Dan itulah yang kami lakukan, diam, dibalik keterkejutan kami masing � masing. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan dia sekarang, tanpa janji atau apapun, sehingga aku mungkin tidak siap untuk menyusun kalimat yang akan aku sampaikan padanya setelah berpisah hampir lima tahun sejak November lalu. Tapi wanita itu tidak berubah sama sekali, dia masih memilih memiliki rambut panjang sebahu yang dibiarkan jatuh begitu saja, kulitnya masih berwarna pucat dengan bibir mungil yang selalu dilapisi warna merah jambu kesukaannya, tidak pernah berubah. Kali ini dia mengenakan baju hangat dengan leher tinggi yang hampir menyentuh bawah dagunya, Maya selalu begitu, tubuhnya yang mungil selalu ditutupi lagi dengan baju baju hangat yang besar dan tebal , sehingga dia begitu tenggelam dan terlihat begitu kecil dan polos.

� Hai, � sapaku lebih dulu, saat kami hampir bertubrukan didepan loby.
Dia terkejut sambil mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang menyapa dan hampir menubruknya. Maya hanya diam sambil terus melihatku tanpa ekspresi.Mungkin dia bingung apa yang akan dia katakan padaku, hampir sama dengan kebingunganku sebelumnya.Tapi berhentinya kami ditengah � tengah ruang jalan peron kereta api bisnis Tawang Jaya Semarang rupanya bukan hal yang menyenangkan bagi orang � orang yang lewat lalu lalang. Buru � buru kubantu dia mengangkat tas rollingnya kepinggir , dan dia mengikutiku terbata � bata. � Apa kabar ?� tanyaku sambil mengulurkan tangan setelah meletakan tas barangnya dipinggir. Dengan ringkuh dia membalas jabat tanganku tanpa bicara apa � apa, dan langsung menariknya lagi.

Aku masih menahan senyumku menantikan perempuan mungil itu berbicara. Tapi dia tetap menundukan kepalanya, tanpa mengatakan sepatah katapun. � Hendak kemana?� tanyaku memecahkan kesunyian diantara kita, dan ternyata berhasil, dia seperti dibangunkan dari lamunannya, diingatkan bahwa ada tempat yang dituju dan waktu seolah tak sanggup untuk menunggu. � Oh, aku ditugaskan meliput. Aku harus segera ke hotel � jawabnya sambil menatap mataku penuh mohon, seolah � olah dia meminta agar aku melepaskannya sore ini dari ajakannya untuk berbicara dan berbincang � bincang membalas lima tahun yang terlupakan. Tapi sayangnya belum sempat dia meraih tas barangnya, hujan turun seketika dengan deras, dan yang jelas aku tidak meminta hujan itu datang lalu memaksa kita untuk masuk ke sebuah caf� kecil dan menikmati kopi hangat disore yang dingin itu.

Kami duduk berhadapan dibatasi sebuah meja kayu mungil , udara terasa cukup dingin mungkin karena kami baru selesai mengadakan perjalanan jauh, hingga lapar membuat kami begitu peka merasakan dingin dari hujan yang turun sore itu. Kusodorkan sehelai saputangan untuk mengeringkan rambutnya yang sedikit kena air hujan saat berjalan menuju caf� mungil ini, dia menggeleng sambil mengeluarkan saputangannya sendiri dari tas kecil yang dipangkunya. Aku mengangkat bahuku sambil menganggukan kepala, � Berapa lama di Semarang?� tanyaku, � Apakah ibu sehat ?� aku kembali memberikan pertanyaan tanpa menunggu jawaban dari pertanyaan pertama.
� Cuma dua hari, � jawabnya, � Ibu..sehat.�
Aku kembali mengangguk, mencoba mencairkan suasana yang menurutku sebenarnya tidak tegang, tapi begitulah Maya,� Pesan minuman apa tadi, Capucinno?�
Dia mengangguk sambil terus menundukan kepalanya, entah kenapa dia gemar sekali menundukan kepalanya. Aku tahu dia gemar meminum Capucinno, dari dulu tidak berubah, dan hari inipun Capucinno jadi pilihannya untuk menghangatkan suasana.
� Kamu tahu aku pesan apa?� tanyaku.
Tiba tiba dia tersenyum menahan tawa, � Kopi jahe kah?�
Aku mengangguk, dia tertawa kecil. Dia masih hafal minuman kesukaan ku, kopi jahe dan dia Capucinno.
� Kenapa tertawa?� tanyaku sambil tersenyum.
Dia menggeleng sambil menghentikan tawanya, � Tidak, hanya seleramu tidak berubah.� Kali ini dia memainkan bolpoint ditangannya. Cincin itu sudah tidak ada dijarinya.
� Sudah menikah lagi ?� tanyaku, aku sebenarnya enggan menanyakan hal itu padanya, aku tahu dia belum menikah lagi, sebab belum ada cincin pengganti dijari manisnya untuk menggantikan cincin yang pernah kulingkarkan dulu. Perempuan itu langsung menyembunyikan tangannya dibawah meja, sambil menggeleng. � Belum, � jawabnya, sebenarnya aku menunggu dia bertanya ,� apakah kamu sudah menikah ?� tapi dia tidak bertanya demikian. Lalu kopi kami datang.
� Meliput apa hanya dua hari ?� tanyaku sambil mengankat tubuhku melihat seorang waiter datang membawakan minuman kami. Perlahan ikut kubantu dia meletakan dua cangkir kopi kami , Maya menggeser duduknya seolah ikut bertoleransi dengan memberikan sedikit jarak untuk memudahkan kami meletakan cangkir kopi tersebut,lalu tersenyum pada pelayan itu. Aku kembali duduk dan menanyakan hal yang sama, � Meliput apa , kok Cuma dua hari ?� tanganku menarik cangkir itu mendekat. Dia menarik nafasnya sambil ikut menarik cangkir kopi itu mendekat padanya, � Meliput oleh � oleh Semarang, dua hari cukup. � Aku menganggukan kepala, sambil meraih kotak gula, Maya pun melakukan hal yang sama kemudian.
�Kenapa kau terima ajakan minum kopi ini ?� tanyaku tiba � tiba mencoba masuk pada inti pembicaraan.
Dia mengangkat kepalanya menatapku, lalu kembali menundukannya .
� Kau bisa saja menolaknya, dan mengejar taxi yang akan membawamu ke hotel untuk istirahat,� lanjutku tanpa memperdulikan perasaannya.
Kali ini dia menatapku dalam � dalam, lalu tersenyum ,� Yah, memang bisa saja begitu.�
� Jadi ?� tanyaku, aku sudah tidak tahan untuk menanyakan hal � hal berhubungan dengan perasaan pribadi, bagaimanapun dia pernah jadi istriku.
� Apakah kau pernah merasakan rindu padaku ?� dia bertanya tanpa mengindahkan pertanyaanku. Dan aku tidak minat untuk menjawab pertanyaan macam yang dia ajukan padaku.Dan andai aku rindu, apakah harus kukatakan padamu?
� Kenapa kau tanyakan hal itu ?� mataku mencoba mencari � cari isi dari kepala wanita cantik ini. Apakah kalau aku katakan rindu kemudian kau mau menemani aku mengisi hari � hariku dan memuaskan kerinduan lima tahun ini?? Apakah kalau kukatakan sejujurnya engkau kemudian akan kembali mengucapkan cinta yang pernah kau ucapkan dulu padaku? Lima tahun yang lalu aku juga mengatakan rindu menjelang perceraian kita, tapi apakah kau mengindahkannya? Jadi kau bertanya tidak harus kujawab bukan?
Kopi dicangkirnya masih terlihat hangat dengan asap � asap halus dari dalamnya, kemudian dia menghela nafas tanpa mengatakan apapun. Kami masih membisu. Sampai akhirnya aku jawab pertanyaan Maya dengan satu pertanyaan lain, � Sampai kapan kau akan hidup sendiri ?�
Maya memiringkan kepalanya seolah � olah berpikir. Ya, aku memang merasa ditipu dan dikhianati sejak aku temukan pil � pil KB dari laci lemari pakaian yang selama ini selalu dikuncinya. Aku tidak pernah tertarik untuk mencampuri urusan perempuan, melipat pakaian dan meletakannya dilemari, atau membersihkan rak buku, kecuali membuat rak buku baru, aku bersedia. Aku merindukan anak Aku menantikan masa masa dimana ada seorang anak untuk kupangku dan kugendong, dimana ada suara tawa dan celoteh anak dirumah kami yang sepi hampir tiga tahun.Aku menginginkan si jagoan untuk kuajak bermain sepak bola, atau anakku yang cerdik kuajak ke kebun binatang. Maya tahu aku menginginkan anak, bukan berarti aku menikahinya hanya karena ingin anak, tapi anak kita bukan anakku sendiri. Dunia kita mungkin memang berbeda, aku banyak menghabiskan masa kecilku di desa bersama abah , mengaji dan bermain di langgar bersama kawan � kawan sebayaku. Dari situ aku melihat betapa berartinya diriku dan ayah. Bertiga kami mendirikan rumah mungil yang hangat, bercengkrama dalam kesederhanaan tiada berkesudahan.Ibu seperti malaikat dalam rumah sederhana kami, meski dia jarang ikut campur dalam urusan kami para lelaki, tapi ibu menjadi tempat yang asyik untuk mengadu. Abah, begitulah aku memanggil kakek , aku dan ayah selain gemar bermain bola, kami juga gemar bermain layang layang di tanah lapang dekat kantor kepala desa. Masa pensiun abah penuh kebahagiaan, itu yang selalu abang bilang padaku, abah juga bilang kalau dia amat beruntung dengan adanya Yudha, ayahku juga Isra , ibuku, menantunya. Dimataku , keluarga adalah surga dunia. Bersama Maya kuharapkan surga itu terlahir kembali, bersama Maya kuharapkan kami dapat menciptakan keluarga , rumah yang dipenuhi celoteh jagoan kami, atau ah, karena cintaku pada Maya berlebihan, aku pikir bukan masalah kalau kami harus mengadopsi seorang anak dan menjanjikan pada anak itu, bahwa keluarga adalah surga dunia. Tapi kenapa Maya menolaknya?Kenapa tidak jujur kau katakana dari dulu kalau kau tidak menginginkan anak? Jadi untuk apa dulu � dulu kita pakai acara test kesehatan segala sebelum menikah? Pembohong
� Kau sendiri sudah menikah lagi?� tanyanya, � Sudah punya anak berapa?�
Aku tersenyum, mungkin senyum pahit, � Belum,� lanjutku,� Cinta bukan hal yang mudah dicapkan.� Kali ini aku menatap matanya dalam � dalam, aku kecewa padamu, itulah kesungguhan hatiku. Sejak aku menemukan pil KB itu, memang aku akui, perasaanku padanya agak berkurang, tapi aku tetap mencintainya, kemudian aku menerima apa adanya, kalau memang ini yang Tuhan gariskan untukku, mungkin masih terlalu dini untuknya. Tapi lihat apa yang dia perbuat selanjutnya setelah pertengkaran besar itu, pekerjaan dan karir semakin membawa dirinya menjauh dariku. Sibuk, lelah, membuat kami jarang bersentuhan dan jarang berbicara.
Maya menundukan kepalanya. Berapa usiamu Maya? Lima tahun sudah kita berpisah, tidakkah kau mencari pedamping hidup yang lain? Tidakkah terlintas dibenakmu menghadapi masa tua? Tidak Aku tidak akan menanyakan hal ini padamu , lagi. Tidak akan lagi.
� Bicaralah sesuatu, hujan diluar sudah reda, sebentar lagi aku akan pergi, � Maya menatap mataku seolah dia telah mengakui sesuatu, dia telah mengaku bahwa dia telah kalah dan salah dengan gugatan cerai itu. Aku mengalihkan pandanganku pada jendela kaca yang membawa kami melihat jalan yang mulai cerah dan hujan yang perlahan mulai berhenti.
� Lihat itu, � aku mengajak Maya melihat seorang nenek yang dituntun seorang perempuan dipinggir jalan, mereka berdua tampak bahagia dan menikmati acara sore mereka. � Kita akan tua Maya, � lanjutku, � Apakah kau mau bunuh diri menginjak usiamu kelak di lima puluh tahun?� Maya terkejut mendengar ucapanku, wajahnya memucat seketika, tapi kemudian tiba � tiba merona , mungkin dia akan marah. Silahkan, aku hanya mengajaknya mengajaknya untuk tidak meliput acara berita �Oleh � oleh Semarang � , aku mengajaknya untuk meliput . � Dunia manusia � dan yang jelas ini kehidupan nyata, dunia akhirat � Kau marah?� tanyaku siap menampung armarahnya, � Percayalah Maya, kelak kau tua, tidak sanggup hidup tanpa anak yang soleh,� lanjutku sambil berdiri dan kembali mengenakan jas kerjaku, satu minggu aku akan berada di Semarang untuk mengaudit kantor cabang kami di Semarang. Tapi dia masih duduk mematung, tanpa mengucapkan sepatah katapun.
� Ini, � kusodorkan sebuah kartu nama, � Aku masih mencintaimu, kebodohanmu sedikit banyak adalah tanggungjawabku.�
�Apa? � tanyanya sambil berdiri , dia terkejut mendengar kalimat jujurku tadi.
� Mungkin dulu aku suami yang tidak berhasil mendidik istri, � jawabku singkat, � Bukan salahmu sepenuhnya Maya.�
Perempuan itu berdiri tanpa bicara apapun, dia terpaku menatapku.Mau bicara apa, bicaralah sayangku. Bicara saja Aku ingin menjerit keras � keras padanya, tapi bukankah meneriaki diriku bodoh lebih bagus dari pada meneriaki dia bodoh, meski nyatanya dia memang bodoh?
� Fan � panggilnya, saat aku hampir meninggalkan caf� itu.
� Berapa lama kau di Semarang?� lanjutnya sambil berlari kecil kearahku.
� Seminggu, � jawabku sambil menepiskan rambut yang menutupi pipinya, Ah Aku masih mencintainya. Biar kulihat terakhir wajah bersihmu. Perempuan itu hanya menunduk dan memejamkan matanya , aku tetap tidak mengerti apa isi kepalanya.

========================================
Pengirim : jeanni
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *