Di tengah upaya pemerintah mencerdaskan masyarakat akan hak haknya sebagai konsumen, justru banyak iklan iklan yang cenderung menyesatkan masyarakat. “Kami sudah mengkritik keras iklan iklan yang sama sekali tidak mendidik itu, tapi nyatanya masih terus ditayangkan.”
Ungkapan itu diutarakan Ketua Umum Indonesian Pharmaceutical Watch, Amir Hamzah, salah seorang pembicara dalam panel diskusi bertema Peran Media dalam Meningkatkan Pengetahuan Masyarakat akan Kesehatan yang digelar di Gedung Media Indonesia. Amir memberi contoh iklan yang mengetengahkan satu obat kuat sebagai hadiah ulang tahun.
Padahal, menurut Anthony Ch Soenarjo, Ketua Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi, yang sependapat dengan Amir Hamzah, masyarakat kini sudah semakin pintar, dan mulai mengerti akan hak haknya. Anthony mengungkapkan mereka yang berhubungan dengan dunia kesehatan dituntut memiliki kewaspadaan, cermat, dan profesional dalam memberi pelayanan.
Media massa sering dijadikan ajang promosi oleh para pengusaha obat dan pengusaha makanan karena kemampuannya mempengaruhi masyarakat konsumen. Tidaklah mengherankan, menurut Amir, bila sekitar 40% porsi iklan setiap harinya yang ditayangkan di media massa berasal dari produk kesehatan, termasuk obat, jamu, dan produk kesehatan.
Pasaran iklan farmasi lebih dikuasai obat bebas atau over the counter (OTC). Nah, apabila asumsi biaya promosi untuk OTC sekitar 30%, media massa di Indonesia mempunyai peluang untuk memperebutkan kue iklan, juga untuk iklan obat tradisional.
Anthony mengatakan sekitar 40% pasar obat dikuasai obat bebas, sedangkan 60% dipegang obat ethical atau obat yang diresepkan dokter. Amir pun berpendapat, dengan nilai pasar yang demikian besar, maka pelaku farmasi mempunyai posisi tawar yang sangat tinggi. Posisi tak seimbang ini bisa memunculkan tekanan terhadap media.
“Sehingga media massa sering terjebak mengiklankan sesuatu yang dilihat dari aspek pemasaran sangat menguntungkan pelaku usaha. Namun, di pihak lain justru mengabaikan hak konsumen dan masyarakat dalam memperoleh informasi yang relevan, seimbang, dan benar,” papar Amir. Hal itu, oleh Anthony, disebut dengan istilah politik media.
Maksudnya, posisi produsen sebagai penghasil pesan lebih tinggi ini bisa memanipulasi. “Akibatnya, pesan yang sampai pun menjadi amat subjektif dan bersifat opini. Bahkan, jika opini dikemas dengan cara yang canggih, penerima pesan tidak menyadari dirinya diindoktrinasi.”
Amir mengingatkan media massa agar informasi selayaknya relevan, benar, seimbang, dan edukatif bagi masyarakat. Iklan dan labelisasi yang tak mencerminkan aspek kebenaran, seimbang, dan mendidik, merupakan bentuk penjajahan atas konsumen. Mengabaikan aspek informasi, berarti iklan dan promosi itu bertentang dengan UU No 8 Tahun 1999 Pasal 3 ayat c. Undang Undang Perlindungan Konsumen itu menyatakan perlindungan konsumen bertujuan mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang atau jasa.
Ketua organisasi nonpemerintah ini secara terang terangan menegaskan bahwa pemerintah lemah dalam melakukan pengawasan. Kondisi objektif yang sangat mengkhawatirkan membuat media massa sebagai agent of empowerment akan mengalami hambatan yang serius jika membiarkan diri terkooptasi. “Sudah saatnya media massa mempunyai self regulatory yang kokoh dan independen dalam membantu masyarakat memperoleh pengetahuan dan informasi yang benar dan bermanfaat.”
========================================
Pengirim : wilga
========================================