Tak seperti biasanya, rumah berdinding papan, beratap seng di Jalan Kom Yos Soedarso No 18 C itu sepi. Tak terdengar suara mesin jahit yang dikayuh dengan kaki. Pun, tak terdengar dendang lagu Rani milik Sheila on 7 yang keluar dari tape kaset merek Sony yang biasa kudengar menjelang tengah hari di rumah itu.
Tumben, sepi, ujarku dalam hati, seperti tak terusik dengan suasana itu. Kupaksakan saja langkah kaki ku hingga di depan daun pintu rumah itu. Assalamualaikum warahmatullahiwabarakatuh. Dina ada, bu?, tanyaku kepada seorang perempuan setengah baya yang tampak tengah asyik merapikan jahitan kain kain spanduk bercap partai.
Oh nak Anton. Dina baru aja keluar. Katanya sih main ke rumah temannya di Jalan Imam Bonjol. Masuk nak, ajak Bu Muslihah yang kukenal tiga bulan lalu saat kali pertama aku mengunjungi rumah Dina, teman sekantorku di usaha percetakan.
Aku tak buru buru menyahut. Kuanggukkan pelan kepalaku. Aku penasaran. Tak seperti biasanya Dina bepergian pada pukul 10.00 WIB seperti ini. dia ada pesan main ke rumah temannya yang mana, bu?, tanyaku lagi.
Ndak ada. Cuma dia pesan kalau ada yang mencari, minta dihubungi lewat Hp nya, sahut Bu Muslihah. Aku pun mengerti, Makasih bu. Saya langsung pamit. Assalamualaikum warahmatullahiwabarakatuh.
Waalaikumsalam warahmatullahiwabarakatuh, jawab Bu Muslihah yang sudah dua tahun ini menekuni bisnis menjahit.
Sebenarnya, kehidupan Bu Muslihah dan suaminya Koharudin terbilang berkecukupan. Koharudin tak kesulitan membesarkan dan memberikan pendidikan yang cukup buat empat anaknya, termasuk Dina, anak ketiga mereka. Apalagi, Dina sudah berpenghasilan sendiri sebagai design grafis di sebuah percetakan terkenal di Kota Pontianak. Namun itulah, keluarga Bu Muslihah, seperti cerita Dina kepadaku, berpegang teguh bahwa rezeki adalah keputusan Allah. Harus giat berusaha untuk mendapatkannya.
Subhanallah, ucapku sambil terus menoleh ke kanan kiri mencari wartel atau kiosphone terdekat untuk menelepon Dina. Kebetulan. Tak sulit menemukannya.
Kuhentikan laju sepeda motorku tepat di halaman menuju pintu masuk kiosphone. Entah kenapa aku seperti tak sabaran mengetahui keberadaan teman baikku itu.
Assalamualaikum, ucapku dan terdengar salam balasan dari seberang telepon. Anton nih, Din, kataku.
Lancar dan deras kalimat mengalir dari mulutku. Mulai dari keberadaannya, apa sampai mengapa, kutanyakan semua. Aku hanya ingin refreshing. Aku ingin menenangkan diri, kata Dina dari seberang telepon memberikan jawaban mengapa ia berkunjung ke rumah temannya. Aku bersyukur, ia tak tersinggung atas pertanyaanku yang sepertinya ingin tahu segala yang dilakukannya. Ndak apa apa. Kamu teman paling baikku. Teman yang mengerti aku. Aku malah lebih senang dengan keterbukaanmu. Selama ini aku sudah capek menerima kebohongan, katanya dengan suara datar.
Kata terakhir itu mau tak mau membuat hati ku berdesir kuat. Kata itu mengingatkanku akan perjalanan cintanya yang kelam. Tiga lelaki dari tiga kali perjalanan cintanya selalu melakukan itu: Kebohongan.
Makanya aku juga mafhum jika Dina perlu refreshing. Penyegaran dari segala keruwetan kehidupan cintanya. Aku ingin mencari arti cinta sesungguhnya, Ton. Kini, perlahan aku mulai menemukannya, kata Dina lagi, membuatku tersadar aku sedang berbicara di telepon dengannya.
Aku hanya diam. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik yang selama ini selalu kulakukan padanya. Cinta sejati itu hanya milik Allah, katanya pelan. Ada ketegaran dari nada suaranya saat mengucapkan kalimat itu.
Lagi lagi, aku hanya diam. Desiran di hatiku bertambah kuat menyeruak hingga ke otakku. Pikiranku menerawang. Entah berapa lama aku tak tahu. Aku terkesima hingga tak terasa mataku berkaca kaca. Tapi aku tak menangis. Aku tak ingin mengacaukan ketegarannya.
Tetaplah mendoakanku ya, Ton. Agar Allah selalu menjadikan kita dan muslim lainnya sebagai orang orang yang istiqomah, pintanya.
Aku mulai mengatur napasku, menjaga ketenangan dan menjawab, Insyallah. Selalu.
Satu jam pun tak terasa berlalu. Cendana pencatat pulsa telah memperlihatkan angka 30200. Aku ingin pamit. Namun belum sempat terucap, Dina berujar, Ton, aku minta maaf, aku harus pamit. Aku juga sudah ingin pulang.
Beb…b..b..baik. Makasih ya Din, kamu masih mempercayakan aku menjadi temanmu, jawabku dengan suara bergetar, entah kenapa.
Assalamualaikum Warahmatullahiwabarakatuh, ucap Dina. Waalaikumsalam warahmatullahiwabarakatuh, jawabku dengan gagang telepon masih menempel di telinga kanan. Samar kudengar bunyi tut, Dina mematikan ponselnya.
Setelah membayar ongkos pulsa di kasir, aku menuju sepeda motorku lantas pulang. Dalam hatiku berdoa, semoga Allah meluruskan niatnya mencintai laki laki tanpa melebihi cinta kepada Nya. Amin. (adies)
========================================
Pengirim : fabyanto
========================================