itu hanya hanya karena ia tak ingin melukai perasaan Ayu. Menjaga perasaan Ayu.
“Jeng, saya tak mengharapkan sesuatu yang lebih dari hubungan kita yang sudah lewat. Saya hanya ingin kita bisa berkomunikasi kembali secara normal seperti sebelumnya. Walaupun ada luka, tapi tak perlu ada dendam. Percayalah, anda pernah berarti bagiku, karena engkau adalah masa lalu yang pernah hinggap dan menyentuh hatiku. Tapi sudahlah, kita punya jalan yang
berbeda sekarang. Kita bisa saling menghargai tanpa harus saling memiliki,”
tulis Paijo menutup kerisauannya sore itu.
Tapi kerisauan itu belum juga mau sirna. Terus menghinggapi Paijo selama berberapa hari lamanya. Membuat pusing Paijo. Menggelitik konsep dan komitmennya. Ayu, ternyata kau masih belum juga menyerah, lirih Paijo dalam dalam.
Padepokan Tebet, 19 Jan 03 (c) GJ
“…….the passion ala Gandhi, meraih kesempurnaan, dan membentuk
peradaban……”
========================================
Pengirim : Gus John
========================================