Padepokan Tebet di waktu subuh, 29 Juli 2003; “Ashsholaatu khairum minaan nauum………..” 2x. Hawa dingin menyelimuti padepokan. Embun mulai mengintip, ingin sesegera mungkin singgah di atas dedaunan. Angin masih suci bersih. Tanpa polusi udara, ataupun karena polah tingkah manusia, di dalam dan atau sekitar padepokan.
Adzan sebagai pertanda panggilan sholat, berkumandang bersahut sahutan. Dari satu masjid, ke masjid yang lain. Entah, masjid itu berada di sebelah mana. Aku sendiri belum pernah menyentuhnya. Tapi suaranya begitu dekat di telinga. Sangat jelas. Begitu jelas, seolah olah mengepung padepokan, tempat untuk meleburkan segala gagasan bagi masa depan Wikusama.
Aku dengar.Terus mendengar, dan hanya mendengar. Tak bisa berbuat apa apa. Adzan itu bagaikan hanya sebuah lagu. Kunikmati, setelah itu anggap saja pergi. Mungkin sekawanan setan telah menjeratku, memperdayaku, membuatku selalu terlena, terlelap oleh belaian malam dan dinginnya pagi. Seperti yang diceritakan oleh khatib khatib kampung di mimbar dakwah ketika aku masih berusia belia, “Setan menebarkan selimut ketika waktu subuh, sehingga membuatmu selalu terlelap, dan mereka juga menyebarkan tepung tepung untuk memejamkan matamu ketika khatib berceramah di sholat Jumat”. Aku jadi kembali teringat pesan khatib yang pernah mondok di Jombang itu. Tapi pagi itu, aku tak bisa berbuat apa apa. Setan begitu kuat telah mencengkeramku. Menyelimuti sekujur tubuhku. Mengunci mataku rapat rapat. Mungkin, imanku berada dalam posisi yang terendah.
Subuh di sebuah hari, tahun 2001.
Suara adzan seorang tua terdengar begitu lantang dari sebuah masjid utama di Cililitan. Letak masjid itu persis di pinggir Sungai Ciliwung; sungai terbesar yang membelah ibukota negara. Sungai yang setiap tahunnya mengirimkan air bah, dan tiap siklus lima tahunannya, membenamkan Jakarta dalam segala ketergenangan dan kekotorannya. Masjid itu besar, seperti telah berusia tua jika dilihat dari arsitektur bangunannya. Aku seperti pernah mengenalnya dalam gambar sebuah buku, yang entah apa judulnya; aku sendiri lupa.
Suara adzan orang tua itu terdengar parau. Membuatku terbangun, lalu bergegas menuju masjid. Aku sampai di masjid, sebelum pak tua menyelesaikan tugasnya. Begitu adzan usai, hampir mayoritas jamaah mengerjakan sholat qabliyah subuh. Aku tak sholat qabliyah, walaupun tahu akan keutamaannya karena pertikaian batin yang sedang berkecamuk.
Jamaah sholat subuh masjid tua di pinggir Kali Ciliwung itu kemudian melantunkan sholawatan syair yang sarat dengan puji pujian kepada Tuhan dan Nabi Nya. Lama, hampir sekitar 20 30 menit. Aku seperti berada dalam lorong lorong kebosanan. Menunggu Hal yang paling tidak membosankan. Dan, sholat subuh itu baru ditegakkan ketika sang imam datang. Menunggu sang imam
Muncul berbagai macam “pertikaian batin” susulan dalam benakku. Kenapa pelaksanaan sholat harus menunggu begitu lama? Bukankah lebih utama mensegerakan sholat, karena itu yang lebih utama asal sudah masuk waktunya? Haruskah waktu utama sholat dikorbankan hanya karena sang imam belum datang?
Berlama lama menunggu imam, seperti ada birokrasi di sana. “Apakah Tuhan membutuhkannya (birokrasi)?” pertanyaan terakhir yang menutup pertikaian batinku.
Ramadlan tahun lalu; Nopember 2002.
Keluyuran selama ramadhlan, silaturahmi dari satu masjid ke masjid, dari satu pesantren ke pesantren adalah hal yang menyenangkan. Aku hanya belajar memahami setiap proses itu. Kuberjalan berpuluh puluh kilo meter. Naik dari satu angkot ke angkot yang lain. Sesekali naik ojek. Hanya bermodalkan sandal jepit, kaos oblong, sarung, dan bekal makanan bikinan Bunda, dan sedikit uang yang cukup untuk selama perjalanan.
Dari Gresik ke Surabaya. Dari Lamongan ke Paciran, menelusuri sepanjang jalur pantura. Dari Pringgabaya, Sendang Dhuwur, Drajat, Tanjung Kodok, Palang, menuju alun alun kota Tuban. Kemudian mampir ke orang orang sering menyebutnya Boom (konon, eks pelabuhan Tuban era Majapahit karena aku cinta peradaban Tuban). Dan bila sudah puas menyapa ombak Laut Jawa, menantang terpaan angin pantai, menggoda bayi bayi kepiting, lalu baliklah pulang membawa beberapa botol dan jirigen berisi penuh legen air dari buah aren.
Dalam sebuah perjalanan itu. Jalanan Pantura begitu lengang. Sunyi sepi. Masih gelap gulita. Kulihat jam masih menunjuk di angka 2:00 dini hari. Aku keluar dari sebuah komplek pesantren. Kusisir setiap jalan beraspal, menuju ke arah barat. Berjalan dan terus berjalan, sambil mencari warung untuk makan sahur.
Hanya satu dua mobil truk berukuran sedang, memanfaatkan jalan yang menghubungkan pantai Gresik Lamongan Tuban itu. Di tengah perjalanan, kadang kujumpai sekawanan anak muda kampung membunyikan musik musik dari alat alat seadanya, membangunkan orang untuk makan sahur. Ember, gelas, timba plastik, galon aqua, gitar, dan ada yang bawa bedug. Mereka tabuh dan bunyikan semua. Ritmenya sangat teratur. Mereka menyanyikan sholawat. Dan, aku hanya bisa mengikuti alunan musik mereka.
“Sahur….sahur….sahur,” teriak mereka berulang ulang, disesuaikan dengan ritme musik yang mereka mainkan. Mencoba membangunkan setiap orang yang rumahnya mereka lewati.
Angin laut menerpa kencang. Dari laut menuju ke darat. Suara deru ombak begitu jelas terdengar menyapa hingga telinga. Cahaya cahaya kecil yang temaram, terlihat di tengah tengah laut, terombang ambing di atas ombak. Mereka adalah nelayan dengan perahunya. Angin itu menerpa setiap pepohonan yang berjejer di tepi pantai. Membuat mereka bergoyang, hingga sampai ke jalan Pantura yang kulewati. Sesekali kutemui jembatan, dan di dekatnya beberapa perahu nelayan yang tidak digunakan. Tertambat di muara, pertemuan antara sungai.dan Laut Jawa.
Kujumpai pula makam di sepanjang jalan itu, dari satu kampung ke makam kampung yang lain. Kadang berada di kiri. Ada pula yang di kanan jalan. Bulu kuduk berdiri. Muncul ketakutan, tapi kemudian aku ingat, bahwa kelak aku pun akan seperti mereka. Tidur di dalam tanah untuk selamanya.
“Kenapa harus takut?”, gumamku. Akhirnya, aku hanya bisa menyapa mereka.
Jam menunjuk 03:00. Akhirnya kutemukan juga sebuah warung. Warung itu menghadap ke utara, menantang angin laut. Kucari posisi duduk yang tepat, agar aku bisa makan sahur sambil menikmati ombak yang sedang mempermainkan, menggoyang goyang perahu para nelayan yang mulai menepi. Setelah sahur usai, kembali kuberjalan. Terus ke barat menuju arah Tuban. Hingga subuh itu tiba. Sampailah aku di sebuah masjid, tepatnya di Paciran.
Adzan berkumandang. Jamaah berdatangan. Kesempatan menemukan masjid itu tidak kusia siakan. Kubersihkan tubuhku. Kuniatkan bersih dari segala kotoran duniawi. Begitupun kotoran yang ada di batin ini. Begitu usai adzan, iqamat dilakukan, lalu sholatlah. Tak ada sholawat apalagi yang berlama lama seperti yang aku temukan di masjid pinggir Kali Ciliwung. Proses sholat subuh di masjid pinggir pantai Laut Jawa itu berlangsung begitu cepat dan tepat waktu, sehingga aku tak sempat untuk ikut berjamaah, karena aku masih sibuk membersihkan tubuhku.
Masjid itu pun kembali senyap. Setelah usai melaksanakan sholat, kembali kuberjalan. Menuju ke barat ke arah Tuban. Kendaraan mulai banyak yang berlalu lalang. Kali ini, tidak hanya truk sedang, tapi angkutan umum (kolt diesel) pun mulai ikut meramaikan lalu lintas jalan. Wanita wanita nelayan sibuk dengan membawa ikan hasil tangkapan suaminya. Mereka menuju ke pasar. Memandang orang orang kampung itu, memberiku ketentraman batiniah yang luar biasa. Dalam benakku, mereka sangatlah beruntung, orang kampung yang hidup di kampung, tidak mengenal Jakarta dengan segala gemerlap dan kemaksiatannya seperti halnya diriku. Beruntunglah mereka
Jalan Pantura itupun kemudian menjadi ramai, dan semakin ramai di siang harinya.
Dari pengalaman sholat subuh di Cililitan ataupun di Paciran, ada yang membedakan dari keduanya. Baik dari segi tata cara ataupun dampaknya. Tapi aku tak kan menarik persoalan ini menjadi persoalan aliran dalam Islam, karena polemik semacam itu tidak dengan serta merta menyelesaikan persoalan. Yang ada justru hanyalah menyisakan kedongkolan dan sifat ke egoan dalam berubudiyah.
Di sini, aku hanya memposisikan diriku yang hanya bisa memprotes bila ada semacam kejanggalan dalam setiap ibadah yang kulakukan. Bagaimanapun, aku tetap berpegang bahwa Nabi SAW sendiri memakruhkan bila umatnya melambatkan sholat dari waktunya (Syekh H. Abdul Syukur Rahimy, Terjemah Hadis Shahih Muslim I IV No. 604 606, cet. Widjaya, 1996).
Dampaknya. Dari sisi soal adzan, kehadiran jamaah, dan proses sholat yang begitu cepat (tanpa harus menunggu sang imam berlama lama), sebenarnya tersimpan nilai kedisiplinan, konsistensi, komitmen, etos kerja. Itulah kenapa orang pesisir cenderung memiliki etos kerja yang tinggi bila dibandingkan dengan orang yang berasal dari pedalaman, yang lebih bersifat paternalistik dan pemalas. Budaya pesisir menyebabkan mereka menjadi orang yang menjunjung tinggi egaliterianisme meminjam istilah Clifford Geertz. Dan bagaimanapun, kultur di suatu tempat/lingkungan akan mempengaruhi adanya perubahan (mental) di lingkungan itu pula. Jadi, jangan samakan dengan ketemu Pak Lurah, Camat, Bupati ataupun atasan yang butuh menunggu berlama lama karena ada birokrasi di sana. Karena menurutku sesungguhnya Tuhan tak butuh birokrasi. Yang dibutuhkan hanyalah etika bila kita menghadap Nya.
Wallaahualam bi ash ashowab.
Pancoran, 29 Juli 03.
© by GJ.
========================================
Pengirim : Gus John
========================================