Sudah tiga malam ini saya melihat Susi sering keluar ruang kerja lemburnya menuju taman mini di halaman samping kantor. Lalu di sana ia mendongakkan kepala, menatap angkasa. Sebentar kemudian ia masuk lagi. Berikutnya ia selalu mencari saya disusul dengan satu pemberitahuan “di langit taman kantor ada purnama”.
“Ah, ayolah, Bang Oji, kita keluar dan lihat langit sana,” rengeknya sambil menarik narik tangan saya mirip anak kecil minta dibelikan boneka.
“Malam ini bukan jatahnya purnama unjuk kebesaran, Sus,” tolak saya karena saya risih sekali.
“Aaaah, Abang belum lihat tapi sudah berkomentar. Nggak percaya lagi ”
“Susi, Susi… Sekarang tanggal berapa sih, kok kau sangka bulan segede telor ceplok itu adalah purnama?”
Kedua ujung bibir Susi beringsut ke bawah. Selanjutnya gadis lajang berusia dua puluh sembilan tahun yang bertubuh setinggi 145 cm itu bergerak ke ruang kerja rekan rekan lainnya. Hanya bayangannya yang tercetak pada kaca buram dan kepalanya menyundul di sekat setinggi 140 cm yang dipakai sebagai pembatas antar meja kerja. Di sana pun Susi memberitahukan tentang purnama yang tengah bertengger di atas taman.
“Sus, tugasmu belum selesai, kan? Dari kemarin kemarin tulisanmu hanya berhenti di paragraf pertama. Kapan kamu akan selesaikan? Ingat, deadline tinggal beberapa hari lagi. Pokoknya, awas lho kalau sampai aku kecipratan warning dari bos ” omel rekan kami yang tengah menanggapi ajakan Susi melihat bulan purnama.
Susi sedang meggandrungi purnama. Saking gandrungnya, tugas utamanya dalam menulis sebuah feature tentang pelestarian budaya perzinahan melalui kegiatan lokalisasi malah terkena imbas. Terbengkalai. Baru sebatas kata kata mentah dari pita kaset reportase. Belum diperiksanya dan diolahnya lagi. Meski ia sering diomeli sekretaris redaksi, tetap saja belum ada kemajuan yang penting dalam tugasnya.
“Iya, pasti akan aku bereskan,” jawabnya selalu begitu bila ditagih oleh sekretaris redaksi. “Masak sih nggak percaya aku?”
Begitulah. Kadang saya jengkel. Kadang juga kasihan jika sempat saya lihat kemurungan membalut mukanya. Tapi sering juga saya tidak habis mengerti, bagaimana bisa akhir akhir ini ia begitu mabuk kepayang pada purnama hingga kehilangan fokus utamanya dalam tugas keredaksionalan. Fokus hari harinya hanya seputar purnama serta pesonanya, padahal biasanya purnama selalu terbit sekali dalam sebulan. Setiap bertemu siapa, ia akan menceritakan tentang purnama dan purnama. Kalau tidak begitu, Susi tiba tiba meninggalkan meja dan tugasnya. Ternyata ia sudah berada di taman samping kantor. Dan seringkali dilakukannya. Kepalanya selalu mendongak. Kadang ia menyanyi lirih. Kadang mengucapkan kalimat yang tidak jelas.
Kami sekantor pun akhirnya tidak peduli. Mau purnama, sabit, gerhana atau bulan ambruk sekalipun, terserah. Bagi kami, tak ada yang penting dari ratu langit kelam itu, termasuk soal air muka Susi yang selalu berubah sejak beberapa hari ini. Pasalnya saat ini kami tengah berusaha merampungkan pekerjaan transkrip reportase. Sudah hampir satu minggu ini kami terpaksa lembur, mengejar deadline transkrip wawancara menjadi tulisan. Majalah dua mingguan kami harus terbit tepat waktu.
“Bang, purnama bagus sekali lho.”
“Sus, apa kau nggak bisa lihat betapa repotnya aku sekarang?”
“Alaaaa, Abang. Cuma gitu aja langsung sewot pakai bilang ‘repot’ segala.”
“Masa bodoh ah Makan gih purnamamu Habisin gih ”
Akhirnya kata kata kasar meledak di mulut saya. Tiba tiba raut wajah istri saya terpampang di benak saya. Astaga Selama menjadi suami bagi seorang perempuan yang lemah lembut dan sopan santun, saya sudah bersusah payah menahan diri untuk tidak membiarkan kata kata semacam itu mengotori mulut saya hingga menyiprati orang lain. Saya sempat menyesalinya. Sebab, dengan mengucapkan kata kata kasar tersebut saya sama saja dengan merusak pesona istri saya. Ooooh Apa boleh buat.
Saya alihkan pandangan pada monitor komputer saya. Saya baca lagi satu per satu hasil tulisan saya. Saya paksa pikiran saya terfokus pada tugas. Saya biarkan Susi bengong di kursi depan meja kerja saya. Mungkin Susi tersinggung. Masa bodohlah.
Saya memang sengaja tidak peduli pada suasana hati saya maupun hati Susi, sebab saya sendiri tengah berjuang merampungkan penulisan keluhan beberapa tokoh petani menjadi sebuah tulisan utuh. Saya berkonsentrasi penuh untuk segera menyelesaikannya dalam waktu dua jam lagi. Saya tidak ingin ditegur atasan hanya gara gara menanggapi rengekan Susi sembari melupakan kewajiban saya sendiri. Kalau sampai mempengaruhi kepercayaan atasan terhadap disiplin kerja saya, bisa berakibat status kekaryawanan saya ditinjau ulang (dipecat ). Imbasnya, betapa kasihannya istri dan kedua anak saya di rumah.
Menjelang istirahat usai lembur, saya sempat melamun soal kejadian tadi. Kata kata saya pasti terlalu keras, terlalu kasar, menyinggung perasaan perempuan Susi dan bisa malah membuatnya pahit, anti saya. Saya sangat bersalah. Namun besok besoknya, manakala magrib telah lama lewat, Susi masih saja datang ke meja kerja saya.
“Bang, purnama masih berlayar di atas atap kantor kita lho. Alangkah indah, gagah, agung dan… ah, luar biasa. Abang pasti belum lihat yang satu itu, kan?”
“Sebenarnya, apa sih hebatnya bulan yang tengah kelaparan itu, Sus?” selidik saya seusai tugas kelar. Setahu saya, sekarang belum saatnya bulan membusungkan diri.
“Kelaparan?”
“Ya. Kena busung lapar, sampai sampai besar begitu.”
Susi diam. Kedua ujung bibirnya menyudut ke bawah.
“Ada apa dengan bulan purnama, Sus?” tanya saya lagi. Nada suara saya rendah.
“Aku ingin melihatnya. Melihatnya lagi, lagi dan lagi.”
“Kan kau bisa melihatnya sendiri.”
“Nggak mau ah kalau Abang nggak lihat juga. Abang harus lihat juga.”
Deg Dia mengajak saya? Saya ini laki laki dan dia perempuan… sesama pekerja di perusahaan surat kabar ini. Perselingkuhan di balik meja kerja, bukan berita bohong. Kini malah berduaan di taman kantor malam malam ditemani lampu temaram? Apa kelak tidak malah saya dicurigai, lantas membuat masalah baru? Saya dan istri saya sudah bersusah payah membangun rumah tangga dengan tanggung jawab, kesadaran, kesetiaan, kerja keras, terlebih kini sudah punya dua anak, bisa gawat gara gara begini
“Lho, kenapa harus aku juga, Sus? Kan masih ada Rosa, Lia, Dewi, Kirana…”
“Ssstttt,” serobotnya sembari menaruh telunjuk jarinya melintangi bibirnya. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri sepertinya khawatir didengarkan orang lain. “Aku mau membuktikan sesuatu pada Abang. Abang percaya, nggak?”
“Soal apa?” tanya saya dengan berbisik pula seraya mimik muka saya tampak serius dan saya kendalikan keinginan tertawa sendiri atas sikap pura pura saya itu.
“Ya soal purnama itu ”
“Iya, emangnya kenapa purnama?”
“Bang, kalau pas purnama, itu artinya dia sedang horny. Nafsunya sedang gila gilaan. Dia sangat berhasrat untuk bercinta dengan para wanita malam. Dia pasti semakin terangsang sewaktu melihat aku keluar ruang dengan senyum manisku.”
“Walah ”
Saya kira apa, ternyata hanya soal horny. Kalau sudah begitu, saya memilih diam. Tidak berpanjang lebar menanggapi soal ‘begituan’. Pasalnya, Susi sering lepas kendali bila menyinggung soal berahi. Tentu saja saya waspada, dan khawatir jika ada kejadian kejadian berikutnya yang menjurus pada aib bagi saya sendiri.
Mendadak kebisuan memenggal pembicaraan kami. Kami berdua salah tingkah. Saya sendiri bingung, bagaimana harus bersikap agar lebih melegakan Susi. Serta merta suasana diserbu suara lagu lirih dari winamp komputer rekan, suara dua rekan yang tengah berbicara pelan, suara ketikan tuts keyboard komputer.
“Ayolah, Bang, kita lihat lagi purnama itu. Mumpung ada di atas kita.”
“Ya ampun, Sus. Apa kau tidak bisa membedakan purnama atau bukan?”
Susi tidak menyahut. Lagi lagi kebisuan memenggal pembicaraan kami. Serta merta suasana kembali diserbu suara lagu lirih dari winamp komputer rekan, suara dua rekan yang tengah berbicara pelan, suara ketikan tuts keyboard komputer.
“Eh, Bang,” tegur Susi tiba tiba, memecahkan tabir kebisuan. “Masih ingat nggak ceritaku tentang dua cowok itu?”
“Masih. Ada perkembangan menarik? Kau diperebutkan mereka?”
“Bukaaaaan ” serobotnya. Rona mukanya pun berubah drastis. Merah padam seperti tomat matang hampir busuk.
“Lantas, apa? Lagian, cerita kau dulu itu singkat amat ”
Maka Susi berkisah lagi, lebih detail daripada kisah pertamanya beberapa minggu lampau. Kedua cowok itu disebutkannya sebagai A dan B. Si A sangat perhatian. Orangnya penuh perhatian, suka menyapa, dan tutur katanya ramah. Susi bersimpati sekali, tapi tidak berani berharap lebih karena A telah bertunangan. Sedangkan B, selain mirip karakter si A, juga belum punya ‘teman gadis’. Suatu kali B mempertanyakan kenapa Susi begitu perhatian pada B melebihi seorang sahabat biasa. Waktu itu Susi berkelit, bahwa dia memperhatikan B biasa biasa saja. Akibatnya, B tidak lagi sedekat dulu. Kata Susi, B selalu menghindar.
“Itulah yang selama ini membikin aku bingung, Bang. Abang sih mana bisa mengerti problematika perempuan, apalagi seperti aku ini. Cinta jadi misterius.”
“Lantas, apa hubungan si A dan si B itu dengan bulan purnama, Sus?”
“Ehm,” jawab Susi seraya mengerdipkan mata kirinya, lalu beranjak pergi.
Malam yang entah ke berapa. Lampu temaram taman mini di halaman samping kantor berpendar pendar. Saya sedang dirundung tugas menyunting tulisan dan berita. Sementara Susi tidak berada di tempatnya. Ia sedang berada di taman taman itu seperti malam malam lampau. Kali ini ia tengah duduk sendiri di atas sebongkah batu sungai di tepi kolam taman yang luasnya hanya 4m2 dengan kedalaman 75 sentimeter. Baju bagian pundaknya sengaja terbuka, mempertontonkan pundak mungilnya yang berkulit mulus. Kepalanya mendongak ke sudut langit. Matanya menancap pada bulatan besar berwarna keperakan. Ia tersenyum sembari menikmati pesona purnama.
“Pangeran,” bisik Susi. Senyumnya perlahan lahan merekah seiring berbinar binarnya bulan besar itu. “Aku tahu Pangeran pasti datang dan akan selalu datang.”
“Susi, kenapa kamu masih terus memperhatikan aku seperti itu?”
Susi diam. Hanya senyumnya terus mengembang. Tatapan matanya terus terpusat pada pemantul cahaya surya itu. Ia tidak sabar lagi untuk memeluk dan mengajak bulan purnama itu bercinta di tepi kolam malam ini.
Subuh hari saya beserta rekan rekan lembur dikejutkan oleh kabar dari satpam kantor, “Baru saja saya temukan tubuh Mbak Susi mengambang kaku di kolam taman.”
bumiimaji, 2003
========================================
Pengirim : agts wahyono
========================================