Anjing

Oct 14, 2003

Anjing:
Maknanya bagi Sopir Taksi, Ahli Fiqih, hingga Kaum Sufi

Di sebuah senja di antara keramaian lalu lintas jalan raya yang padat, di kawasan Patung Pancoran. Seorang sopir taksi dengan begitu enteng mengumpat “anjing” kepada sopir metromini, ketika bus itu menyerempet, memotong laju taksinya. Sang sopir metromini pun marah tidak terima. Ia menghentikan busnya, lalu turun mendatangi taksi. Maka, terjadilah keributan di tengah jalan yang padat merayap itu. Keduanya mempertontonkan egoisme jalanan yang tak berpendidikan.

Memang, setiap orang akan marah bila dia dicaci maki dengan kata kata “anjing”. Sementara, orang orang yang biasa hidup di jalanan akan dengan
mudah mengumpat “anjing” ketika emosinya sudah memuncak. Itulah kehidupan jalanan di Jakarta.

Sopir taksi dan orang jalanan di Jakarta itu barangkali tak paham, bahwa anjing pun punya posisi “terhormat” dalam hal hal tertentu di wilayah
keagamaan. Jadi tak hanya sekedar buat umpatan.

Memang, dalam literatur kitab kitab fiqih, air liur anjing itu tergolong najis. Berdasarkan ushul fiqih, karena anjing tidak bisa mensucikan dirinya,
maka ia dinajiskan secara keseluruhan. Dalam sebuah hadis diterangkan, bila terkena air liur (dijilat) anjing, harus dibersihkan hingga tujuh kali
basuhan, salah satunya air dicampur dengan debu (tanah).

Uniknya, dalam cerita cerita yang bersinggungan dengan hal hal yang berbau keagamaan, kata “anjing” sering menghiasi dalam berbagai cerita. Misalnya, sebuah temuan sejarah gubahan Ki Sasrawijaya yang “mencengangkan”, ketika
jenazah Syekh Siti Jenar diganti dengan bangkai anjing oleh para Wali Songo, dengan maksud bila masyarakat melihat jenazahnya agar mereka tidak mengikuti aliran Syekh Siti Jenar.

Bagi masyarakat Hindu Jawa, dalam kisah Mahabarata juga disebutkan, ketika Pandawa masuk surga (dalam kamus Islam mungkin disebut “hari pembalasan” [yaumul jaza]) juga disertai dengan anjingnya.

Dalam sebuah cerita hikmah juga diceritakan, seorang wanita tuna susila (WTS) bisa masuk surga hanya karena amalannya ketika dia memberi minum seekor anjing yang sedang kelaparan.

Bahkan, dalam Tafsir Jalalain (kitab tafsir al Quran, dan kitab tafsir yang lain) disebutkan, bahwa seekor anjing bisa masuk surga hanya karena dia setia menemani orang orang saleh yang disebut Quran sebagai Ashabul Kahfi
(QS. al Kahfi).

Dalam kasus penggantian jenazah Syekh Siti Jenar dengan bangkai anjing di atas, ada yang mengatakan, itu sebuah penghinaan. Sebuah langkah yang tidak fair, yang dilakukan oleh para wali untuk melenyapkan ajaran Syekh Siti
Jenar dari bumi Jawa. Tapi, bila fakta itu benar, menurut Sudirman Tebba, itu tidak harus diartikan sebagai sebuah penghinaan, karena walaupun anjing oleh fiqih Syafii dianggap najis dan haram, tapi bagi sebagian sufi, anjing termasuk binatang yang dihormati. Seperti yang dikisahkan oleh Fariduddin Aththar berikut ini:

Suatu hari, Syaikh Abdullah Turugbadi dari Thus mempersilahkan al Hallaj yang datang dengan berpakaian lusuh bersama dua anjing hitamnya yang dirantai, untuk duduk di tempat yang sebelumnya ia duduki ketika ia menggelar taplak dan makan roti bersama murid muridnya. Syaikh memberikan roti kepada al Hallaj. Dan al Hallaj kemudian membagikan sedikit roti itu pada kedua anjingnya. Setelah al Hallaj pergi, murid murid itupun bertanya, kenapa gurunya berbuat baik terhadap tamu lusuh yang kehadiranyya justru
membuat makanan tidak suci lagi? Maka sang Syaikh itu pun dengan bijak menjawab, “Anjing anjing itu adalah keakuan (nafs), mereka tinggal di luar dirinya, dan berjalan di sampingnya (al Hallaj, pen.), sementara anjing anjing kita masih berada dalam diri kita, dan kita (justru, pen.) mengikuti di belakang mereka. Inilah perbedaan orang yang mengikuti anjing dan orang yang diikuti anjingnya. Anjing anjingnya berada di luar, dan engkau dapat melihat mereka, sementara anjing anjing kalian tersembunyi (dalam hati, pen.).”

Maknanya dari kisah al Hallaj itu, anjing merupakan gambaran dari sebuah simbol karakter yang harus dikeluarkan dari diri manusia. Karena ia menjadi simbol, menyebabkan kemudian anjing akrab dengan kehidupan sufi. Termasuk yang dilakukan oleh al Hallaj dan Syekh Siti Jenar.

Itulah pernak pernik tentang anjing. Dia memiliki makna yang berbeda di mata sopir taksi, sopir metromini, ahli fiqih (fuqoha), hingga kaum sufi.
Selebihnya wallaahualam bi ash showab.

Ketika aku menemani….
Cililitan, 12 Oktober 2003; 01:10
(c) GJ

Literatur:
1. Sudirman Tebba, Syaikh Siti Jenar, Pustaka Hidayah, 2003
2. Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, 2001.
3. Fathul Qarib
4. Hadis Sahih Muslim
5. Nyoman S. Pendhit, Mahabarata, Gramedia, 2003
6. al Quranul Karim.

========================================
Pengirim : Gus John
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *