Jajanan anak anak kembali jadi sorotan serius. Kali ini, badan pengawas obat dan makanan (bpom) jawa barat merilis hasil pengkajiannya terhadap sejumlah makanan anak anak yang dijual di beberapa wilayah di bandung, jawa barat. Hasilnya, ternyata sebanyak 80% dari jajanan yang diobservasi mengandung bahan bahan yang membahayakan kesehatan, seperti formalin, boraks, natrium siklamat, rhodamin, dan sakarin.
Pengkajian itu dilakukan sejak Mei 2003 hingga akhir September 2003. Namun, Ketua BPOM Jawa Barat Euis Megawati buru buru mengatakan bahwa pengkajian itu bukan merupakan penelitian ilmiah. Itu sebabnya Euis enggan menjelaskan jumlah dan jenis jajanan yang ditelaah lembaganya itu. Dia hanya menambahkan bahwa berbagai zat berbahaya tadi ada pada jajanan anak anak buatan rumah tangga, bukan makanan kemasan buat anak anak yang dijual di supermarket.
Kendati begitu, tak bisa dimungkiri bahwa jajanan anak anak yang dimaksud tak lain adalah aneka penganan yang dijual di sekolah dasar ataupun sekolah lanjutan tingkat pertama. Jajanan yang biasa digandrungi anak anak dan produksi rumahan ini memang gampang ditemui di sekolah sekolah, misalnya yang dijual di halaman Sekolah Dasar (SD) Negeri Cibiru di kawasan Bandung Timur.
Para pedagang di situ tampak menjajakan makanan seperti bakso goreng, cakwe, dan cireng (aci goreng atau terigu campur sagu digoreng). Mereka melengkapi dagangannya dengan saus tanpa merek yang berwarna merah. Menurut Adang, penjual bakso goreng, saus itu dibelinya di pasar dalam satu kemasan kantong plastik seharga Rp 500. �Kalau beli saus bermerek, rugi dong,� ujar Adang.
Adang dan beberapa pedagang lainnya mengaku tidak tahu bila saus itu mengandung zat pewarna dan bahan pengawet. Yang penting, �Bakso gorengnya dilengkapi saus. Kalau tidak, anak anak tidak suka memakannya,� tutur Adang dengan polos.
Di halaman SD Cibiru, ada juga pedagang minuman sejenis sirop. Minuman ini dikemas dalam satu kantong plastik kecil dengan harga hanya Rp 200. Tentu saja siropnya bukan sirop dari kemasan bermerek yang dijual di supermarket atau di toko.
Menurut Arif, penjual minuman bersirop, bahan bahan siropnya berasal dari jeruk dan sakarin (pemanis buatan) yang dibeli di pasar. Ramuan sirop dibuat sendiri di rumahnya. Ia hanya menambahkan sedikit gula pasir ke dalam delapan liter campuran sirop. �Kalau pakai gula pasir semua, perlu berapa kilo, Pak?� kata Arif. Penggunaan banyak gula pasir tentu berisiko: ongkos jadi lebih besar. Karena itu, Arif merasa cukup mengandalkan sakarin atau biang gula.
Arif mengaku tidak tahu bahaya memakai pemanis buatan untuk makanan yang dijajakannya. Sepengetahuannya, pemanis buatan juga sudah lumrah dipakai banyak pedagang. �Jangankan sirop, penjual kolak pada bulan puasa juga memakai biang gula,� tutur Arif menambahkan.
Pengakuan Arif, sebagaimana banyak pedagang kelas bawah, sepertinya main menggampangkan urusan. Padahal, menurut hasil pengkajian BPOM, jajanan anak anak seperti itulah yang berbahaya. Sebab, ya itu tadi, makanan tersebut dibuat dengan mencampurkan zat berbahaya, misalnya formalin atau boraks untuk pengenyal bakso, lantas rhodamin untuk bahan pewarna sirop dan saus, kemudian sakarin untuk pemanis sirop.
MENGANCAM KESEHATAN
Kata Euis Megawati, formalin, boraks, dan rhodamin B merupakan zat kimia berbahaya yang tak boleh dicampur dengan makanan. Biasanya, formalin dipakai untuk mengawetkan mayat, selain juga untuk disinfektan, antiseptik, dan penghilang bau. Sedangkan boraks digunakan untuk pengawet kayu, pengontrol kecoak, dan bahan pembersih. Sementara rhodamin B sering digunakan sebagai zat pewarna pada kertas dan tekstil.
Formalin yang dicampur dalam makanan, sambung Euis, bila dimakan akan bereaksi cepat dengan lapisan lendir di saluran pernapasan dan saluran pencernaan. Pada dosis rendah, formalin dapat menyebabkan sakit perut akut disertai muntah muntah, menimbulkan depresi susunan saraf, serta kegagalan peredaran darah. Dalam dosis tinggi, formalin dapat menyebabkan kejang kejang, kencing darah, tidak bisa kencing, dan muntah darah, hingga akhirnya menyebabkan kematian.
Penggunaan boraks pada dosis rendah bisa terakumulasi di otak, hati, dan lemak. Untuk pemakaian dalam jumlah banyak, boraks dapat mengakibatkan demam, koma, kerusakan ginjal, pingsan, dan kematian. Biasanya gejala akibat keracunan boraks muncul antara tiga sampai lima hari. Gejala awalnya berupa mual mual, muntah, diare, kejang, dan kemudian muncul bercak bercak pada kulit, serta kerusakan pada ginjal.
Zat paling berbahaya adalah rhodamin B. Bahan ini bila dikonsumsi bisa menyebabkan gangguan pada fungsi hati, bahkan kanker hati. Bila mengonsumsi makanan yang mengandung rhodamin B, dalam tubuh akan terjadi penumpukan lemak, sehingga lama kelamaan jumlahnya terus bertambah. �Dampaknya baru akan kelihatan setelah puluhan tahun kemudian,� kata Euis.
Sri Iwa Ningsih, ahli gizi dan makanan di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, membenarkan bahaya bahan campuran dalam makanan anak anak itu. Menurutnya, anak anak yang sering mengonsumsi jajanan yang mengandung formalin, boraks, rhodamin B, dan zat berbahaya lain, biasanya rentan terhadap penyakit. �Pertumbuhan badannya juga cenderung lambat,� kata Sri.
Sebetulnya, pemakaian pemanis buatan seperti sakarin dan siklamat sudah dilarang, kecuali untuk penderita diabetes. Namun, pada kenyataannya, bahan bahan itu masih sering dipakai untuk campuran gula agar jajanan yang dijual terasa manis. Padahal, �Dua zat pemanis itu berpotensi menyebabkan kanker kandung kemih pada manusia,� ucap Sri.
Menyangkut pewarna buatan, rhodamin B, Sri berharap agar pemerintah bertindak tegas untuk melarang pemakaiannya sebagai bahan campuran dalam makanan. Sebab, sampai sekarang, pemakaiannya masih diizinkan. Di beberapa negara pun, hal itu telah dilarang. �Penggunaan bahan pewarna buatan dalam makanan bukan hanya tidak aman, tapi juga tak punya nilai gizi,� ungkap Sri.
Toh, Euis Megawati mengaku tak mungkin buru buru menindak produsen rumah tangga yang membuat jajanan anak. Sementara ini, kata Euis, instansinya mau memberikan penyuluhan lebih dulu tentang bahaya zat zat tersebut kepada para pedagang. Masalahnya, para pedagang menggunakan bahan bahan itu sekadar bermaksud agar produksinya tahan lama dan berwarna lebih menarik, selain harganya jadi tak mahal. �Mereka tak tahu kalau zat zat itu berbahaya,� kata Euis.
Tak bisa dimungkiri, kebanyakan jajanan anak tergolong buatan rumah tangga. Jumlahnya banyak, sehingga sulit dikontrol. Mungkin ada baiknya bila para produsen rumah tangga ini harus punya sertifikat panganan industri rumah tangga, yang akan dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota.
========================================
Pengirim : Conan
========================================