Gadis manis yang telah matang, dialah Nanda, masih suka tersenyum di kedinginan senja ketika Putra kekasihnya menyelesaikan beberapa helai daun pada kegenitan jarinya. Senja menjelang maghrib, taman kota terlihat mengantuk, tapi mereka berdua tak juga bergeming dari sandaran kursi.
Besok malam aku ke rumah bersama Ayah dan Ibu. Putra menatap teduh wanita tercintanya, dan ia mendapatkan senyum manis itu untuk ke sekian kali.
Jangan biarkan kami menunggu terlalu lama.
Pukul 8 malam.
Baiklah.
Lalu, berdua mereka tinggalkan taman itu dengan langkah mesra dipayungi temaram surya yang mulai menua.
Esoknya, pukul 8 malam Putra menetapi janji. Dengan kendaraan Kijang ia berhenti tepat di muka gerbang pagar. Seorang diri ia menjemput wanita tercintanya yang telah menanti di beranda.
Setelah melepas rindu dengan bertukar senyum saja, Putra mengeluarkan cermin bulat seukuran lingkaran bola tenis, menyodorkannya di depan muka Nanda, dan berkata; Berkacalah. Apa yang kau lihat?
Antara bingung Nanda berkaca dan menjawab; Aku.
Apa yang kau lihat? Putra mengulang.
Wajahku.
Putra berbalik, meninggalkan Nanda tanpa menyisakan sekata pun kecuali kebingungan, juga kekecewaan. Malampun berlalu tanpa bisa dibendung diselingi isakan tangis Nanda, gadis manis yang telah matang itu.
Berkacalah, apa yang engkau lihat, kekasihku?
Kedua malam ini, Nanda lagi lagi tak bisa menentukan jawab. Ia demikian ketakutan akan kejadian malam kemarin. Di matanya Putra telah menjadi penyelia kuis tak berketentuan jawabnya. Karena itu ia hanya berdiam saja sembari menatap dalam lelaki yang dicintainya.
Apa yang kau lihat?
Antara cermin, hidung mancung Putra, wajahnya sendiri, Nanda mendapati kegalaun kembali.
Jawablah, sayang. Banyak ketentuan setelah engkau menjawab, jika itu benar.
Aku… Aku tak tahu?
Persis kemarin, Putra berbalik dan melangkah pergi. Untuk kemudian datang lagi keesokan malamnya, pada jam yang sama, pada binaran bulan yang sama, dan kesamaan cermin serta kalimat; Apa yang kau lihat, bidadariku?
Namun gadis manis yang telah matang itu, tak juga bisa menjawab. Kekasihnya berbalik, lalu meninggalkannya dalam kesedihan panjang.
Lusanya, Nanda tak bisa menahan diri. Setelah Putra berkata; Berkacalah, apa yang kau lihat?, ia sambar cermin bulat itu, dan dihempaskannya ke lantai sambil menggugu.
Kau ini. Aku ingin menjadi isterimu, dicintaimu, dinikahimu, dikawanimu, bukan untuk diperlakukan seperti ini.
Iya, tapi sebelum itu, berkacalah dulu, Putra memungut cermin yang telah retak itu, Apa yang kau lihat? Sayang… Apa yang engkau lihat?
Wajahku. Wajahku
Kali ini Nanda yang berbalik, kemudian menghantamkan pintu pada daunnya dengan keras.
Kenapa, Nak?
Wanita berkerudung putih, mengelus lalu mendapat hamburan peluk Nanda bersama reruntuhan tangisnya. Ia kemudian mengajak anaknya ke kamar, melewati lelaki berpeci hitam yang berdiri diam memperhatikan mereka.
Di kamar itulah, Nanda sejadi jadinya bercerita tentang Putra, tentang lamar melamar, tentang cermin, tentang kalimat; Berkacalah, apa yang kau lihat? kepada ibunya yang mendengarkan dengan pengertian.
Setelah reruntuhan air mata anaknya habis, ia berujar setengah berbisik; Kau tahu apa yang membuat kecintaan dan kesetiaan antara aku ibumu, dan kau anakku tak pernah lusuh? Nanda?
Nanda tercenung, sambil menyeka sisa sisa air bening di sisi matanya ia tegakkan punggung. Apa, bunda?
Senyum bijak ibunya lahir, Ketika aku bercermin, berbicara, bekerja, bermenung, berpikir, ber apa apa, aku melihat engkau, Nanda. Aku melihat wajahmu. Dan aku tahu, kau adalah cermin dari aku, aku ialah cermin engkau. Tak ada yang lebih kukenal selain engkau, Nanda. Itu pulalah yang membuat hubungan kita tak bisa diputuskan oleh usia, atau apapun. Tidak juga maut.
Nanda memeluk ibunya, lalu menangislah kedua wanita itu pada lipatan malam dan kesunyian. Dan mata Nanda, lebih bersinar kini.
Untuk terakhir kali, berkacalah, apa yang kau lihat?
Engkau… jawab Nanda pasti.
Jambi, April 2003
========================================
Pengirim : padlimonas
========================================