Sore itu kembali hujan membasahi bumi kotaku. Air berjatuhan tiada hentinya. Begitu deras. Kupandangi undangan yang ada di depan mataku. Sore itu aku harus datang memenuhi undangan untuk berdiskusi dari sebuah lembaga lintas agama. Karena di sana aku pasti bertemu dengan banyak orang dari berbagai agama. Yang mungkin saja dapat aku jadikan sumber berita. Atau paling tidak aku dapat melebarkan jaring pertemananku.
Akhirnya air yang sedari tadi turun dengan kecepatan yang tinggi, kini tinggal rintik – rintiknya. Aku mulai berdandan. Kusisir rambut yang sudah panjang sebahu. Kupakai pakaian hangat dan sedikit parfum penghilang bau keringat.
Sesampainya di sana, acara sudah dimulai. Segera aku mengambil tempat duduk di samping seorang perempuan. Kelihatannya ia seorang mahasiswi sebuah akademi atau universitas. Di depan matanya tergantung kaca mata dengan ganggang yang tebal. Tangannya sibuk bermain memutar – mutar pulpennya. Dan stiker di sampul organisernya menyakinkan aku bahwa ia seorang mahasiswi sebuah universitas.
“ Sudah mulai dari tadi ya, Mbak ? “, kataku dengan setengah suara, membuka pembicaraan.
“ Sudah…”, jawabnya singkat. Matanya memandangku sesaat. Jarinya yang lentik membetulkan letak kaca matanya. Kemudian kembali ia menyimak pembicaraan dari seorang pastor yang juga ikut hadir dalam pertemuan itu. Dan sekali – sekali menulis pada sebuah kertas di hadapannya. Aku pun mulai ikut – ikutan menyimak pembicaraan.
Namun sedikit sekali hal yang dapat aku simak. Aku lebih sering mencuri pandang pada perempuan di sampingku ini. Wajahnya cukup cantik. Rambutnya ikal berombak sepunggung. Hidungnya menjorok ke depan seperti bintang film – film India di televisi. Dan nampaknya ia pun cukup cerdas. Ini terlihat dari argumentasi – argumentasi yang disampaikannya menyela diskusi para pemuka agama yang hadir di sana.
“ Ardi Pratama…”, kenalku padanya dengan mengulurkan jabat tangan seusai diskusi.
“ Pieta Saraswati “, jawabnya menyambut jabat tanganku. Dimasukkannya beberapa makalah diskusi ke dalam tas punggungnya. Nama sungguh indah. Yang mengingatkanku pada patung Pietaku, hadiah ulang tahun dari Mama. Hadiah yang diberikan agar aku selalu mengingat pengorbanan Mama selama ini, yang setiap saat siap mengendongku.Dan Saraswati adalah dewi ilmu pengetahuan, seperti orangnya yang tidak hanya cantik tetapi juga cerdas.
“ Mbaknya aktif di mana ? “, tanyaku basa – basi mencairkan suasana yang sedari tadi membeku dingin.
“ O…Saya mahasiswa, tapi jugas bekerja di sebuah LSM yang menanggani tindak kekerasan terhadap perempuan. Lembaga Bina Perempuan “, jawabnya. “ Kalau Masnya dari mana ? “, lanjutnya.
“ Saya dari Warta Rakyat “, jawabku.
“ O…Masnya wartawan ya ? “, tanyanya sekali lagi.
“ Ya…begitulah “, ujarku singkat.
Ternyata dia seorang perempuan yang enak diajak bicara. Pembicaraan kami pun berlanjut. Mulai dari hal – hal kecil hingga persoalan caur marutnya republik ini, yang tiada henti didera pelbagai permasalahan.
Di luar hujan kembali membasahi tanah. Gaduhnya suara air berjatuhan tidak mengurangi suasana pembicaraanku dengan Pieta. Bahkan justru menambah hangat suasana sore menjelang malam. Sesaat kemudian ia meminta ijin untuk menjalankan ibadah sholat maghrib di mushola di samping ruang itu. Ternyata ia seorang Muslim yang taat juga.
Setelah hujan kembali reda, Pieta hendak berpamitan pulang. Aku menawarkan diri untuk mengantarkannya pulang. Kami berdua pun pulang bersama.
“ Boleh kan kalau aku kapan – kapan ke sini ? “, pintaku pada Pieta sesampainya di rumah kos – kosannya. Ia pun mengangguk tanda setuju.
“ Terima kasih ya, Di “, katanya ringan. Aku pun meninggalkannya di teras rumah.
Sejak saat itu aku sering berkunjung ke kos – kosannya. Entah ada alasan atau tidak. Sejak pertama kali bertemu aku sudah simpati padanya. Kecantikkannya. Kecerdasannya. Aku menaruh hati padanya. Jatuh cinta padanya.
“ Pieta…aku sayang sama kamu “, kataku mengungkapkan isi rongga dadaku. Yang selama ini berdesakan di antara tulang – tulang rusukku.
“ Aku juga… “, jawabnya singkat. Namun itu semua sangat melegakan hatiku.
Kami pun bersepakat untuk selalu setia dalam kesukaan maupun kedukaan. Membina sebuah keluarga yang penuh harap akan kebahagiaan. Masa – masa indah itu kami lalui bersama. Meskipun terkadang kami tetap saja dilanda percecokkan yang itu biasa dalam kehidupan bersama. Segala persoalan di antar kami berdua dapat kami atasi bersama.
Namun puncak dari segala persoalan itu adalah ketika kami berdua berencana meminta restu kepada kedua orang tua kami. Mereka melihat ada perbedaan yang tak mungkin untuk disatukan dalam ikatan perkawinan. Ya …perbedaan keyakinan kami. Agamaku dan agama Pieta berbeda. Berbeda. Dia seorang Muslim dan aku seorang Nasrani. Karena itulah orang tua kami bersikeras tak mau memberikan restu dan doanya pada rencana perkawinan kami.
“ Bapak dan Mamamu tak akan merestui perkawinanmu. Dan jika kamu nekat tetap kawin dengan gadis itu, Bapak dan Mamamu tidak lagi mengakui kamu sebagai anak lagi “, kata Bapakku.
“ Tapi….Pak, Aku dan Pieta telah saling mencintai “ , sergahku.
“ Tak ada yang tapi….Ini keputusan Bapak “, bantah Bapak dengan suara yang meninggi.
“ Menikah dengan beda agama itu tak baik, Nak.. Bagaimana nanti dengan anak – anak kalian. Kalau sekarang tidak ada masalah…, Mama yakin kelak pasti perbedaan itu akan menjadi masalah. Kamu akan menyimpan bom waktu, yang suatu saat nanti akan meledak. Dan akan lebih sulit lagi mengatasinya. Percayalah, Nak “, nasehat Mama lembut.
“ Tapi itu akan sangat menyakitkan, Ma “, ujarku.
“ Lambat laun sakit itu pasti hilang “, jawab Mama.
“ Apakah agama dicipta hanya untuk memisahkan satu dengan yang lainnya ? ”, umpat dalam hati malam itu sehabis aku diceramahi macam – macam oleh Bapakku. Bukankah agama diadakan untuk membenahi bumi ini dari segala kehancurannya, yang seringkali disebabkan oleh perbedaan. Dewa Perang Salib nampak masih saja belum mati. Bahkan kini makin menancapkan kuku keangkaramurkaannya. Segala hal selalu dikaitkan dengan perbedaan agama. Dan cinta sudah kehilangan daya kekuatannya untuk menyatukan segala perbedaan itu. “ Kenapa dulu orang mencipta sebuah agama, kalau pada akhirnya itu semua justru mengkotak – kotakkan orang “, umpat sekali lagi dalam hati. “ Atau karena kedangkalanku saja memaknai itu semua “, lanjutku.
“ Bagaimanapun juga aku tetap cinta sama kamu, Mas “ , kata Pieta sesenggukkan dipelukku. Setelah mendengar bahwa dirinya tak mendapatkan restu untuk menikah denganku.
“ Aku tak tahu harus berbuat apa “, ujarku. Kuhempaskan badanku ke sofa di kos – kosan Pieta.
“ Lalu…. bagaimana dengan janin yang ada dalam kandunganku ini,… Mas ? “, kata Pieta patah – patah.
“ Percayalah…aku akan bertanggung jawab dan aku akan membuktikan bahwa perbedaan di antar kita bukan menjadi penghalang bagi cinta kita “ , sergah dengan nada yang agak tinggi.
joanne pray
Mangunjaya, 02/01/05
========================================
Pengirim : yohanes prayogo
========================================