SUDAH beberapa hari ini hujan lebat mengguyur kota ini. Seperti sore ini, awan hitam tebal menggantung bagaikan sarang lebah. Aku segera merapikan meja kerjaku. Aku harus mencapai halte sebelum hujan benar benar turun. Baru saja aku mencapai gerbang kantorku, tampak dari kejauhan orang orang mulai berlari mencari tempat berlindung karena hujan mulai menyirami bumi dengan gerimis kecilnya. Akupun berbaur dengan orang orang tadi, dan berlomba mencapai halte bus yang berada di seberang jalan. Hujan memang terkadang sangat menjengkelkan, seperti sore ini. Aku yakin, aku akan menghabiskan paling tidak satu jam waktukku dengan percuma, untuk menunggu bus yang akan membawaku pulang. Karena bila hujan begini, biasanya hanya sedikit bus yang jalan. Para sopir lebih memilih ngetem di pangkalan dengan ditemani segelas kopi panas sambil bercanda dengan penjaga warung yang kabarnya baru saja cerai dari suaminya.
Aku bersyukur sore ini, halte yang biasanya ramai tampak lenggang. Aku bisa duduk dengan tenang sambil memandang ke jalan raya. Jalanan tampak sepi. Hanya yang beruntung memiliki mobil yang dapat dengan santainya meluncur membelah derasnya hujan. Pengendara motor yang mencoba nekat, harus rela basah kuyup walau telah mencoba melindungi diri mereka dengan jas hujan. Entah mengapa sore ini hujan begitu lebat dan disertai angin kencang.
Kulirik arlojiku, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Bus yang aku tunggu belum juga muncul. Aku mulai bosan. Kucoba mengedarkan pandanganku untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa menghilangkan kejenuhanku, atau paling tidak sedikit lebih indah dari hujan sore ini. Tapi usahaku sia sia, tak ada yang lebih baik. Tangisan langit terkadang membuat semuanya ikut bersedih. Dan mataku terhenti pada seorang gadis yang tengah menatap lurus ke depan. Tampaknya ia tengah ada masalah, atau mungkin ia tengah bersedih. Aku hanya menebaknya. Tapi kemuraman yang terpancar dari wajahnya, memaksaku untuk berpikir demikian. Kulit putih wajahnya tampak kusut dan suram, matanya yang bulat mengkilat berkaca. Tak terasa air yang menggenangi pelupuk matanya mulai tumpah. Air itu terus mengalir menuruni pipinya. Gerangan apakah yang membuatnya menangis?
Aku mencoba lebih dekat dan menggeser dudukku. Sekarang aku telah berada tepat disebelahnya. Ia diam saja, seolah tak menyadari keberadaanku. Dengan suara lembut dan penuh kesopanan kusapa dia.
“Ada apa, kok nangis?” ia menatapku, tapi sesaat. Ia lalu menunduk.
“Kamu kabur dari rumah ya? Tanyaku, karena kulihat tas bawaanya penuh sesak, pasti pakaian pikirku. Tetap diam, tapi kali ini ia mengangguk. Aku mulai tertarik untuk mengetahui kisahnya. Aku bahkan mulai berharap bahwa hujan ini jangan dulu reda.
“Masalahnya apa? Ceritalah, mungkin saya bisa Bantu.” Ia menatapku lagi. Kali ini cukup lama. Mungkin ia tengah mencari ketulusan kata kata diwajahku. Dan kalau benar ketulusan yang dicarinya, aku yakin ia akan menemukannya, karena aku memang benar benar tulus ingin membantunya.
“Mas percaya pada cinta?” tanyanya tiba tiba. Aku langsung mengerutkan dahiku. Pertanyaan yang sama sekali tak kuduga. Terus terang aku bingung menjawabnya. Aku sendiri baru saja kehilangan cinta, jadi apakah aku bisa percaya adanya cinta?
“Ya”
“Cinta sejati?”
“Ya”
“Seratus persen?”
“Ya,” Kali ini aku berbohong, aku tak tahu apakah cinta sejati itu benar adanya, atau hanya ada dalam cerpen saja.
“Mas percaya kalau ada orang tua yang sangat mencintai anaknya?”
“Pasti,” jawabku mantap.
“Apakah Mas setuju, jika ada orang tua yang karena alasan cintanya, ia lalu mengorbankan cinta anaknya?”
“Maksudmu?” aku semakin tak mengerti dengan kata kata gadis ini. Dari tadi ia mneyerangku dengan pertanyaan. Aku telah mencoba memahami setiap makna pertanyaannya, tapi aku tetap saja bingung.
Aku lalu memesan dua gelas jahe hangat pada sebuah angkringan di sebelah halte. Aku berharap minumn ini dapat sedikit menghangatkan kami.
“Minumlah,” tawarku, sambil menyodorkan segelas jahe hangat padanya. Angin semakin kencang, aku mulai kedinginan.
“Kamu kedinginan ya?” tanyaku ketika kudengar gemeretak giginya beradu karena berusaha menahan dingin. Tadi memang ia paling akhir mencapai halte sehingga bajunya agak basah, dan itu yang membuatnya menggigil. Segera kubuka jaketku, lalu kuberikan padanya.
“Pakailah,”
“Aku cukup kuat menahan dingin,” kataku berbohong. Aku yakin, besok aku pasti bolos kerja karena flu akan menyerangku malam ini. Tapi sebagai laki laki aku harus melindungi wanita.
Ia lalu mulai menceritakan kisahnya. Mengapa ia sampai kabur dari rumah?. Itu semua berawal ketika orang tuanya memutuskan untuk menikahkan kakak perempuannya dengan seorang laki laki pilihan orang tuanya. Tapi kakaknya menolak karena tidak mencintai laki laki itu. Lagi pula kakaknya telah memiliki kekasih yang sangat dicintainya. Orang tuanya memilih laki laki itu, karena dinilai lebih mapan pekerjaanya. Sementara kekasih kakaknya hanya tenaga honorer di sebuah kantor pemerintahan. Ini memang sering terjadi. Manusia selalu menilai sesuatu dari sudut pandang materi. Apakah mereka tidak tahu, atau pura pura tidak tahu bahwa cinta tidak butuh semua itu?. Mereka tidak pernah berpikir betapa merananya hati yang terpisah dari pasangannya, untuk kemudian dipaksa hidup bersama hati yang sama sekali asing baginya.
Mulai saat itu kehidupan keluarga mereka bagaikan perahu ditengah lautan luas, yang diguncang oleh gelombang menggunung. Setiap awaknya memiliki ego masing masing untuk tujuan mereka. Perahu pun pecah berkeping keping tanpa pernah bisa bertemu pantai. Pertengkaran demi pertengkaran antara orang tua dan kakaknya selalu menghiasi hari harinya. Tak ada lagi cinta, tak ada lagi simponi yang melagukan kebahagiaan, tak ada lagi canda yang menghadirkan tawa keceriaan. Kakaknya pun mulai jarang dirumah, entah kemana?. Kalau pun pulang itu sudah larut malam. Dan si gadis pun harus rela menjadi sasaran kemarahan ibunya yang kesal dengan ulah kakaknya.
Hingga pada suatu malam. Petaka baru datang bagi keluarganya. Kakaknya memberikan kabar bahwa ia akan menikah dengan kekasihnya. Kakaknya telah hamil dua bulan. Mengandung buah cinta kasih mereka. Murka orang tuanya pun langsung meledak tak tertahankan. Malam itu juga, orang tuanya mengusir kakaknya. Setelah kepergian kakaknya. Orangtuanya menjadi murung, terutama ibunya. Bagaimanapun sebagai seorang ibu, kabar kehamilan anaknya tak ubah bagaikan sembilu yang menyayat hatinya. Ia merasa telah gagal mendidik anak. Ia sangat mencintai anaknya. Tapi ia tetap pada keputusannya untuk tidak merestui pernikahan anaknya. Ia tetap menginginkan putrinya menikah dengan laki laki pilihannya yang telah mapan. Semua ini membingungkan si gadis. Ia sangat mencintai orang tuanya, ia juga mencintai kakaknya. Tapi Bagaimanapun juga, ia tidak bisa membenarkan semua tindankan orang orang yang ia cintai. Dan nasi telah menjadi bubur, dan kini mereka harus menelan bubur itu.
Orangtuanya tetap belum bisa menerima semua itu. Suatu hari ibunya pulang dengan membawa sebotol air. Dan air itu diberikan kepadanya. Ibunya menyuruhnya menemui kakaknya, dan meminumkan air itu pada kakaknya. Konon air itu didapat dari seorang dukun. Air itu berkhasiat untuk menggugurkan kandungan. Itulah ceritanya mengapa ia bisa sampai di halte ini, bersamaku sore ini.
“Aku bingung Mas, apa yang harus aku lakukan?” Aku tetap diam. Aku tak menyangka masalahnya serumit ini. Kalau saja aku tahu masalahnya seperti ini, aku tak akan menawarkan bantuanku. Aku sendiri bingung, dan tak dapat membayangkan seandainya aku berada pada posisinya.
“Kalau aku tidak memberikan, aku takut pada ibu. Aku telah berjanji padanya. Aku tidak tega melihat ibu yang terus memohon padaku, agar mau melakukannya. Tapi jika aku memberikannya, maka aku adalah seorang pembunuh. Pembunuh keponakannku sendiri,” ucapnya disela isak tangisnya. Air matanya mulai deras mengalir. Aku tetap diam, aku tak tahu harus berbicara apa. Benar benar buah simalakama, pikirku.
“Tapi kamu percaya akan cinta?” Tanyaku setelah lama terdiam. Lama ia menatapku. Mungkin ia bingung, mengapa aku mengulang pertanyaanya?
“Tentu saja,” jawabnya pelan sekali, bahkan ia sendiri nyaris tak mendengarnya.
“Kalau begitu, kau percaya pada kekuatan cinta. Dan biarkan kali ini cinta menjadi pemenagnya.”
“Maksud Mas?”
“Ya, hidup ini adalah permainan. Kali ini cinta dipermainkan. Dan biarkan cinta yang menjadi pemenang dalam permainan ini”
“Biarkan cinta menentukan pilihannya sendiri. Biarkan mawar itu tumbuh di taman bunga, karena ia akan semakin cantik bersama bunga bunga yang lainnya. Jangan pernah pindahkan dia, semua itu akan merampas kebahagiaan dan keindahannya.”
“Aku semakin tak mengerti apa yang Mas katakan?”
“Kau dengar kata hatimu sekarang. Ikuti kata hatimu, aku yakin hati tak pernah salah. Terkadang kita tak selamanya harus memenuhi setiap permintaan, walau permintaan itu dari orang tua sekalipun.”
Ia menatapku lama sambil mengangguk, mungkin ia telah berhasil menyelami lautan kata kataku. Lalu ia membuka tasnya. Mengeluarkan sebuah botol. Lalu bangkit, berjalan menuju pinggiran halte. Tutup botol itu dibukanya, lalu menumpahkan airnya. Sesaat kemudian botol itu kosong. Airnya jatuh bercampur dengan hujan sore ini. Mengalir entah kemana. Ia berbalik menatapku. Kali ini mendung diwajahnya telah berganti ceria, walau langit tetap saja mendung. Ia begitu cantik.
“Terima kasih Mas.” Hanya itu yang diucapkannya. Lalu melompat kedalam bus yang kebetulan berhenti tepat didepannya. Meninggalkan aku sendiri dengan sejuta tanda tanya.
Dari kejauhan tampak sebuah titik. Semakin dekat semakin membesar, semakin jelas bentuknya. Rupanya bus yang akan membawaku pulang telah datang. Aku segera bangkit menuju sisi halte. Kurasakan tenggorokanku sakit, hidungku mulai sesak. Aku harus cepat sampai di rumah, lalu menulis surat izinku besok. Aku segera melompat ketika bus berhenti di depanku. Bus langsung berjalan. Aku pun telah duduk dengan tenang di sisi jendela. Tiba tiba aku teringat sesuatu.
“Astaga, jaketku
Yogyakarta 14 Oktober 2004
Deddy S. Tamorua
========================================
Pengirim : Deddy S. Tamorua
========================================