Dia adalah seorang mahasiswa biasa, yang tak mau disebutkan namanya, tanpa identitas dan tanpa keterkaitan terhadap organisasi kepentingan. Dia salah satu aktivis mahasiswa yang masih mempunyai idealisme. Idealisme inilah yang selalu terus mendampinginya, paling tidak sampai saat saya menulis karya ini, untuk tetap menjadi mahasiswa yang independen.
Sebagai aktivis, dia selalu berusaha memberikan sumbangsih terbaik bagi kemajuan kampusnya tercinta. Sering, dia mencoba mempertanyakan hal hal yang selama ini terlihat tenang, stabil, dan tanpa gejolak, dalam pemerintahan mahasiswa (Student governance) di kampusnya, yang menurutnya menyimpan bola api di dalam sekamnya, yang lambat laun akan menimbulkan konflik didalam tubuh keluarga mahasiswa.
Ahhh… mungkin itu hanya pendapatnya saja, yang pada saat ia bicara begitu, ia terlalu banyak menerima masukan dari orang orang yang kontra terhadap golongan mahasiswa yang sedang memerintah, dan akhirnya ia latah, ikut ikutan kontra?
Latah…ikut ikutan. sepertinya tidak. Dia bukanlah tipe mahasiswa yang suka mengikuti arus, tanpa mengetahui kemana arus itu akan bermuara. Dia adalah manusia yang mencoba sadar terhadap pilihan pilihan hidupnya. Baginya kesadaran terhadap pilihan harus dimiliki, agar tak terjadi kesalahan kesalahan yang dapat menimpa manusia dimasa yang akan datang. �Pilihan, bukan kebetulan yang menentukan hidup manusia�. Itulah prinsipnya.
Pilihan sikapnya yang tetap independen inilah yang terus menempatkannya di tengah tengah diantara hiruk pikuk pergelutan politik, aliran, dan ideologi yang sering diceritakan oleh kelompok kelompok mahasiswa yang bersebrangan. Golongan A bilang, kelompok B terlalu berorientasi kekuasaan dan tidak punya misi perjuangan yang jelas. Kata kelompok B, organisasi C kekiri kirian. Dan akhirnya, organisasi C pun bicara bahwa golongan A terkait partai politik bla..bla..bla.
Dia, hanyalah mahasiswa yang dibesarkan oleh organisasi mahasiswa intra kampus, yang tidak mempunyai kepentingan global, layaknya organisasi kepentingan yang lain. Ia tak pernah terlibat atau merasakan secara langsung pahit getirnya perseteruan ideologi dan kepentingan, serta konsekuensi konsekuensi yang menyusul dibalik itu, seperti perkelahian dalam musyawarah mahasiswa, yang diketahuinya dari teman dan tulisan tulisan pamflet.
Dia, seorang mahasiswa fakultas exacta angkatan tahun 90 an pada salah satu universitas negeri terkemuka di pulau Sumatera, dengan pikiran pikiran linear pada awal memasuki perkuliahan, dan berbekal pesan dari orang tua agar cepat lulus dengan nilai terbaik. Tapi apa mau dikata, sepertinya bukan salah bunda mengandung, Dia, yang memang sejak dibangku SMP rajin membaca dan suka mempelajari sistem interaksi sosial, ditambah lagi dengan sedikit kemampuannya menulis dan ber organisasi (yang didapatnya pada sekolah menengah pertama dan atas) mencoba menempa dirinya pada sebuah wadah organisasi minat dan bakat, yang menurutnya bisa membawa dirinya turut berperan secara aktif dalam membangun kemajuan almamaternya.
Pada awalnya, Dia, yang lebih menonjol kemampuan matematisnya ini, hanya mengenal dunia perseteruan ideologi dan politik mahasiswa di kampusnya dari sebuah ketidaksengajaan. Suatu kebetulan, diantara ketiga mahasiswa yang pernah menjadi ketua BEM semenjak ia kuliah dikampusnya, dua diantaranya adalah orang yang cukup dekat dikenalnya. Yang satu adalah senior di jurusannya kuliah, dan yang satu lagi adalah senior sekaligus sebagai rekan kerjanya disalah satu laboratorium kampus. Mulailah perjalanan kemahasiswaannya diwarnai dengan berbagai wacana dan pengetahuan yang sama sekali tak ada hubungannya dengan mata kuliah di jurusannya. Seiring waktu dan perkembangan pemikiran, berbagai pertanyaan pun kerap kali terlontar dari mulutnya, Mengapa, selalu satu golongan mahasiswa yang mendominasi pemerintahan mahasiswa, tanpa pluralitas dan hanya terus menyuarakan kepentingan golongannya sendiri? Sebetulnya, dimanakah ruang bagi kelompok kelompok mahasiswa yang netral untuk mengartikulasikan ide idenya?
Tak ada konkretitas jawaban yang ia terima, yang dapat dicerna dengan logika kemahasiswaan pada umumnya. Hanya retorika yang dibalut selimut ideologi dan sentimen agama yang ia dapatkan.
Dia terus berpikir dan mencari identitas kebenaran, yang kemudian menggodanya untuk meragukan kesahihan idealisme dan independensi perjuangan rekan rekan mahasiswa yang pada awalnya diyakininya sebagai sebuah perjuangan kebenaran yang tak dapat diganggu gugat. Dia menganalisa berbagai sistem dan gerak perjuangan mahasiswa dengan begitu antusiasnya, seolah tak kenal waktu. Diapresiasikannya dirinya dalam wadah jurnalistik mahasiswa. Dia sangat bersemangat. Ingin dibuktikannya setiap informasi dan pemikiran yang didapatkannya dalam sebuah karya liputan jurnalistik, karena dengan begitu, menurutnya akan didapatkan sebuah keseimbangan dan keadilan dalam menilai bermacam permasalahan.

Dia selalu mengedepankan berbagai segi yang saling terkait dalam setiap pandangannya. Dapat dibilang, kalau berdiskusi dengannya, layaknya kita berdiskusi dengan dua sisi mata uang, dengan dua sisi pertimbangan yang mantap.
�Pendapat sebagai mahasiswa biasa atau sebagai jurnalis?�. Hampir selalu begitu jawaban yang akan terlontar dari mulutnya, ketika saya menanyakan suatu permasalahan. Analisis dua sisi yang disertai beberapa referensi dan kondisi dilapangan, sepertinya telah dikuasainya dengan sangat baik. Janganlah lagi jika ditanya tentang gerakan mahasiswa dan aksi solidaritasnya, yang dapat diceritakan dan dianalisisnya secara cermat, dari berbagai sudut pandang dan latar belakang permasalahan.
Mungkin, hanya satu hal yang masih menjadi kekurangan hingga saat ini (atau mungkin menjadi kelebihan baginya), saya belum pernah melihat seorang wanita pun yang menjadi orang istimewa disampingnya. Sebutlah pacar atau kekasih yang menjadi tumpahan perasaan dan perhatiannya. Sepertinya ia memperlakakukan semua orang, baik laki laki maupun wanita dengan perlakuan serta perhatian yang sama. Wah, itu kan urusan pribadi dia ya? Buat apa mikirinnya?
�Punya pacar atau nggak punya pacar, rasanya kan sama saja. Nggak ada yang istimewa. Lagian, itu kan bukan hal yang prinsipil� katanya suatu ketika kepada saya.
Rasanya saya mau tertawa sendiri kalau mendengar argumennya, sembari sesekali menjabarkan berbagai hal tentang cinta, menurut penyair penyair romantis, seperti Kahlil Gibran, yang hanya dikenalnya lewat buku buku, dan menyimpulkannya sendiri dengan muara kepada dirinya sendiri. Dasar Jomblo
Dia, tampaknya memang salah seorang sosok manusia yang dapat dibilang menempatkan cinta sebagai sebuah takdir kehidupan manusia yang hadir secara alamiah, sehingga harus diberi makna, sesuai dengan kodratnya. Tak lebih dan tak kurang. Mungkin, inilah yang menyebabkannya dapat berkonsentrasi menganalisa berbagai permasalahan kemahasiswaan untuk kemudian ditransformasikannya dalam sikap dan pandangannya. Sebagai bekal hidup, katanya.

Sebagai seorang aktivis mahasiswa yang tanpa ikatan politis ekstra kampus, ia selalu cenderung untuk berpikir dan melakukan hal yang menurutnya terbaik bagi kemajuan civitas akademika dikampusnya. Dia sangat frustasi apabila menyaksikan segelintir orang yang telah dipercaya memegang peranan untuk memimpin organisasi mahasiswa, tetapi selalu saja tetap (lebih) mengedepankan kepentingan dan ideologi kelompoknya. Perasaan frustasi itupun akan bercampur aduk dengan kemarahan tatkala kepentingan sebagian besar mahasiswa dikesampingkan demi kepentingan golongannya. Perasaan inilah yang kerap kali mewarnai berbagai tulisannya seperti tulisan essay, opini, cerpen ataupun puisi, terkecuali artikel dan liputan jurnalistik yang selalu secara sadar ditulisnya dengan cover both side.
Saya sering membaca tulisan tulisannya itu, baik tulisan yang telah atau akan dipublikasikan, maupun tulisan yang hanya ditujukan sebagai koleksi pribadi. Rupanya dia memiliki sense tersendiri dalam dunia tulis menulis. Saya malahan sering merasa aneh sendiri dan selalu menanyakannya, ketika selesai membaca tulisan yang menurutnya hanya untuk koleksi pribadi itu. Suatu karya tentang realitas sosial kemahasiswaan yang sungguh menarik, yang seharusnya sangat layak dan patut untuk dipublikasikan. Namun, selalu saja ada alasan tersendiri dari setiap keputusannya. Dia selalu berpikir, efek publikasi tulisannya bagi nama baik almamaternya. Baginya, ada tulisan yang layak untuk dipublikasikan dan ada tulisan yang sebaiknya tidak untuk dipublikasikan. Perasaan frustasi dan perasaan campur aduk yang ia rasakan selama ini mungkin memang telah membuahkan inspirasi tersendiri bagi tulisan tulisannya. Tetapi, sikap almamater isme yang tertanam dalam dirinya telah mampu menahan gejolak egoisme individu nya.

Suatu ketika, delapan bulan yang lalu, seperti biasa, saya bertandang kerumahnya, hanya untuk sekedar bertukar pendapat dan membaca berbagai karya baru dan orisinal secara gratisan. Dibukakannya beberapa file tulisan dalam komputernya tentang beberapa fenomena sosial yang menarik, yang terjadi dalam dunia kemahasiswaan. Tertulis tema yang sangat menarik untuk dibaca dalam tulisannya ketika itu. Menggugah rasionalitas dan independensi organisasi mahasiswa. Sebuah tulisan analisa permasalahan tarik menarik kepentingan dalam verifikasi Unit Kegiatan Mahasiswa, yang pada akhirnya menghasilkan keputusan pem breidel an organisasi jurnalistik mahasiswa, tempat dia mengapresiasikan diri selama ini. Sembari membaca tulisan tulisan yang baru selesai ditelurkannya itu, saya berusaha mendengarkan penjelasan, penjabaran dan maksud tulisannya secara panjang lebar. Ada pancaran antusiasme yang ganjil dalam gairah bicara temanku itu kali ini. Sepertinya dia teramat marah dan sangat emosional dalam menyikapi permasalahan ini. Tak ada karya liputan jurnalistik pada tulisannya kali ini. Seakan dia lupa, bahwa untuk dapat menyimpulkan suatu permasalahan dengan data yang akurat, sebuah tulisan harus dilengkapi dengan liputan dan wawancara. Ia juga lupa bahwa dalam menyikapi sesuatu harus seimbang, adil, dan penuh objektifitas, seperti yang dikatakannya padaku dulu. Saat itu, ia teramat subyekif dan sentimentil, dan melantangkan kemarahannya pada satu titik tertentu.
Sedikit kutipan dari dua karya yang ditulisnya pada saat itu, yang masih saya ingat :

�…Namun, jika yang dimaksud verifikasi ialah membumi hanguskan �organisasi pemikiran� yang sering melemparkan wacana insinuatif dan strategis, sesungguhnya dikampus manapun dan kapanpun, tipe organisasi semacam itu selalu ada dan turut mewujudkan kemajuan dimasing masing kampus. Tidaklah seharusnya �kekuasaan semu� semacam itu menjadi kekuasaan otokratis, melainkan kekuasaan yang menyadari tanggungjawabnya untuk memajukan dan membangun nama baik almamater, dengan mengakomodir kepentingan umum mahasiswa, bukan kepentingan politik golongan ataupun pribadi presiden mahasiswa�

��Selama ini, aktifitas organisasi kita terkadang hanya terfokus kepada satu titik imajiner, tanpa adanya suatu tujuan yang jelas, bahkan cenderung tanpa hasil dan lebih banyak menciptakan polemik internal didalam tubuh keluarga mahasiswa. Kita hanya berkutat untuk membuat organisasi kita lebih unggul dari organisasi lain, tanpa memandang efek yang signifikan terhadap kemajuan dan kehidupan aktifitas mahasiswa dikampus kita tercinta ini�

Dia sangat frustasi dan tertekan dengan peristiwa itu. Dia tak lagi produktif dalam menulis. Mungkin, tulisannya yang saya baca saat itu adalah karya terakhir yang ditulisnya, karena sudah beberapa bulan ini aku tak pernah lagi melihatnya menulis ataupun membaca karya jurnalistiknya. Mungkin dia terlalu sibuk mempertahankan ataupun membangun kembali puing puing reruntuhan organisasi, tempatnya mengapresiasikan diri selama ini, yang sedang berjuang diantara jurang maut kreatifitas. Tapi, bukankah ia pernah bilang kepada saya, bahwa ia telah menjalani masa purnabakti sejak empat bulan yang lalu. Mungkinkah ia merasa putus asa dan menganggap bahwa idealisme dan independensi organisasi mahasiswa itu telah mati oleh kepentingan politik praktis golongan tertentu, sehingga tidak lagi dapat dibenahi melalui karya jurnalistik, atau mungkin pula dia merasa akhir akhir tidak berada dalam pemikiran yang penuh objektifitas dan keberimbangan? Saya pun tak tahu jawabannya. Tak ada kata kata maupun alasan yang jelas atau tersirat, yang keluar dari bibirnya. Yang pasti, pemikiran dan karya karya jurnalistiknya itu telah memberikan pemahaman dan kesadaran tersendiri bagi hidupku dan juga bagi orang orang disekelilingnya, walau mungkin mereka tak mencatatnya, karena katanya, sebuah sumbangsih tidak pernah mengharapkan sebuah catatan dari manusia. Sang penciptalah yang kelak akan mencatat sumbangsih positif kita.
Teruslah berjuang dan berkarya kawan. Jangan kalah dengan rasa sakitmu. Saya akan selalu mendukungmu.

Palembang, 4 Juli 2004

========================================
Pengirim : Feri Yuliansyah
========================================

By admin

One thought on “Dia yang terluka”
  1. salam kenal nih . ada yang mau saya tanyakan :
    menurut anda fenomena sosial apa aja yang dapat mempengaruhi studi mahasiswa . ( tolong jelaskan and kalau bisa balas juga ke email saya ) maaf merepotkan .
    Terimaksih atas bantuannya .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *