Batavia, 27 Jan 04.
“Sampeyan tak perlu nglurug (datang berduyun duyun) ke sini,” kudengarkan Kiai Mujurono menjelaskan kepada seseorang yang tadi
menelponnya, di balik hand phonenya. “Kalau ada isu, sampeyan bisa tabayyun ke saya terlebih
dahulu,” kiai Mujurono melanjutkan dengan sedikit tegas.
Kiai Mujurono memang berhak marah. Orang daerah, bila ada masalah biasanya tidak mau menggunakan/melalui mekanisme sistem yang
sebenarnya. Inginnya mereka langsung ke Batavia, ketemu dengan Kiai Semar. Menyampaikan aspirasinya secara langsung kepada Kiai Semar. Mereka seolah olah tidak
mempercayai mekanisme sistem yang sudah ada. Dalam benak mereka, ketemu dengan Kiai Semar secara otomatis bisa menyelesaikan masalah.
Urusan pencalegan memang sesuatu yang sensitif. Terkadang, aspirasi pusat tak sejalan dengan yang dikehendaki oleh daerah. Atau sebaliknya, keinginan daerah dianggap kurang tepat bagi pusat. Hubungan pusat daerah pasca era
reformasi ini memang sering membuat suasana tegang bagi sebuah partai politik.
Inilah dunia politik yang terkadang membuatku kurang tertarik. Orang saling sikut, tendang, intrik sesama teman kawan. Hanya karena ingin dekat dengan Kiai Semar, segala cara dilakukan. Termasuk, rencana kedatangan ratusan
orang Indramayu yang ingin bertemu dengan Kiai Semar, karena merasa tidak puas dengan daftar caleg di daerah mereka yang telah ditetapkan oleh pusat.
Batavia, Agustus 2002.
Padepokan Kemuning itu berdiri megah. Gedung berlantai dua inilah yang menjadi salah satu istana Kiai Semar setelah lengser dari kursi kerajaan
tiga tahun lalu. Kini, setelah istana itu tak lagi
dipakai, Kiai Semar pindah istana di Padepokan Keramat dan Padepokan Gober.
Kuparkir motorku di depan Padepokan Kemuning. Langsung aku masuk ke dalam. Ada janji bertemu dengan Kiai Mujurono. Ingin menyerahkan
lukisan Kiai Semar yang dibuat oleh teman kantorku seorang office boy yang pintar menggambar, sebagai hadiah ulang tahunku.
“Mau bertemu siapa, mas?”, kata seorang security yang menghampiriku.
“Kiai Mujurono ada, pak?” tanyaku.
“Ada, mas. Sebentar ya, saya sampaikan dulu.” Setelah sekian menit security menghubungi Kiai Mujurono, kemudian dia katakan, “Silahkan, mas. Sudah ditunggu di atas”.
Aku langsung naik tangga menuju lantai dua. Di depan pintu, seorang security yang lain kembali berdiri menghadangku. Tapi kemudian dia
mundur ketika melihat Kiai Mujurono datang menyongsong kehadiranku.
“Silahkan masuk, mas ” pinta Kiai Mujurono.
“Inggih, Kiai.” Aku bergegas mengikuti langkah Kiai
Mujurono, memasuki ruangan berkarpet hijau. Tampak, beberapa orang tentu dengan berbagai
kepentingan, duduk duduk di sofa ruang lobbi. Ada mantan menteri, anggota dewan rakyat, kiai, pengusaha dan tokoh tokoh lainnya.
Tapi tak kulihat Kiai Semar. Sepertinya barusan ada rapat pleno penting di padepokan itu.
Kuhiraukan saja Aku langsung masuk ke ruang Kiai Semar. Ruangan itu tidak terlalu luas. Sebuah kursi empuk warna coklat dengan sandaran yang agak tinggi berada di belakang meja dengan seperangkat komputer berspesifikasi
canggih. Sebuah almari arsip di sebelah barat kursi itu. Tasku kutaruh di deretan kursi sofa berwarna coklat dekat pintu masuk. Aku duduk sebentar,
lalu kuserahkan lukisan Kiai Semar ke Kiai Mujurono.
“Semua orang bisa membuat lukisan seperti ini. Tapi tidak ada yang istimewa dari lukisan ini, kecuali bahwa ini asli bikinan teman kantor saya, Kiai,” ujarku membuka obrolan di ruangan yang dianggap oleh banyak orang sebagai
tempat “keramat” karena tidak semua orang bisa dan berani masuk ke ruangan itu.
“Oh, iya?”
“Ini saya serahkan ke Kiai Semar dalam rangka ulang tahun saya, Kiai”.
“Oh, iya. Nanti saya sampaikan. Saya akan pajang lukisan ini di sini,” ujar Kiai Mujurono sambil menunjuk ke dinding sebelah barat.
Sebentar kemudian Kiai Mujurono keluar ruangan. Lalu ia balik lagi diikuti oleh seorang office
boy di belakangnya sambil membawa paku dan martil.
Tidak ada yang membuatku senang hari itu, kecuali lukisan yang kupesan dengan harga seratus ribu dari teman kantorku itu telah
terpajang di ruang Kiai Semar. Dan, ketika Kiai Semar pindah dari Padepokan Kemuning ke
Padepokan Gober, lukisan itu masih terpasang dengan menterengnya di dinding ruangan Kiai Semar.
“Saya mau pinjam komputernya, Kiai. Saya mau up date situs Kiai Darso”.
“Silahkan.” Kiai Mujurono kemudian ke luar ruangan. Kuutak atik keyboard di atas kursi empuk bersandar tinggi. Browsing internet. Up date itu kulakukan dengan begitu cepat karena komputer Kiai Mujurono memang canggih. Kuhiraukan
setiap mata yang memandangku masuk ke dalam ruangan dengan penuh tanya.
Pintu itu memang dibiarkan terbuka oleh Kiai Mujurono, sehingga setiap orang dari ruang rapat bisa dengan leluasa melihatku ketika melewati ruangan Kiai Semar.
Kiai Darso masuk ruangan Kiai Semar bersama Kiai Mujurono setelah ia tadi kulihat lama duduk duduk di ruang lobbi. Keduanya kemudian duduk di kursi sofa yang dekat pintu, sementara aku masih nongkrong di kursi Kiai Semar
yang biasanya diduduki Kiai Mujurono bila Kiai Semar tidak ada. Kita ngobrol banyak hal tentang perkembangan situs Kiai Darso.
Mengingat hal itu, terkadang terbersit kedunguanku, walaupun aku tak ingin
berpikiran yang aneh aneh. Sementara orang rebutan agar bisa mendekati kursi Kiai Semar dengan berbagai cara, dengan santainya aku
telah duduk dengan mancal mancal di atas kursinya di Padepokan Kemuning dua tahun yang lalu. Hidup ini memang terkadang ada framen yang lucu bila kita mengingatnya.
Wisma Bakrie, 4 Feb 04
(c) Gus John
========================================
Pengirim : Gus John
========================================