Waktu jalan.
Aku tidak tahu apa nasib waktu?
Pemuda pemuda yang lincah yang tua tua keras, bermata tajam.
Mimpinya kemerdekaan bintang bintangnya kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini.
Aku suka pada mereka yang berani hidup.
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam.
dari puisi Perajurit jaga malam.
1948 Chairil Anwar

Pak F.S Hartono adalah pribumi Jawa arek Yogyakarta yang fasih atau mengerti buuaaanyak bahasa, termasuk Mandarin dan beberapa kosa kata bahasa Khek dan Thiocu.
Di Harian Rakyat Merdeka yang lalu (1999) beliau menulis : “Ada pengalaman yang tak mungkin saya lupakan. Ketika saya baru menikah dengan perempuan keturunan Tionghoa (istilah tempo doeloe) generasi kedua dari imigran berasal dari daratan Cina, langsung istri saya dikucilkan oleh golongannya Tionghoa.
Mereka menganggap istri saya turun derajatnya karena bersuamikan seorang “fan qui”.”

Kalau kita memanggil Cina, mereka tak suka karena katanya punya konotasi jelek.
Tapi para saudara kita yang tak suka dipanggil Cina pada suka memanggil pribumi “fan qui” yang berarti manusia setan. Qui = setan

Pengalaman lain yang menarik yang pernah dialami oleh Pak F.S Hartono adalah ketika beliau di Sumatera.
Ditulisnya : “Bahkan di Medan, Jambi dan Riau sering saya dengar ungkapan ti ko yang dalam percakapan sehari hari berarti babi anjing.
Pernah ketika saya masuk di salah satu toko di Tanjung Karang, Lampung, yang sedang banyak pengunjungnya saudara saudara keturunan Tionghoa, terdengar pemilik (pramuniaga?) nyelentuk : “Nimen shiausin, yo nake couw qui”.
Maknanya, “kalian hati hati, ada setan busuk/jahat”.
Ungkapan ungkapan sinis (pinjam istilah Yusuf Hamka) semacam itu sering saya dengar setiap kali berkunjung ke daerah Pecinan, khususnya di Jakarta dan luar pulau Jawa.”

Mengapa Pak F.S Hartono mengemukakan pendapatnya di Harian Rakyat Merdeka dengan sepenuh hati dan bersedia jadi nara sumber kalau ada pertemuan, seminar atau dialog mengenai masalah diskriminasi?

Dikatakan oleh Pak F.S Hartono karena : “Pengalaman dan sejarah hidup pribadi ini saya ungkapkan semata mata bertujuan agar masalahnya menjadi berimbang dan fair. Jangan hanya berkutat mempermasalahkan istilah Cina atau Tionghoa melulu, lain maksud tidak ada”.

Nah, itulah kisah diskriminasi yang berbeda.
Diskriminasi oleh siapa, kepada siapa dan mengapa, tak menjadi soal kalau orang berdiskusi atau mengadakan dialog yang membangun.
Soalnya kalau didiamkan begitu saja dan kita berpura pura tidak ada atau tidak pernah terjadi, malah lebih berbahaya.
Persoalannya bagai lahar gunung yang terkurung dan mendidih.
Berbahaya kapan saja, tapi tak kelihatan apalagi ketahuan.
Lebih bagus disalurkan dengan cara kekeluargaan dari pada meledak tiba tiba dalam bentuk yang kacau balau.
Bukankah kita semuanya manusia yang hidup di tanah air yang bernama INDONESIA?
Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita bahasa INDONESIA.
Such is life, all the best…….

Melbourne 2004.

Terima kasih Pak F.S Hartono
di kota Yogyakarta yang adem ayem.

========================================
Pengirim : Lasma Siregar
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *