Padepokan Tebet, 6 Juli 2003, 22:35; Luas tanah kurang lebih 40 x 40 m2, dengan dikelilingi tembok setinggi 2 m. Pohon nangka, mangga, dan sebuah pohon yang entah apa namanya, tapi aku ingat itu seperti pohon yang tumbuh di STM waktu masih di Jl.Kawi dulu (1993 1995), yang sering dimakan teman teman selepas olahraga. Entahlah, apa namanya. Aku lupa, dan aku benar benar tak tahu namanya. Yang jelas, pohon pohon itu berdiri berjajar dekat tembok, dengan begitu setianya. Mungkin, hanya kapak dan gergaji yang akan melepaskan kesetiaan mereka.

Bangunan rumah sederhana namun asri, berbentuk huruf “L”, dengan 6 pintu. Masing masing ada yang berukuran 5 x 5 m, 4 x 4 m. Yang paling kecil, 2 x 4 m jadi perpustakaan Wikusama. Pohon pisang berjejer di belakang rumah. Sementara pohon cemara, tinggi menjulang dengan angkuhnya di depan rumah, berada di tengah tengah hamparan rumput yang menghijau.
Mengkudu, palem, dan mangga, mengelilinginya. Sungguh menyenangkan bila dilihat dari teras rumah.

Bila malam telah tiba, dan bulan bersinar purnama, semakin menambah keasrian; salah satu media yang bisa digunakan untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Bila pagi hari, sekawanan burung dengan kicauannya, terbang dari satu pohon ke pohon yang lain. Entah apa yang mereka kerjakan. Yang pasti, mereka tidak sedang mencari lowongan pekerjaan. Tidak pula sedang membuat laporan, atau hal hal lain yang bersifat mengikat, dan itu kemudian menjadi sebuah beban persoalan.
Burung burung itu hanya mengenal kebebasan

Malam 4 Juli 2003, Cipeng memberiku sebuah novel. Judulnya “Saman”, karya novelis perempuan, Ayu Utami. Selama ini aku tak pernah baca novel, selain novel sejarah karya Pram(oedya Ananta Tour). Akupun tak kenal siapa itu Ayu, si pengarang buku, kecuali pernah bertemu dengannya di Komunitas Utan Kayu (KUK), duduk bersebelahan meja, ketika aku ngobrol dengan mas Ulil Abshar Abdalla.
Aku hanya pernah ketemu Ayu di Stasiun Pasar Turi, karena kita pernah satu kereta dalam perjalanan Jakarta Surabaya. Selebihnya, aku tak tahu siapa itu Ayu.

Tapi malam itu aku tertarik untuk baca “Saman”. Kebetulan, ada acara “Fenomena” di sebuah stasiun televisi swasta, yang membahas tentang kiprah para novelis perempuan Indonesia. Ada Fira Basuki, Djenar Maesa Ayu, Dewi “Dee”Lestari, dan Ayu Utami sendiri. Mereka bercerita tentang prinsip dan filosofi mereka dalam membuat sebuah karya. Plus, sekilas tentang profil mereka.

Aku jadi tertarik. Dalam pandanganku, mereka adalah sosok yang tegar dan teguh dalam memegang prinsip yang mereka anut. Terlepas dari apa yang mereka anut itu, benar/salah dari kacamata moral dan etika sosial.

Aku mulai buka dan baca. Aku baru tahu, bahwa “Saman” adalah roman terbaik versi Kompas 1998. Selama ini, aku hanya tahu, Ayu juga telah bikin novel baru, “Larung” namanya. Tapi aku tak pernah membacanya, karena memang aku tak suka. Tapi khusus malam itu, tidak Aku jadi suka.

Novel itu terus kubaca. Kulanjutkan hingga pagi besoknya, ditemani kicau burung yang hinggap dari ranting ke ranting di pekarangan rumah. Menggoyang daun daun yang masih berembun. Merontokkan bunga bunga yang tumbuh di musim kemarau.

Dalam novel itu, aku jumpau tokoh Laila, seorang jurnalis yang di akhir cerita menjadi patah hati. Ada Sihar, sang insinyur perminyakan yang dikagumi Laila. Ada Rosano, representasi atasan yang tidak memikirkan kepentingan dan keselamatan anak buah aku jadi ingat cerita Noka Robeth tentang polah tingkah direksinya.
Ada Saman, aktivisLSM yang dulunya seorang pastur. Ada Yasmin, yang mencintai Saman, dan sebagainya.

Diceritakan, Laila mendapat job untuk bikin company profile sebuah perusahaan kilang minyak. Karenanya, ia selalu menemani Rosano, anak seorang pejabat yang menjadi kepala proyek sekaligus wakil dari perusahaan tersebut. Di tengah menjalankan tugasnya, Laila sering menjumpai Rosano bertengkar dengan Sihar, pemimpin para teknisi di lapangan. Karena memang terbukti, akibat kesalahan dari Rosano dalam melakukan eksplorasi kandungan minyak bumi, Sihar telah kehilangan beberapa anak buahnya. Satu tewas tercebur ke laut, dan sisanya mengalami luka luka, akibat dari gempa sesaat yang disebabkan oleh adanya kesalahan dalam menjalankan mesin pengeksplorasi minyak.

Berkat kegigihan, dan berani membela anak buah seperti itu, Laila jadi simpati pada sikap Sihar. Mereka kemudian saling jatuh cinta. Uniknya, Sihar telah beranak istri. Merekapun akhirnya berhubungan secara sembunyi sembunyi. Sekedar pacaran, dan Laila pun masih tetap perawan.

Cinta adalah anugerah Ilahi. Demi rasa rindu dan cinta, Laila harus rela pergi ke New York. Di sana ia berharap hanya ingin bertemu Sihar, tanpa terganggu oleh anak istrinya, ataupun ayah Laila. Tapi rencana mereka itu gagal. Sihar tidak datang. Ringkas cerita, Laila pun patah hati, tidak bertemu dengan sang pujaan hati.

Setelah melakukan berbagai macam aktivitas; Tapi aku bukanlah Laila yang patah hati. Aku adalah Wiranggaleng, tokoh rekaan Pram dalam novelnya, “Arus Balik”. Seorang pemuda tani sederhana dari pesisir Tuban yang gagah perkasa, yang rela mengorbankan jiwa dan raga demi membela harga diri bangsanya dari ulah penjajah. Ia hanya seorang pemuda desa, yang karena bukan dari golongan berada, sehingga catatan sejarahpun melupakannya.
Ia tak punya apa apa. Hanya setitik kepedulian yang diaktualisasikan dalam bentuk pengabdian

Sekali lagi,
Aku bukan Laila….
Aku bukanlah Laila…

Dan, akupun mulai tertidur……..
7 Juli 2003, 00:05

========================================
Pengirim : Gus John
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *