Anak saya memiliki serpihan gombal yang derajatnya telah menjadi jimat. Tanpa gombal ini, mustahil dia tertidur. Jika kami sekeluarga harus pergi menginap ke luar kota, semua barang boleh ketinggalan kecuali gombal yang satu ini. Jika barang ini sampai tertinggal, bencana akibatnya.
Anak ini akan menolak tidur semalaman. Ia akan mencari gombal jimatnya itu melebih apa saja. Jika
ia sudah mendekat gombalnya, wahai… anak ini akan segera stoned, mabuk, dan tidur dengan lelapnya. Kami hanya bisa heran, bagaimana gombal bulukan yang tak pernah kenal air ini bisa membuat hidupnya demikian tenteram.
Gombal wasiat itu sebetulnya berasal dari kain sarung yang dipergunakan sebagai selimut saat istri melahirkan. Sarung inilah yang kemudian menjadi karib anak karena sering menjadi pembungkus ketika ia masih bayi dan menjadi selimut ketika ia balita serta tak jarang menjadi selimut berdua antara anak dan
ibunya.
Begitu tinggi frekuensi pemakaian sarung ini hingga ia menjadi kain teraniaya yang aus dalam waktu singkat. Hingga ketika si anak sudah masuk TK, sarung itu telah menjadi kain perca selebar serbet saja lebarnya. Serbet apak inilah yang hingga sekarang masih menjadi teman tidur setianya. Melihatnya lelap sambil menghirup gombal ajaibnya itu sungguh pemandangan yang mengherankan hati. Itu gombal sudah bertahun tahun tak boleh dicuci. Tapi bau inilah satu satunya aroma terapi yang mujarab bagi tidurnya.
Pernah kami diam diam mencucinya. Ketika malam gombal ini kami sodorkan, si anak malah ngamuk
sejadi jadinya. Ia menolak aroma terapi gombalnya yang sudah tercemar bau detergen. Semalaman, kami harus menanggung tidurnya yang penuh krisis. Tidur dengan bekal marah, telah membuat dia mengigau dan banyak
gerak. Sejak saat itu, kami memilih membiarkan gombal ini menjadi kain purba, dengan komplikasi bau yang cuma anak saya yang tega menghirupnya.
Tapi belum lama ini kami mengalami kecelakaan kedua menyangkut soal bau ini. Secara tak sengaja, gombal ini tertindih tidur bapaknya semalaman. Ketika malam berikutnya si anak mencium bau bapak di gombalnya, ia menolak menghirupnya. Ia ingin bau ibu, bukan bau bapak. Kami sadar risikonya jika bau
ibu tidak secepatnya dihadirkan. Akan terjadi geger semalaman. Maka cara instan pun kami tempuh, gombal itu ditindih, digosok, dililit ke segenap tubuh ibunya, dan ketika bau ibu itu telah menindih bau bapak, si anak baru mau menghirupnya dengan nikmatnya. Kurang ajar
Sudah lama saya cemburu pada kedekatan si anak ini dengan ibunya. Tapi malam itu benar benar
menjadi puncak rasa cemburuku. Apa salah bapaknya ini sehingga soal bau pun dia memihak ibunya? Apa kurang tanggung jawabku pada mereka? Setiap hari aku bekerja hingga tak kenal waktu. Aku memberikan yang terbaik untuk mereka sekuatku, sebisaku. Tapi apa balasan mereka pada kerja kerasku ini
Gombal itu benar benar menyinggung perasaanku. Ia bukti kekalahanku di keluarga ini. Betapa aku
yang bekerja keras di luaran tapi istri juga yang mendapat penghargaan di dalam rumah, di depan anak anak. Sekarang kutanya kepadamu anak anakku, beda apa bau tubuh bapakmu dengan ibumu ini? Betul, ibu adalah pihak yang setiap saat merawatmu. Betul, bahwa di waktu kecilku dulu, aku lebih suka menyelinap di ketiak ibu katimbang di ketiak bapak. Betul, jika aku ditantang untuk menggantikan pekerjaan ibumu saat merawatmu, bisa bisa aku terserang stroke dini. Itu pekerjaan berat dan hanya ibumu yang sanggup
melakukannya. Tapi persoalannya ialah, apakah cuma ibumu yang bekerja keras?
Tidak, jawabku. Aku juga bekerja keras untuk menyayangimu. Jika hanya bau tubuh ibumu yang engkau sukai, ini betul betul tidak adil. Belum jika aku tega membuka rahasia besar ini kepadamu. Dengarlah, engkau boleh begitu menyukai bau ketiak ibumu, tapi tanpa setahumu, ibumu adalah juga pihak yang suka menyelinap di ketiak bapakmu kalau bakat manjanya kumat. Jadi anakku, engkau jangan salah sangka pada
bau tubuh bapakmu. (Suara Merdeka)
========================================
Pengirim : Prie GS
========================================