Pramoedya Ananta Tour, atau yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Pram, merupakan seorang novelis Indonesia terbesar menurut penilaian Gus Dur. Karena, orientasi dari karya karya sastra Pram lebih dominan menonjolkan sisi perikemanusiaan yang begitu tinggi, menentang kekerasan, dan membela rakyat kecil.
Sementara menurut Mansour Fakih (Direktur Insist), karya Pram yang berjudul “Gadis Pantai”, layak disebut sebagai karya sastra terbesar sepanjang zaman. Karena dalam novel tersebut, Pram mengetengahkan adanya proses dehumanisasi atau proses penolakan terhadap kemanusiaan seseorang yang ditimbulkan oleh feodalisme agama. Sebuah novel yang secara tak langsung memudahkan kita menyadari arti bahayanya memelihara keyakinan yang sempit, seperti rasisme yang berakibat diskriminiatif terhadap kelompok minoritas, kaum pinggiran dan marginal serta masyarakat adat.
Pram memang seorang novelis hebat Indonesia yang saya kagumi. Diantara karya karya sastranya yang terkenal dan sudah diterjemahkan ke dalam 32 bahasa, diantaranya adalah: “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah”, “Rumah Kaca”, dsb.
Ketika dirinya didaulat sebagai pembicara dalam sebuah acara orasi budaya di Taman Ismail Marjuki (TIM), 6 Februari yang lalu, ada istilah menarik dari Pram yang menyebutkan bahwa, saat ini, generasi muda Indonesia yang tidak mampu dan merasa peduli untuk ikut melakukan perubahan terhadap arah nasib perjalanan bangsa dan lingkungannya, mereka itu pantas disebut sebagai “generasi peternak”. Dalam perspektif yang lain, “generasi peternak” yang disebutkan Pram, saya maknai sebagai generasi yang hanya bisa beranak, melahirkan anak.
Berkat kehebatannya, sejak saat itu, setiap tanggal 6 Februari dikenal sebagai “Hari Pram ” (Pram Day).
Diskusi tentang “Mutu STM Telkom Malang Mulai Menurun”, setelah melalui proses diskusi yang panjang dan berliku, akhirnya telah melahirkan sebuah gagasan baru untuk membentuk sebuah ikatan alumni (IAW) yang representatif pada Mei mendatang. Saya merasakan, ada “nilai kepedulian” dalam proses diskusi tersebut.
Nilai kepedulian itu tidak hanya terlihat dari aktivitas teman teman yang menggagas terbentuknya draft IA, ataupun yang memberikan masukan, gagasan atau juga yang tergabung dalam kepanitiaan acara Temu Alumni. Tapi, juga terhadap teman teman yang diam pun, cap kepedulian rasanya harus tetap diberikan. Karena terkadang, diam itu biasanya menjadi mayoritas (silent majority), walaupun diam itu sendiri bisa dimaknai sebagai hal yang setuju ataupun tidak. Ada yang diam itu karena pasrah, asal bisa terbentuk.
Tapi ada juga yang memang dasarnya pesimis, skeptis, apatis, dan individualis. Bersikap masa bodoh dengan apa yang terjadi.
Ditarik dalam konteks yang lebih luas, nasionalisme adalah salah satu wujud dari adanya sebuah kepedulian. Nasionalisme bisa tumbuh dan berkembang secara benar, bila semangat itu dipupuk dari lingkungan yang paling kecil; keluarga. Kemudian merembet peduli terhadap lingkungannya, masyarakat sekitarnya, hingga ke wilayah state.
Jika seseorang hanya memikirkan diri sendiri, bagaimana dan darimana kita bisa menilai ia seorang yang berjiwa nasionalis [baca: yang punya kepedulian]?
Nah, orang orang yang model begini, dalam perspektif saya, tidak usah terlalu besar untuk memikirkan soal kebangsaan, kenusantaaraan, keindonesiaan, maka bisa saya sebut sebagai “generasi peternak” dalam ruang lingkup yang sangat kecil, yakni punya kepedulian terhadap alumni.
Generasi peternak, generasi yang hanya bisa bekerja, menikah, beranak, melahirkan anak, membeli rumah, kendaraan yang kesemuanya itu hanya untuk kepentingan diri dan keluarganya sendiri. Dia tidak perlu lagi memikirkan bagaimana nasib sekolahnya, alumninya, generasi penerusnya, adik adik kelasnya, teman temannya, lingkungan sekitarnya dan sebagainya.
Smoga, kita tidak termasuk dalam generasi yang dikritik oleh Pram itu.
dalam perjalanan Jogja Jakarta, 23 Feb 03.
©aGus John al Lamongany
========================================
Pengirim : Gus John
========================================