Timur sudah menunggunya hampir satu jam diruang tamu. Dia tidak menyalahkan lampu diruangan itu, cahaya hanya datang dari lampu gantung diatas meja ruang makan yang tidak dibatasi tembok apapun menuju ruang tamu.Sampai Devan masuk membuka pintu ruang tamu, lalu dia berdiri terkejut melihat Timur duduk disana, diatas kursi rodanya.
� Kamu belum tidur ?� tanya Devan sambil melempar sepatu berhak dua senti itu kearah rak sepatu disisi pintu.

Dengan sepatu fantofel itu Devan tampak lebih cantik, tubuhnya nampak lebih langsing dan tegap.Tapi Timur diam, dia tidak menjawab pertanyaan istrinya yang baru tiba dirumah pukul delapan malam itu. Timur tidak bergerak sedikitpun dari kursi rodanya, kedua matanya berkedip begitu saja tanpa arti, kedipan yang Devan tidak pernah mengerti.

Sambil melepas kancing jas kerjanya, Devan melangkah menuju lemari pendingin, lalu meraih kotak susu cair dari dalam dan menegaknya begitu saja tanpa gelas,
� Pekerjaanku belum selesai, tidurlah lebih dulu,� ujar Devan sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa diruang tamu yang gelap itu, memejamkan matanya sambil menarik nafas panjang � panjang.

Tapi Timur tetap tidak menjawab apapun, lelaki muda itu duduk diam dikursi rodanya, tanpa mengeluarkan sepatah katapun.Devan membuka matanya, lalu menatap Timur yang masih duduk terpaku menghadap pintu ruang tamu. Perempuan cantik itu mengangkat bahunya tinggi � tinggi, lalu membuang nafasnya begitu saja.

� Apa hidangan malam ini ? � dengan riang dia melangkah ke meja makan, dan mengangkat tudungsaji.Catering datang dengan teratur, hidangannya selalu memuaskan, ada buah segar atau kadang � kadang ada rujak, ditambah makanan pokok bergizi dan snack. Tidak sia � sia rasanya Devan memilih catering itu dan selalu membayar tepat pada waktunya, mereka sama � sama puas. Mata Devan menatap sepotong besar pudding pisang coklat. � Wah, pudding pisang coklat kesukaanmu � Devan tersenyum , lalu sambil berdendang dia menuju lemari makan dan mengambil sebuah piring kecil, perlahan dipotongnya pudding pisang coklat itu sambil terus menikmati aroma coklatnya yang khas.

� Ini, pudding pisang coklat kesukaan mu,� Devan menyodorkan piring mungil itu, � Kenapa pudding ini belum kau sentuh ?� Timur terkejut, rupanya lelaki muda itu sedang melamun.Tapi Timur memalingkan wajahnya, mencoba mengusir wajah Devan dari matanya. Devan menarik nafasnya kecewa, �Begitu,� ujarnya sambil memiringkan kepalanya.

Ada apalagi? Apakah mungkin sebaiknya kami bicara? Tapi bicara untuk apa? Kenapa harus bicara, kenapa harus membicarakan lagi hal � hal yang selalu dikatakan sebagai masalah? Kenapa harus membesar � besarkan sebuah masalah yang lagi lagi tentang itu? Bosan, ketidak puasan, kekalahan? Kenapa? Kenapa lagi kita harus membicarakan tentang � penat � ? Sedangkan sudah cukup berat penat � penat yang lain sudah sesak dikepala dan dihati?? Kenapa lagi kita harus menambah hal hal yang hanya akan menarik emosi dan menaikan tensi darah kita.

�Aku sudah pusing,� erang Devan dalam hati. Tapi perempuan itu lebih memilih tersenyum , meski pahit rasanya.

Dia mencoba relaks di atas sofanya, merenggangkan otot � ototnya yang begitu tegang dan letih sepulang dari kantor seharian. Tanpa disangka rambutnya yang pendek sudah hampir sebahu. Sudah berapa lama dia tidak memperhatikan dirinya, tidak ke salon atau tidak mencoba untuk memperhatikan berat badannya yang terus menerus menurun dari hari ke hari.

Diraihnya sebuah jepit rambut dari meja mungil di pinggir sofa itu, meja mungil tempat foto � foto mereka berderet dihiasi bingkai yang tiada berkesudahan. Wajahnya tampak lebih terang dan ringkas. Kemudian dia duduk tegak disofa, siap mendengar kembali keluhan dan armarah yang sering Timur jeritkan padanya seperti kemarin � kemarin.

Dan biasanya Devan hanya menganggapinya dengan diam. Devan telah belajar banyak untuk menerapkan power of listening pada dirinya, meski diapun ingin menjerit jika dia mampu. Tapi Timur tetap diam.

� Adakah ibu telephone ?� tanya Devan mencoba membawa Timur masuk dunia nyata, bahwa dia tidak hidup sendiri.
Timur membalikan tubuhnya, lalu menatap Devan , istrinya yang cantik. Devan tidak berubah, wajahnya tetap cantik meski belakangan ini dia agak pucat. Kulitnya putih dengan bahu yang tetap tegap seperti dulu, bahu yang yang lebih cocok diberikan pada seorang lelaki daripada seorang perempuan. Tatapan Timur begitu dalam, entah ada apa dalam pikirannya . Sesekali dia menutup matanya, dan membukanya perlahan.

� Well, tidak ada jawaban,� Devan menjawab pertanyaannya sendiri,� Oke,� lalu dia mengambil kesimpulan sendiri , dan kembali tersenyum dan menganggukan kepalanya sebagai tanda � mengerti�.

� Bagaimana dengan berita koran pagi ini?� kali ini Devan melangkah menuju meja kerjanya , sebuah meja yang dilengkapi seperangkat komputer. Didekat meja itu terdapat sebuah kursi santai, kursi malas yang biasa Timur pakai untuk membaca koran sambil menemani Devan bekerja dulu, sewaktu kecelakaan itu belum terjadi lalu melumpuhkan kaki Timur.

Devan mengangkat koran yang tergeletak rapih begitu saja dikursi milik Timur itu, dia membacanya sekilas lalu mencibir, mengangkat bahu sambil menatap suaminya yang masih memandanginya dengan bisu. � Tidak ada berita yang menarik dimatamu, atau tidak ada yang menarik dimatamu,� lalu Devan melempar koran itu ke tempat sampah plastik diujung ruangan.

� Mati � suara Devan memecahkan keheningan yang ada, � Gelap � tambahnya penuh kemarahan. � Tidak ada berita, tidak ada ibu, tidak adalagi makanan yang bisa kau makan, � tambahnya, � Semua sudah habis, gelap, kiamat.� Devan berdiri tegak melawan suaminya, � Bukankah begitu ?� dia bertanya sambil memiringkan kepalanya.

� Biar kubantu kau mematikan duniamu, � ujar Devan sambil bergegas menuju pesawat telephone, lalu mencabut kabel telephone dengan puas. � You see? � Timur terkejut melihat istrinya, sepatah kata hendak keluar dari bibirnya, tapi dia hanya diam sambil menutup matanya. � Kita akan berhenti langganan koran, tidak usah lagi terima telephone dari siapapun, kalau perlu besok aku panggil tukang untuk menutup jendela � jendela rumah mungil kita, agar tidak seekor burungpun bisa melihat wujudmu, � Devan berlari menghampiri jendela ruang tamu mereka dan merapatkan tirainya, � Bagaimana, setuju ? � tanyanya tajam.

�Kita tidak usah lagi langganan catering, dan ..� Devan melompat ke arah pesawat televisi mereka, � Televisi ini kita berikan saja pada mbok Minah tukang cuci kita, tokh kau juga tidak pernah menontonnya, apalagi aku
Aku tidak pernah menonton televisi sepulang kerja, mataku terlalu lelah,� ujarnya sambil memandangi pesawat televisi itu, � Ya kan? � Lalu tiba � tiba dia diam, kembali membalikan tubuhnya dan menatap Timur yang masih menutup matanya rapat � rapat.

� Lihat ini ,� lanjutnya sambil melangkah kearah pesawat telephone yang kabelnya berantakan begitu saja, � Sebaiknya ini kita hancurkan saja.� Lalu Devan melempar benda itu hingga terbentur dinding dan hancur berantakan.

� Devan � pekik Timur. Wajahnya memucat , matanya nanar bertanya � tanya.
� Kenapa?� Devan balik bertanya, � Bukankah kau tidak membutuhkan itu lagi? Dan aku memang tidak membutuhkannya, aku punya ponsel, aku seharian dikantor, dan kau juga tidak pernah memakai telephone itu untuk menelephoneku dikantor.Bukankah kau telah melumpuhkan segala yang kau punya ? Tidak hanya kaki , tapi kau juga melumpuhkan tangan, telinga dan mulutmu?
Bahkan hati dan akal sehat mu?� tanya Devan pada suaminya.

Timur memejamkan matanya lagi, sakit sekali rasanya jiwa ini, hancur rasanya seluruh hidupnya karena kelumpuhan kaki ini. � Sudahlah, mulai malam ini aku akan tidur disofa, � Devan kembali menghempaskan tubuhnya disofa, lalu merebahkan tubuhnya. Dia ingin menjerit, menjerit sekeras mungkin pada suaminya. Kenapa kamu begitu lemah? Kenapa kau buta? Kenapa kau lumpuhkan semua indera mu??Ah tidak ada gunanya. Devan menutup matanya, mencoba menahan perih yang mulai merambat dimatanya, panas dan bisa jadi akan keluar airmata dari sana.

� Untuk apa tidur bersama, setiap kali kucoba memelukmu, kau selalu memalingkan wajah. Kau pikir aku siapa?� bisik Devan, sambil kembali tersenyum pahit.

Timur terdiam, lalu perlahan ditariknya kedua kursi rodanya, menghampiri Devan yang terbaring disofa. Tangannya terlalu gemetar untuk menyentuh rambut dan kening istrinya. Dua tahun mereka baru menikah, terlalu banyak mimpi yang telah mereka buang, terlalu banyak mimpi Devan yang tidak tercapai, anak, piknik keluarga, mengantar sekolah si buyung. Tapi dia begitu kuat , dia memiliki bahu yang tidak pantas dimiliki seorang perempuan, bahu yang terlalu tegap.Timur merapatkan tubuhnya kearah Devan yang terkulai begitu saja menahan sesak.

Tangan gemetar itu akhirnya mampu membelai kepala Devan. Devan membuka matanya terkejut.Timur memberinya senyum,
� Apa kabarnya kantormu hari ini ?� tanyanya lembut.

Devan menatap mata Timur yang menahan tangis, perlahan diraihnya tangan Timur dan ditariknya kepipi, lalu dia menggeleng sedih, � Pak Ronny memarahiku habis � habisan, ada satu arsip yang hilang entah dimana.Padahal aku selalu mengunci lemari arsip, kecuali dia sendiri yang telah lupa, sebab aku yakin ak telah memberikan padanya arsip itu � tangis itu akhirnya meledak.

Timur mencoba meraih tubuh istrinya, lalu memeluknya penuh kehangatan. � Jangan berhenti langganan koran, aku masih ingin menulis , � bisik Timur, � Jangan kau berikan televisi itu pada Mbok Minah, aku masih ingin nonton Tinny toons.� Devan mengangkat dagunya dari pelukan Timur, lalu tersenyum.� Aku masih ingin pudding pisang coklat, � tambah Timur, � Heran perut ini kok tidak lumpuh seperti kakiku.� Mereka tertawa seketika, lalu mata mereka bersimborok, rindu itu terlalu lama dipendam.

� Aku mencintaimu, � Timur meraih wajah Devan lalu menciumnya dalam � dalam, � Maafkan aku.� Devan terdiam, lalu menganggukan kepalanya,
� Tahukah kamu, � ujar perempuan cantik itu, � Cinta tidak hanya di bibir.� Devan menyentuh bibir Timur, � Itu yang aku lakukan, aku bukan pujangga..� Devan lalu kembali menyandarkan kepalanya didada Timur.

�Jangan tidur di sofa ya, � bisik Timur , � Aku mau menciumimu sampai pagi.�
Tawa Devan terdengar geli, � Begitu ya ?�
� Iya , � jawab Timur singkat.

========================================
Pengirim : jeanni
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *