Kuratapi selembar foto yang kutemukan di himpitan lembar lembar buku pelajaran yang sudah usang. Disitu aku teringat akan seorang sahabat yang sudah lama tak kuketahui kabar beritanya. Dia biasa dipanggil si gendut eva, meskipun gendut tapi ia sangat pintar dalam hal pelajaran. Bahkan di SMU dulu dia selalu unggul dalam berbagai mata pelajaran, aktif dalam berbagai organisasi dan ektrakulikuler. Dalam berteman dia sangat perhatian apalagi dengan nasihat nasihatnya, bahkan dia suka membantu teman teman yang kurang mampu untuk membayar biaya sekolah termasuk diriku sendiri. Eva memang anak orang yang tergolong cukup kaya di daerahnya. Meskipun dengan fisik yang gendut, ia tetap cuek dan pede dengan penampilannya, suka bercanda dan bisa menempatkan diri.
Cukup lama aku mengenal eva, tapi tak sekalipun kuketahui bahkan kukenali orang tuanya. Yang kutahu, ia selalu menghindar jika kutanya tentang keluarganya. Saat itu adalah ulang tahun eva yang ke 19, dan aku bermaksud memberi kejutan padanya. Aku membawa bungkusan kado ke rumahnya dengan sepeda mini yang pernah ia berikan padaku. Aku memasuki pagar rumah yang besar itu dan mulai mengetuk pintu. Tok..tok..tok. Sudah sekian lama aku berdiri dan mondar mandir menunggu seseorang datang dan membukakan pintu dirumah ini, tapi tak kudapati eva ataupun orang lain sama sekali. �Rumah sebesar ini, kenapa tak ada seorangpun yang tinggal ?� gumamku menggerutu. Saat itu kuputuskan menunggu eva diteras rumahnya. Tanpa kusadari kudengar suara yang pernah kukenal dengan jelas menangis dan merintih. Spontan aku terkaget kaget mendengarnya, aku berlari mencari suara teriakan itu berasal. Kucari�cari ditengah suasana petang yang menyelimuti sore ini. Setelah aku manapaki kebun rumahnya semakin jauh, kudapati eva terbujur kaku dan kesakitan. Ditangannya ada luka goresan pisau, yang kutahu darahnya mengucur deras bahkan membasahi rerumputan yang ada disana.
Kududukkan dia dibawah pohon mangga di kebun rumahnya dan ku balut lukanya dengan shal yang kupakai agar pendarahan bisa terhenti. Tiba tiba dia memelukku dan menangis dipundakku. Aku tak menyangka dia yang terliat begitu semangat dalam menjalani hidupnya, begitu pintar dan suka bercanda harus berpikir pendek untuk bunuh diri. �Ev, kenapa sampai kau lakukan ini? Tidak kah kau merasa bunuh diri adalah perbuatan orang orang pengecut Dan tidakkah kau ingat kalau kau pernah mengatakan pada ku juga?� sahutku sambil mengusap bahunya yang disandarkan padaku. Dia hanya terdiam tak berdaya. Aku bahkan tak tega melihat keadaannya saat itu, lagipula kupikir dengan menanyai eva dalam keadaan seperti itu adalah percuma, karena aku tidak akan mendapatkan jawabnya malah mungkin aku akan kehilangan dia untuk selamanya. Hingga kuputuskan untuk membawa dia ke rumah sakit meskipun dengan tanpa uang sepeserpun yang kupunya.
Sesampai di rumah sakit, ia hanya mengeluh kesakitan, para perawat pun menyambut eva dengan sigapnya, karena kutahu keadaan eva sangatlah darurat. Aku bahkan menunggu eva di ruang UGD selama 5 jam. Melihat Para dokter dan perawat keluar dari ruang itu, aku mendekati mereka, �Dokter, bagaimana keadaannya?� tanyaku ingin tahu. Sambil menepuk pundakku dokter itu bilang � Kenapa dia sampai berani mencoba bunuh diri segala?�. �Aku juga tak tahu kenapa dok?� sahutku membalas pertanyaanya. �Ya sudah, yang penting teman kamu selamat. Sekarang hubungi keluarganya, ok � saran dokter itu pada ku. Aku hanya mengangguk pada dokter itu, karena aku tak tahu perihal orang tuanya, bahkan dikenalkan saja aku tak pernah.
Aku memasuki ruang 64B, ruang dimana eva berbaring. Melihat wajahnya, aku tak menyangka si eva gendut melakukan hal itu, tapi itulah yang terjadi. Kenyataan dia tidak seperti yang kubayangkan. Aku berjalan mendekatinya selangkah demi selangkah, wajahnya terlihat sedih dan pucat, sejenak aku terkejut saat ia memegang tanganku �Anisah, terimakasih� ucapnya sangat lirih padaku. �Sudahlah tidak apa apa, lagipula kau memang belum ditakdirkan untuk mengakhiri hidupmu, itu tandanya Tuhan masih sayang sama kamu, jangan lakukan itu lagi ya?oh ya, selamat ulang tahun� sahutku mencoba mengawali pembicaraan yang lebih serius dengannya. Tiba tiba saja air matanya berlinang, �Aku tak tahu, kenapa aku sebodoh itu mengambil keputusan, yang kurasa aku sudah tak sanggup menjalani hidupku lagi� jawab eva. � Oh ya ev, no telepon rumahmu berapa? Biar aku kabari ayah dan ibumu � tanyaku. Dia hanya terdiam dan menangis, dan aku semakin dibuat bingung olehnya. �Ev, maaf apa perkataanku salah?� tanyaku pada eva ingin tahu. �Ayah dan Ibuku sudah tiada sejak aku kecil, bayangkan nis, aku yang butuh kasih sayang mereka saat itu seperti anak anak lain, tidak kudapatkan. Malah warisan harta sekian banyak yang kudapat, dan aku yang menanggung resiko kerja mereka, kehidupanku yang kalian bayangkan begitu bahagia dengan kemewahan, itu hanya luarnya saja. Hidup seperti itu yang aku benci�. �sudahlah, tenangkan dirimu ev, lagipula kau butuh istirahat banyak �. Itulah yang terakhir kuucapkan padanya kala itu.
Ternyata yang eva lakukan selama ini adalah mengkonsumsi obat terlarang, aku tahu semua itu karena aku menyaksikan sendiri ketidakberdayaannya. Ia sangat menderita dan tersiksa, ia lakukan itu karena tiada pilihan lain dalam dirinya selain mencari kebahagiaan sesaat yang bisa diberikan obat tersebut. Tuntutan menjaga amanah ayah ibunya untuk menjaga seluruh kekayaannya. Ditambah lagi dengan studi yang sedang ia geluti, aku yakin tidak semua orang yang mampu melakukan semua itu.
Sekian tahun eva tak bisa menghindari bahkan menghilangkan ketergantungannya pada obat terlarang. Semakin lama ia semakin kolap, bahkan kekayaannya nyaris habis karena obat tersebut dan pengobatan dia yang berkali kali dilakukan tidak menemui kesembuhan sama sekali. Tubuh gemuknya seakan habis terkikis oleh penyakit yang teramat parah, bahkan julukan si gendut eva yang dulu teman teman berikan padanya, tak pantas lagi disandang olehnya. Perubahan pada dirinya amatlah besar, eva yang sekarang bukan eva yang dulu lagi. �nisah, apakah ini jalan kehidupan yang Tuhan berikan untukku? Maaf telah membuat kamu dan teman teman kecewa � itulah yang ia katakan saat kami bertemu untuk terakhir kalinya. Malam hari setelah ia mengatakan hal itu, ia dibawa ke Singapura oleh pamannya untuk berobat, dan sejak saat itu hingga kini aku belum mendapatinya.
Melihat foto yang kutemukan itu, aku hanya bisa menitihkan airmata. Mengingat kehidupan yang dia alami hancur, aku ikut merasakan kepedihannya. Aku ingin bertemu dengannya lagi, tapi saat ini aku hanya sia sia saja, melaui berbagai media sudah kutempuh bahkan tak satupun yang memberiku titik terang. Saat aku berbelanja ke mall, aku bertemu dengan teman sekolahku dulu, kebetulan dia juga teman eva. �eh, kamu risa kan?� sahutku pangling. �ya, kamu nisah kan � sahutnya berbalik menebak namaku. Akhirnya obrolan obrolan kami lalui, hingga kami membahas eva yang malang.�kau tahu kabar eva sekarang?� tanyaku ingin tahu. �tidak, tapi yang kudengar setelah ia ke Singapura, ia tidak bisa disembuhkan lagi, ia koma sudah sekian tahun�.
Mendengar kata risa, aku makin ingin bertemu dengannya. Akhirnya risa mengantarku ke rumah eva, rumah yang tak besar seperti dulu lagi, rumah yang kini sebesar rumahku dan terletak jauh dari keramaian kota. Ketika seorang membukakan pintu kayu berukir itu buat kami, aku merasa gugup, aku tak tahu apakah aku nantinya kuat melihat keadaaanya atau tidak. Ketika kumasuki rumah itu dan kubuka kelambu kamarnya kudapati dia duduk menatap jendela kearah luar. Pandangannya kosong, aku hanya menangis melihat keadaanya, kurus bagai tak berdaging sedikitpun, wajahnya tak secerah dulu, rambutnya yang kusam dan bahkan tak mengenaliku sama sekali. �eva, tidakkah kau mengenali aku sama sekali?� sambil kupegang tangannya yang tinggal tulang. �eva, dengarkan aku � sahutku lagi. Tiba tiba saja dia mengamuk membrutal, ia melempariku dengan gelas dan piring yang kuberikan padanya, hingga mengenai tangankuku dan berdarah.�pergi kamu, aku muak melihatmu � kata eva teriak teriak padaku sambil menangis. Akupun keluar meninggalkan kamar itu dengan hati perasaan sakit dan iba.�Maafkan eva nak � sahut ibu tua itu padaku. �Tidak apa apa kok bu. Oh ya bagaimana hasil pemeriksaan dokter waktu eva dibawa ke Singapura?� tanya ku ingin tahu. �Siapa yang membawa eva ke Singapura? Eva tidak kemana mana kok, yang ada eva dimasukkan pusat rehabilitasi, tapi yang terjadi dia malah depresi berat, akhirnya pamannya memasukkan dia ke rumah sakit jiwa� jelas ibu tua itu yang kutahu adalah pembatu eva dulu. �Kenapa harus rumahsakit jiwa? Tidak adakah tempat lain yang lebih baik dari itu?� kataku menyela pembicaraan. �Aku sendiri tidak tahu, mungkin akrena pamannya tak sanggup menjaga dan menyembuhkannya, tahukan kalian kalau mereka tidak sekaya dugaan kalian dulu, harta mereka sudah habis terkuras untuk pengobatan eva yang tak ada hasilnya� jelas ibu itu.
Mendengar ceritanya, aku betul betul tak menyangka. Eva yang malang, dia betul betul terpuruk. Usia mudanya dan masa depannya tak bisa diharapkan lagi. Dia hanya bisa melihat, mendengar dan merasa tanpa mengetahui dan menikmati keindahan disekitarnya. Akhirnya malam itu, aku melangkah pulang dengan kekecewaan dan rasa iba. Baru beberapa menit aku sampai di rumah, telepon berdering, kringggg�..kringgggg��.
Kuangkat ganggang telepon itu, �hallo..,bisa bicara dengan anisah?�, �ya, saya sendiri � sahutku. �tolong nak nisah, eva mencoba bunuh diri lagi awalnya dia bertanya padaku tentang kamu, dia ingat akan dirimu dan aku merasa senang sekali, tapi tiba tiba dia mengiris tangannya tanpa mengatakan apa apa�.�ibu, tenanglah aku akan kesana � sahutku buru buru mengambil kunci mobil yang baru saja aku letakkan di emja kamarku.
Kujalankan mobilku secepat cepatnya, bahkan aku tak peduli lagi akan nyawaku, yang kupikirkan aku hanya tak ingin kehilangan dia lagi seperti dulu, aku benar benar ingin membantunya mengatasi masalahnya. Sesampainya mobilku didepannya, kulihat banyak orang bergerumun, pikiranku makin kalut dan takut, apa yang telah terjadi padanya. �minggir� � ucapku pada mereka yang melihat eva terbaring tak berdaya disitu.�Aku kaget saat melihat tubuh kecil itu penuh dengan darah, aku hanya menjerit ketakutan. Takut bukan karena aku jijik melihat darah, tapi karena aku takut tak bisa bicara lagi dengannya. Nafasnya terlihat sesak dan makin berat. �eva, kau masih ingat aku ev?� tanyaku dengan isakan tangis.�nisah�.kau kecewa kan? Maaf aku tak mau mengecewakan kalian, lebih baik aku menghilang dari kehidupan kalian saja� ucapnya. Dia memelukku dan menangis dipundakku, seperti yang ia pernah lakukan saat aku menyelamatkannnya dari percobaan bunuh diri dulu. �maafkan aku nisah � ucapnya makin berat. �Eva, apa permasalahanmu? Ceritakanlah mungkin aku bisa membantu, bunuh diri perbuatan dosa, kamu pengecut ev �.�Bi..biar aku men..menjadi pengecut asal a..a..aku tidak menyusah�kan bibi dan orang yang ma..makin ba..banyak lagi� sahutnya terputus putus. �terimakasih.� sahut eva lembut ditelingaku seiring dengan kepergiannya. Aku hanya terdiam dan terpaku tanpa bisa bergerak ataupun berkata apa apa. Detak jantungnya sudah tak terasa lagi, tubuhnya juga semakin dingin, dan eva benar benar meninggalkan aku.
Bagai disambar petir rasanya melihat dia benar benar meninggalkan dunia ini dipangkuannku, gelap mataku dan sesak napasku rasanya, �sungguh eva yang malang.. � ucapku dengan tetesan air mata yang tiba tiba saja tak terbendung. Aku sadar aku begitu kehilangannya, eva sahabat satu satunya yang selalu membantuku saat itu, pergi tanpa memberikan sedikit ucapan sepatah katapun. Yang bisa kulakukan saat ini hanya berkunjung ke makamnya setiap aku merasa dia membutuhkan kehadiranku. Foto yang kutemukan itu kini menjadi foto kenangan yang sangat berarti bagiku.�selamat jalan eva, mungkin itulah yang terbaik bagimu, bagi keluargamu dan semua teman temanmu�.
========================================
Pengirim : Anisah Khoiriyah
========================================