Pencipta lagu anak anak Abdullah Totong Mahmud yang dikenal dengan nama AT Mahmud ini menerima Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma dari pemerintah RI. Ia dinilai berjasa dalam mengembangkan dan meningkatkan sumber daya bangsa dalam menciptakan lagu untuk anak anak yang dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak.
Penerima Piagam hadiah seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini memang telah menciptakan sekitar 500 judul lagu anak anak. Lagu lagu ciptaannya antara lain Ameia, Cicak, Pelangi, Bintang Kejora, dan Ambilkan Bulan, sangat terkenal dan baik untuk anak anak. Semua lagu ciptaannya mengandung unsur edukasi yang sangat bermanfaat bagi perkembangan kecerdasan dan kepribadian anak anak.
Maka melihat perkembangan lagu anak anak sekarang ini, ia sangat prihatin. Keprihatinan ini dikemukakannya saat wawancara dengan Wartawan TokohIndonesia DotCom di rumah kediamannya, Jalan Tebet Barat II Jakarta, Senin 8 September 2003.
Menurutnya, banyak sekali lagu yang dinyanyikan anak anak bukan lagu anak melainkan lagu orang dewasa dengan pikiran dan kemauan orang dewasa. Anak anak hanya menyanyikan saja. Tanpa pemahaman dan penghayatan akan isi lagu. AT Mahmud mencontohkan dua lagu yaitu “Aku Cinta Rupiah� dan “Mister Bush�.
“Anak kecil mana tahu nilai rupiah atau dolar atau ringgit dan mata uang lainnya. Mereka juga tidak begitu kenal dan hirau dengan George Bush Junior yang melakukan invasi ke Iraq. Mereka belum memikirkan hal itu. Semua itu adalah pikiran dan kemauan orang dewasa yang dipaksa disuarakan anak anak,� paparnya.
Menurut Mahmud, lagu anak anak hendaknya mengungkapkan kegembiraan, kasih sayang, dan memiliki nilai pendidikan yang sesuai dengan tingkat perkembangan psikologis anak. Bahasa dalam lagu anak pun harus menggunakan kosakata yang akrab di telinga anak.
Siapa sebenarnya AT Mahmud? Apakah dia sejak muda mempersiapkan diri menjadi pencipta lagu anak dan melulu mengurusi soal lagu anak?
Masa Kecil
AT Mahmud lahir di Palembang, Kampung 5 Ulu Kedukan Anyar, 3 Februari 1930, anak kelima dari sepuluh bersaudara. Ibu bernama Masayu Aisyah, ayah bernama Masagus Mahmud. Ia diberi nama Abdullah dan sehari hari dipanggil “Dola�. Namun, sebutan nama Abdullah atau Dola kemudian “menghilang�. Nama pemberian orang tua tercatat terakhir pada ijazah yang dimilikinya pada sekolah Sjoeritsoe Mizoeho Gakoe en (sekolah Jepang) tahun 1945. Pada ijazah itu nama lengkapnya tertulis: Mgs (Masagus) Abdullah Mahmoed. Selanjutnya nama ini tidak pernah digunakan lagi, termasuk nama Dola.
Di rumah, di kampung, di kalangan teman sekolah, ia lebih dikenal dengan nama Totong. Pada surat ijazah Sekolah Menengah Umum Bagian Pertama (setingkat SLTP) tahun 1950, namanya tertulis Totong Machmud. Konon menurut cerita ibunya, ketika dirinya masih bayi ada keluarga Sunda, tetangganya, sering menggendong dan menimangnya sambil berucap, “… tong …otong â€? Sang Ibu mendengarnya seperti bunyi “totongâ€?. Sejak itu, entah mengapa, ibunya memanggilnya dengan “Totongâ€?. Nama ini diterima di lingkungan keluarga dan kerabat. Nama lengkapnya kemudian menjadi Abdullah Totong Mahmud, disingkat A. T. Mahmud.
Ayahnya adalah sosok yang disegani, orang yang dihormati di kampung, bekerja sebagai pegawai pemerintah Belanda. Karirnya dirintis dari bawah. Mulai dari Jurutulis, Manteri Polisi, Asisten Wedana, dan Wedana. AT Mahmud mengenal ayahnya sebagai pribadi yang jujur, jalan hidupnya lurus, tidak mau mengambil atau menerima sesuatu dari orang lain yang bukan haknya, bergaul dengan siapa saja, baik di kampung atau di lingkungan kantor.
Pada masa kecil ia tidak langsung diasuh ibu, melainkan oleh nenek yang tingggal serumah. Neneklah yang memandikan, memakaikan baju, menyiapkan makanan dan menyuapi, serta menyediakan susu dalam botol untuk diminum. Ia tidur sekelambu dengan nenek sambil dikeloni. Menjelang tidur, nenek sering menceritakan dongeng bertemakan hal baik dan buruk.
Selama di Palembang keluarganya tiga kali pindah rumah. Dari Lima Ulu pindah ke 14 Ilir, kemudian pindah ke Sembilan Ilir, dan terakhir pindah ke 24 Ilir. Di Lima Ulu mengalir anak Sungai Musi, Sungai Kedukan Anyar, berbatasan dengan kampung Empat Ulu. Di atas sungai dibangun jembatan untuk menghubungkan kedua kampung. Di sungai itulah Mahmud kecil belajar berenang, tanpa pelatih, tanpa pengawasan. Waktu yang dipilih, ketika air dangkal setinggi pinggang. Dengan bertelanjang badan langsung terjun ke sungai. Sampai di air, secara naluriah ia mengepak ngepakkan kedua belah tangan guna mempertahankan kepala tetap di atas air. Cara demikian dilakukan berulang kali, akhirnya ia pandai berenang seperti anak anak lain.
Ketika air pasang, permukaan sungai naik, Totong dan teman temannya bermain lompat lompatan terjun ke sungai beramai ramai dengan gembira dari atas jembatan.
Adalah aneh jika mereka yang tinggal di tepi sungai tidak pandai berperahu. Ditemani satu dua orang kawan, ia belajar mengayuh perahu, hilir mudik di sepanjang Sungai Kedukan. Jika perahu terbalik di sungai, bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan, malahan menimbulkan gelak tawa kesenangan. Setelah bisa, barulah membawa perahu ke Sungai Musi yang lebarnya ratusan meter, dengan airnya selalu beriak tak pernah tenang. Berani berperahu di Sungai Musi menimbulkan kebanggaan tersendiri.
Di 14 Ilir pada bulan puasa menjelang petang, ia biasa bermain petasan. Petasan dinyalakan dengan bara pada obat nyamuk. Mahmud pernah mengalami kejadian memilukan dengan petasan. Ia mengeluarkan petasan dari kantong bajunya, namun tidak disulut. Menurut perasaannya petasan itu dimasukkan kembali ke dalam kantong baju. Ternyata, yang dimasukkan adalah obat nyamuk, sedangkan petasan tetap di tangan. Tidak ayal lagi, sesaat kemudian terdengarlah letusan demi letusan dari kantong bajunya. Ia menjerit ketakutan. Jeritan terdengar oleh tetangga yang berada di dalam rumah. Tetangga itu lari dan melihat apa yang terjadi. Baju yang dikenakan Mahmud pun ditarik dan dirobek secara paksa. Dengan bertelanjang badan ia digendongnya pulang ke rumah.
Orang rumah gempar. Ibunya segera mengambil mentega, disapukan rata di perut sampai ke dada yang tampak memerah. Tinggallah isak dan tangis Mahmud menahan perih. Setelah sembuh, tampak bekas luka di perutnya.
Di 24 Ilir, ia mulai keranjingan menonton film di bioskop. Film yang ditonton film untuk semua umur, film koboi, Tarzan, film musik, atau film produksi lokal. Pergi ke bioskop cukup ditempuh dengan berjalan kaki. Uang untuk membeli karcis biasanya diperoleh dari orang tua. Tidak selamanya orang tua memberikan uang untuk pergi nonton film. Ada waktunya permintaannya ditolak.
Kalau sudah sampai begitu, seperti biasanya ia pergi ke nenek. Merengek rengek minta uang. Neneknya tidak akan menolak apa yang ia minta. Diam diam nenek turun ke bawah rumah, ke kandang ayam. Nenek mencari dan mengambil beberapa butir telur dan dijual ke warung. Uang hasil penjualan telur diberikan kepadanya. Dengan uang itu ia pergi menonton film.
Masa Sekolah
Mahmud masuk Sekolah Rakyat (SD) ketika tinggal di Sembilan Ilir. Setahun kemudian, setelah berumur 7 tahun, ia dipindahkan ke Hollandse Indische School (HIS) 24 Ilir. Kepala sekolahnya seorang Belanda. Di sekolah, ia bukan termasuk anak cerdas. Nilai mata pelajarannya biasa biasa saja. Malahan untuk pelajaran berhitung dan bahasa Belanda ia sering mendapat angka merah.
Ada kenangan yang tak dapat dilupakannya kepada guru HIS yang mengajarkan musik, khususnya membaca notasi angka. Cara guru mengajarkannya sangat menarik. Guru memperkenalkan urutan nada do rendah sampai do tinggi.
Murid murid disuruh guru mengulangi beberapa kali urutan nada. Kemudian, urutan tinggi nada dinyanyikan kebalikannya, dari nada tinggi turun ke nada rendah. Setelah murid menguasai tinggi urutan nada dengan baik, naik dan turun, melalui latihan dengan kata kata, guru mengganti kata kata dengan nama notasi.
Setelah itu, diberikan latihan lanjut membaca notasi angka, seperti menyanyikan bermacam macam jarak nada (interval), bentuk dan nilai not. Sesudah itu barulah murid murid diberi nyanyian baru secara lengkap untuk dipelajari. Cara mempelajari nyanyian demikian sungguh menyenangkan.
Pendekatan pembelajaran notasi seperti dilakukan guru, dipahami Mahmud sebagai latihan kemampuan mendengar. Kemampuan mendengar merupakan salah satu dasar pokok guna bernyanyi dengan tepat dan benar tinggi nada (pitch) sehingga dapat menghindari apa yang disebut bernyanyi sumbang. Di samping itu, pelajaran disajikan dengan cara mudah dipahami, bermakna, dan menyenangkan.
Di sekolah, untuk bernyanyi digunakan buku pegangan yang berlaku untuk semua HIS di seluruh Indonesia (dulu: Hindia Belanda). Judulnya Kun Je Nog Zingen, Zing Dan Mee Kumpulan nyanyian oleh J. Veldkamp/K. De Boer, penerbit: Wolters Noordhoff Groningen. Buku nyanyian ini berisi seratus dua puluh lagu, yang terdiri atas lagu lagu sekolah dan lagu lagu rakyat. Seluruh nyanyian dalam bahasa Belanda. Di samping buku nyanyian berbahasa Belanda, ada pula buku nyanyian berbahasa Indonesia, yaitu Zaman Kesoema oleh Madong Loebis. Buku ini berisi 39 buah lagu, diterbitkan oleh perusahaan penerbit yang sama. Yang menarik dari buku ini adalah sebagian syair lagu berbentuk pantun dengan irama melodi bergaya melayu.
Pada tahun 1942, Pemerintah Hindia Belanda kalah perang, menyerah pada bala tentara Jepang. Saat itu ia duduk di kelas V HIS. Ayahnya telah dipindahtugaskan ke kota Muaraenim sejak tahun 1940. Ia tinggal di Palembang bersama bibi. Dalam keadaan peralihan kekuasaan pemerintahan demikian, ayahnya minta ia berangkat ke Muaraenim, berkumpul bersama keluarga di sana. Ia meninggalkan Palembang menuju Muaraenim dengan kereta api. Muaraenim kota yang nyaman, udaranya bersih. Di tengah kota mengalir Sungai Lematang berair jernih. Di pinggir kota terdapat ladang ditanami padi atau palawija, berpetak petak dibatasi pematang. Baginya kota ini meninggalkan begitu banyak kenangan indah, tempat awal ia menapakkan langkah, yang kemudian membawanya meniti jalan menuju dunia musik.
Di Muaraenim, ia dimasukkan kembali ke sekolah eks HIS, yang telah berganti nama menjadi Kanzen Syogakko. Di Muaraenim ia pernah bermain sandiwara dan mulai mengenal musik. Sandiwara yang pernah ia ikuti adalah ketika sekolah mengadakan pertunjukan pada akhir tahun ajaran bertempat di gedung bioskop. Cerita yang ditampilkan legenda dari Sumatra Barat, berjudul Sabai Nan Aluih dan ia berperan sebagai Mangkutak Alam.
Di kota ini pula ia berkenalan dengan Ishak Mahmuddin, seorang anggota orkes musik Ming yang terkenal di kota Muaraenim. Ming adalah nama pemimpin orkes. Alat yang dikuasai Ishak adalah alat musik tiup saksofon, selain beberapa alat musik lain. Ishak kemudian mengajarinya bermain gitar. Selain terampil bermain musik, Ishak pun ternyata pandai mengarang lagu. Ia selalu mengamatinya, bagaimana Ishak sambil memetik gitar, melantunkan nada nada membentuk alun melodi, kemudian dituliskan pada notasi.
Dua tahun lebih ia bersama Ishak. Ia mendapat bimbingan, pengetahuan dan keterampilan praktis musik. Musik menjadi bahan pokok pembicaraan kemana pun mereka pergi. Ishak memiliki pengaruh besar terhadap dirinya, termasuk dalam hal dorongan mengarang lagu yang mulai timbul.
Pada bulan puasa, biasanya ia dan teman teman turut “membangunkan sahur� sambil bermain musik berkeliling kampung. Ia memainkan gitar, Ishak biasanya pada pikolo (alat musik tiup), dan teman lain pada alat musik pukul. Setelah kembali ke rumah, sambil menunggu waktu makan sahur, sekali sekali ia mencoba mengarang lagu. Apa yang disenandungkan, dituliskan pada notasi. Satu dua baris, tidak lebih dari itu. Belum berbentuk dan tidak pernah selesai.
Ia ingin pandai bermain musik seperti Ishak, bermain saksofon atau alat musik lain. Tapi apa daya, ia tidak mungkin memiliki sendiri alat musik. Siapa yang mau membelikan atau meminjamkannya. Namun, hasratnya untuk mempelajari musik tidak padam. Ia pernah minta izin kepada orang tua untuk belajar musik pada lembaga pendidikan Indonesische Nasionaal School (INS) di Kayu Tanam, Sumatra Barat, yang salah satu bidang spesialisasinya musik. Keinginannya ditampik oleh ayahnya. Sebab saat itu ia masih anak anak, tempat yang akan dikunjungi begitu jauh, situasi dan kondisi pada waktu itu serba sulit.
Lalu Ishak mengajaknya ikut bergabung dengan Orkes Ming. Di samping gitar, alat musik lain yang dimainkannya adalah ukulele dan bas. Ia adalah anggota orkes termuda. Pada umumnya, Orkes Ming selalu dipanggil untuk meramaikan perhelatan pernikahan. Undangan untuk bermain tidak saja datang dari dalam kota, sekali sekali di luar kota, di dusun lain, yang jaraknya cukup jauh.
Ada pertanyaan yang selalu mengusik pikirannya sampai saat ini. Mengapa orang tua, khususnya ayahnya, tidak melarangnya main orkes. Pada masa itu, pemain orkes disebut dengan “tukang musik�. Istilah “tukang musik� mengandung konotasi yang kurang baik.
Ensiklopedi Tokoh Indonesia, Yayat Sudrajat Yusak
========================================
Pengirim : Conan
========================================