“Mereka yang berebut di Istiglal belum tentu dapat daging kurban”
Tapi, hanya karena sebuah ketukan pintu, kita bisa mendapatkan daging kurban itu. Berharap maupun tidak berharap, kita akan tergopoh gopoh menyongsongnya dan mengucapkan terima kasih kepada panitia kurban yang mau bermurah hati membagi daging kurban.
“Mungkin kita termasuk kaum dhuafa.”
Kata seorang teman yang pada waktu ketukan pintu itu terdengar sedang bersantai menonton televisi dengan hanya mengenakan celana kolor. Wah, jadi malu, katanya. Malu bukan karena pemberian daging kurban itu, tapi karena yang membagi ternyata cuantik sekali.
Maka sambil memakan soto betawi racikan istrinya, dia mendiskripsikan ke dhuafaanya. Mungkin karena semua penghuni komplek tempat tinggalnya sudah bermobil, sementara hanya dia sendiri yang masih setia dengan sepeda motornya.
Tapi tidak ada ketukan di pintu rumah saya. Entahlah apakah saya terlalu berharap? Tapi karena biasanya ada saja yang bermurah hati berbagi daging kurban, mau tak mau harapan itu memercik. Sudah tradisi, kata adik saya, yang langsung melesat begitu terdengar suara serak Pak RT dari speaker mushola dekat rumah.
“Bagi seluruh warga RT Satu RW Empat, diharap berkumpul di musholla untuk mengambil daging kurban.”
Begitulah, berharap atau tidak berharap, dhuafa maupun tidak dhuafa, perayaan Idul Kurban sepertinya memang milik kita semua. Dan sebuah pertanyaan akan segera berkecamuk begitu kita menerima sekantong daging kurban.
“Disate, digule atau disoto ya?”
Mungkin kandungan makna dalam setiap erang dan tetes darah hewan kurban itu hanya menyentuh kulit ari tubuh kita. Sebagaimana ketika Idul Fitri kita diributkan dengan pakaian apa yang akan kita kenakan dan makanan apa yang akan kita sajikan. Padahal daging kurban itu adalah hak kaum yang benar benar dhuafa, benar benar fakir miskin, yang ketika menerima daging kurbanpun mungkin masih bertanya tanya: dimasak pakai apa ya? Persediaan beras menipis, minyak tanah tinggal seiprit, sementara harga bumbu dan sayur mayur naik beberapa kali lipat.
Apalagi bila kaum fakir miskin dan dhuafa yang menerima daging kurban itu adalah mereka yang sedang terkena bencana alam seperti kurban tsunami dan banjir bandang. Ibaratnya rumah sudah tak ada, kompor apa lagi.
“Mungkin semangat Idul Adha perlu diberi pemaknaan ulang”
Sewaktu sekolah, kita mendapat pelajaran tentang bagaimana kewajiban seorang muslim untuk berkorban. Mengikuti jejak keteguhan iman Nabi Ibrahim yang begitu ikhlas menyembelih Ismail, anaknya atas perintah Allah SWT. Keteguhan iman Nabi Ibrahim memang benar benar kokoh dan teruji, hingga Allah SWT mengutus Malaikat Jibril untuk mengganti Ismail dengan seekor kambing. Sejak itulah berkurban menjadi kewajiban bagi muslim yang beriman.
Ingatan renta saya mencoba mengingat bagaimana hitungan jumlah hewan kurban yang pernah diajarkan guru agama saya di sekolah. Kalau tidak salah bagi yang memiliki 40 ekor kambing diwajibkan berkurban 1 ekor kambing. Memiliki sekian ekor kerbau atau sapi harus berkurban sekian ekor. Daging kurban itu nantinya akan dibagi bagikan kepada kaum dhuafa agar mereka bisa ikut merasakan kegembiraan. Kurang lebih begitulah.
“Lalu apa kewajiban mereka yang punya beberapa Kuda, beberapa Kijang, beberapa Panther bahkan mungkin Jaguar?”
Pertanyaan nakal dari adik saya itu sepertinya harus ditanyakan kepada ahlinya. Lepas dari kewajiban dan hitungan hitungan tadi, sepertinya yang harus segera dijawab adalah: “Benarkah siapa saja berhak menerima dan menikmati daging kurban?”
Karena bila daging kurban itu adalah benar benar hak fakir miskin dan kaum dhuafa, “Jangan jangan setiap cuil daging kurban yang kita makan adalah timbunan dosa yang mengendap dalam perut kita.” Bila memang begitu aturannya, sepertinya harus segera ditekankan kepada setiap panitia yang sudah memasang spanduk besar: “Menerima dan Menyalurkan Hewan Kurban”.
Mungkin kita memang tidak berhak, sebagaimana isyarat yang dikeluhkan oleh atasan saya yang setiap menerima daging kurban kok rasanya tidak seenak ketika membeli di pasar atau swalayan padahal bumbu dan cara memasaknya sama.
Dan sepertinya timbunan dosa dalam perut saya tahun ini semakin bertambah karena sebuah ketukan pintu pada malam berikutnya, menguakkan senyum manis tetangga dengan semangkuk gule kambing.
“Ini ada daging lebih, takut nggak habis.”
Ya, Allah. Jangan jangan kita memang benar benar dhuafa. Benar benar miskin. Walaupun mungkin tidak miskin secara harfiah, tapi miskin dalam keimanan.
Kekupu Radja, 24 Januari 2005
(Setiyo Bardono)
========================================
Pengirim : Setiyo Bardono
========================================