Padepokan Tebet, dini hari, 2:25
Kuterbangun
Dua jam yang lalu, tampaknya aku terlelap dalam balutan kelelahan. Benar benar lelah. Dan ketika kini terbangun, masih kupikirkan, “Kenapa aku bisa lelah?”
Aku tak punya kuasa untuk menjawab, atau bahkan menjelaskannya. Sedih. Kumenangis: ekspresi pasivisme, suatu bentuk penyerahan diriku secara total kepada Nya.
“Karena ini sudah bukan lagi kehendakku,” batinku merintih.
Sedih……….
Tiga jam sebelumnya.
Awan relatif pekat, tapi tak berararak. Bulan dengan setengah wajah begitu angkuh mempermainkan sinarnya, mengiringi setiap perjalananku malam ini. Dengan penuh muram, ia berikan sinarnya. Ke setiap sudut gedung gedung yang menjulang tinggi, yang berada di kiri kanan di sepanjang jalan yang kulalui. Tapi, malam ini ia tak menunjukkan wajah yang berseri seperti biasanya, yang sering ia tunjukkan kepadaku, yang kemudian kusambut dengan ritual bulanan ataupun tulisan yang berseri pula.
Kumelihat ada balutan duka di wajahnya. Mungkin, dia ikut mengucapkan rasa belasungkawa, karena Jakarta luluh lantak siang hari tadi. Di mana persoalan persoalan politik sudah menjadi panglima atas semuanya. Ketika rasa kemanusiaan sudah tak ada harga dan nilainya lagi. Ataukah, dia juga bisa memahami perasaan dukaku malam ini? Aku tak tahu. Aku hanya mampu mengendarai bebek besiku, 80 110km/jam tanpa arah Ya, tanpa arah Mencari makan, karena aku lapar.
Beberapa saat kemudian muncul nurani, membuka konflik batin. Ia membisikiku,”Aku sudah mengingatkanmu, kau tak perlu keluar rumah, tapi kau masih jalan juga ”
“Karena aku sudah terikat janji,” kilahku. “Janji adalah cermin karakter diri,”sambungku kemudian. “Iya, tapi bukankah hasil yang kau dapat malam ini sesuai dengan yang aku tunjukkan kepadamu sebelumnya?”
“Ya, aku mempercayaimu.”
“Bukahkah Gusti Ingkang Maha Dumadi telah menidurkanmu sebagai peringatan aku tak menghendaki setiap langkahmu malam ini?”
Aku terdiam, karena bagaimanapun kumenangkis dengan jawaban, nurani itu terus memburuku dengan pertanyaan pertanyaan yang selalu menyudutkanku. Dan, kali ini aku tak bisa berdebat dengannya. Yang pasti, lagi lagi, firasat dan nurani itu telah terbukti mengalahkan janji. Mengalahkan debat denganku malam ini. Haruskah kukorbankan janji? Ini yang membuatku bersedih. Karena tidak semua orang akan bisa memahaminya. Tidak juga dengan diriku yang naif ini.
Dan, di sepertiga akhir malam ini, aku hanya bisa mengadu kepada Nya. Hanya itu yang bisa kulakukan. Karena terbukti, aku tak berdaya melawan “kekuatan” yang lebih perkasa dariku. Yang datang dengan begitu tiba tiba, dan membuatku tak berkutik. Yang membuatku seolah olah lumpuh, tak mampu mengontrol sikap dan kearifan. Aku naif, benar benar naif Aku hina, begitu hina
Duh, Gusti…
Kupercaya, Engkau dekat dengan hamba, sehingga dengan mautpun kadang hamba sahaya tak pernah takut. Kupercaya, Engkau dekat sedekat ada dalam setiap tarikan nafasku.
Duh, Gusti…
Jika memang hamba sudah tidak lagi berguna di hadapan Mu, kenapa Kau biarkan hamba masih menanggung beban dunia ini? Aku benar benar tak kuasa. Malam ini hanya bisa bermurung duka. Sungguh, sahaya hanyalah manusia biasa, yang hina di hadapan Mu.
Istirahatkanlah hamba, Gusti….istirahatkanlah….
Karena aku benar benar lelah……
(c) by GJ.
========================================
Pengirim : Gus John
========================================