“Apa yang diberitakan?”

“Banyak masalah di penghujung tahun ini.” Mang Papay menjawab pertanyaan mang Odon tanpa menoleh sederajatpun. Matanya kelihatan serius membaca halaman pertama koran pagi.

“Ah masalah di koran dari dulu itu itu saja, tidak ada yang baru. Aku bosan baca koran sekarang. Tidak seperti koran zaman dulu, beritanya selalu baru dan selalu hangat.”

“Berita di koran itu tergantung perkembangan situasi, mang. Dan situasi itu berkembang tergantung dinamika masyarakat. Kalau masyarakatnya dinamis, maka koranpun akan menyampaikan berita yang tidak membosankan, tapi kalau masyarakatnya pasif, tidak kreatif, berita apa yang mau disebar?” Parikesit membela diri. Padahal yang dikritik bukan dirinya, tapi koran. Mungkin karena kadang ia suka menulis di Koran tersebut, jadi rasa mewakilinya besar.

“Jangan tergantung situasi dong. Situasi itu seperti sungai yang mengalir. Selalu ada bebatuan, ada jurang, ada anak sungai. Jadi sudah ada kemestian kondisinya akan begini atau begitu.” Mang Odon tak puas mendengar alasan Parikesit.

“Maksud saya, koran itu menyampaikan apa yang terjadi di masyarakat, mang. Karena kalau bukan itu yang disampaikan, mau menyampaikan apa? Apa mesti penerbit koran itu ngarang ngarang cerita hanya agar kelihatan “berbeda” dari koran lainnya, hanya agar terkesan menyampaikan berita baru terus? Kalau begitu jadinya, sama saja koran itu dengan kumpulan cerita fiksi dong.”

“Sebenarnya masalahnya bukan pada korannya. Menurut saya koran sudah berbuat sebagaimana fungsinya, yaitu menyampaikan berita apa adanya, kalaupun ada tambahan, adalah analisis terhadap berita tersebut.” Mang Papay jadi ikutan nimbrung. Koran yang telah selesai dilahap digeletakkan di atas meja.

“Tapi aku bosan baca koran sekarang ” mang Odon menegaskan.

“Kalau begitu jangan baca koran, baca komik saja ” Parikesit gerundelan.

“Bosan itu wajar terjadi pada setiap orang. Aku sendiri suka bosan kalau mendengar kamu ngoceh terus. Tapi karena aku pikir itu memang sudah tabiat kamu, mau diapakan? Cuma masalahnya, bagaimana kita dapat santai dan istirahat sejenak dari kebosanan itu. Ada saatnya kita akan merindukan hal hal yang sekarang membuat kita bosan. Dan ada saatnya kita bosan dengan hal hal yang kita sukai pada saat ini.” Bijak sekali tampaknya mang Papay pagi ini. Mungkin sarapannya lengkap.

“Memang, aku sendiri kadang bosan dengan pekerjaanku sebagai penulis” sambung Parikesit “yang membuat aku bosan adalah tidak adanya situasi baru yang bisa dijadikan bahan tulisan. Bahkan bukan sekedar bosan. Aku jadi bingung sendiri, apa yang mesti ditulis untuk masyarakat?”

“Nah, jadi kebosananku itu bisa diterima, kan?” mang Odon lega karena merasa Parikesit kalah dalam perdebatan dengannya pagi ini. “Kemarin aku sedang jalan jalan di taman. Di sana sedang ada kerumunan orang orang. Aku pikir ada apa, eh tenyata cuma pertunjukkan topeng monyet saja ”

“Memangnya kenapa dengan pertunjukan atraksi topeng monyet, Don?” mang Papay bingung beneran.

“Kamu tahu tidak, dari zaman kakeknya kakek kakekku dulu sampai sekarang, atraksi topeng monyet tidak pernah berubah, selalu begitu begitu saja. Seperti si monyet pergi kepasar, bersolek, naik anjing, pakai payung, dan lain lainnya yang membosankan. Musik iringannya pun begitu terus, tidak berubah ”

“Tapi buktinya masyarakat banyak yang menonton? ”

“Nah itulah masalahnya, koq masyarakat tidak ada yang bosan menonton atraksi kuno itu. Malah berkerumun seperti melihat Michael Jackson atau Inul.” Lebih jelas sebenarnya masalah mang Odon. “nah, aku merasa berita berita di koran itu seperti itu. Agen koran berkeliling ke pelosok penduduk agar mau membaca isi korannya. Padahal isinya tidak ada yang baru, membosankan.”

“Jangan samakan koran dengan topeng monyet dong mang ” Parikesit protes.

“Apanya yang beda? Kalau memang koran itu berisi berita yang membosankan, berita yang diulang ulang, hanya redaksinya saja yang diubah, apanya yang beda dengan topeng monyet? ” mang Odon balik protes.

“Jelas beda dong. Berita di koran itu didapat dengan susah payah. Sedangkan topeng monyet tidak dituntut untuk mengadakan pembaruan dalam pertunjukkannya. Penerbit koran mikir sedang topeng monyet, apalagi monyetnya, apa bisa mikir?” wah, Parikesit mulai emosi jiwa nih.

“Sudahlah tak usah debat kusir. Apa yang kamu perdebatkan juga membosankan telingaku untuk mendengarnya. Kan sudah aku bilang tadi, kebosanan itu wajar terjadi pada setiap orang. Jadi tidak perlu diperdebatkan.” Mang Papay menengahi.

“Iya deh, ayo kita damai mang” Parikesit mengulurkan jari manisnya kepada mang Odon, tanda bahwa ia sudah bosan debat kusir. Mang Odon menyambut dengan jari manis pula. Lalu keduanya saling tersenyum, seperti sedia kala.

“Begitu dong, mendiskusikan sesuatu itu tidak perlu sampai menegangkan urat syarat. Nanti lelah sendiri kan?” mang Papay menyambut kesepakatan damai antara mang Odon dan Parikesit.

“Memang sih, banyak hal dalam hidup ini yang jika kita tidak pandai pandai mencari suasana baru akan terasa membosankan.” Mang Odon menyambar sambutan mang Papay.

“Tapi kalau boleh aku bicara……”

“Boleh, boleh, silakan lanjutkan..” mang Odon menyambut Parikesit yang baru mulai ngoceh lagi.

“Ya, aku lanjutkan setelah gangguan teknis barusan. Begini, dari apa yang mang Odon katakan di awal cengkrama kita pagi ini. Aku jadi dapat ide bagus nih untuk berita di koranku.”

“Tentang apa itu, Par?” mang Papay selalu tertarik kalau Parikesit mengawali ucapannya dengan kata ide. Mang Papay pernah punya pengalaman yang cukup panjang bersama Parikesit. Dalam setiap kesempatan yang darurat parikesit selalu mendapatkan ide ide seperti Mat Gaper, tokoh serial TV. Cuma bedanya, ide ide parikesit tidak pernah ada yang beres. Nah, mang Papay suka sekali mengenang sendiri pengalaman pengalaman bodohnya bersama Parikesit.

“Tentang topeng monyet. Aku pikir kisah tentang tukang topeng monyet ini bisa diangkat sebagai feature dalam koranku.”

“Dari sisi mana kamu akan menyorotinya?” tanya mang Papay lagi. Ia ingin tahu sampai di mana ide anak muda ini berakhir.

“Seperti yang mang Odon bilang tadi, dari dulu atraksi topeng monyet tidak pernah ada perubahan. Selalu itu itu saja. Tapi kenapa sang tukang tidak bosan bosannya berkeliling dusun untuk menggelar atraksi monyetnya dan berharap ada orang yang tertarik dengan atraksi tersebut, lalu melemparkan recehan ke kaleng tempat penampungan uang.”

“Lalu?”

“Apakah si tukang topeng monyet itu tak menyadari kalau masyarakat itu sudah tahu apa yang akan disaksikannya?”

“selanjutnya?”

“Inilah yang harus diteliti, apa yang membuat tukang topeng monyet itu bertahan dengan pertunjukkannya, di tengah zaman yang semakin maju ini.”

“Aku pikir dia menyadari kalau atraksinya itu tidak ada yang baru… tapi bagaimana lagi, memang dari dulu atraksi topeng monyet memang begitu… sudah tradisi ” mang papay menguji ide Parikesit.

“Tergantung tukangnya. Mungkin ada yang sadar dan mungkin ada yang tidak. Karena itu aku perlu survey ke semua tukang topeng monyet yang ada di negeri kita ini.”

“Wah, pekerjaan besar dong. Pasti juga butuh biaya besar. Apa kamu yakin bakal dapat anggaran dari pimpinan koranmu?”

“Itu masalah gampang. Yang penting sekarang adalah berita yang lain dari biasanya. Walaupun sederhana tapi menarik.”

“Terus apa lagi yang kamu cari dari tukang topeng monyet itu?”

“Itu tadi, apa yang membuat dia bertahan dengan atraksi tradisionalnya itu di tengah era modern ini, lalu apakah ada rencana untuk menampilkan suatu atraksi baru buat monyetnya. Apakah tukang topeng monyet itu tidak takut ditinggalkan oleh penontonnya yang sudah bosan dengan atraksi atraksinya, dan yang paling penting, apa kiat kiat dia untuk membuat monyetnya itu jinak dan menuruti segala perintahnya. Karena kalau monyetnya tidak jinak, ia tidak bisa makan, kan?”

“Bisa jadi, Kalau begitu kamu coba saja ide kamu tersebut. Siapa tahu kamu bakal dapat penghargaan jurnalistik dari kerajaan. Tapi bagaimana pendapat Odon? Kamu mesti tanya dia juga dong, kan ide itu kamu dapat dari dia.”

“Oh iya, bagaimana menurut mamang tentang ide saya tersebut mang?” Parikesit bertanya kepada mang Odon.

Sambil beranjak ke radio tape, mang Odon menjawab singkat, “Bossaaan Bukan Cuma topeng monyetnya ya mesti kamu survey, tapi juga kenapa masyarakat senang menyaksikan kebosanan ” tak lama terdengarlah sebuah lagu ciptaan Cok Rampal……..”Lagunya bukan lagu yang baru/nyanyiannya masih yang dulu…….”

========================================
Pengirim : mataharitimoer
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *