Sloga back to nature kembali ke alam untuk meningkatkan kualitas kesehatan memang sudah tidak asing lagi. Salah satunya menyarankan lebih banyak mengonsumsi makanan alami.

Namun, permasalahannya kini, ternyata sayuran dan buah buahan yang alami sebagian sebenarnya tak layak kita konsumsi. Setelah munculnya revolusi hijau yang berlatar belakang back to nature memang kedua komoditi itu mengalami peningkatan produktivitas luar biasa. Tapi, di balik peningkatan produktivitas itu, sayuran dan buah buahan banyak yang terkontaminasi pestisida yang justru bisa mengancam kesehatan manusia.

“Residu pestisida pada sayuran dan buah buahan ini harus diwaspadai,” kata Ir Eddy Setyo Mudjajanto dari Fakultas Pertanian Jurusan Gizi dan Sumber Daya Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah melakukan penelitian selama dua tahun terakhir.

Kendati mengaku tak mengetahui secara pasti berapa banyak pemakaian pestisida di Indonesia, Eddy mengaku prihatin terhadap penggunaan pestisida oleh para petani. “Yang jelas setelah saya amati, penggunaan pestisida semakin lama terus meningkat. Bahkan, ada produk pertanian yang penggunaan pestisidanya saya nilai sangat berlebihan,” kata Eddy yang ditemui Media di kampus IPB Darmaga, Bogor.

Salah satu penggunaan pestisida berlebihan ia temukan di Brebes. Eddy yang telah melakukan dua tahun penelitian (1997 1998) di Brebes, mengaku sangat terkejut. “Petani menggunakan pestisida tanpa mengenal aturan musim. Bahkan, kalau cuaca mendung bisa sekali sehari menggunakan pestisida,” ungkap dosen IPB ini.

Sebagai peneliti dari IPB, ia mengaku sedih dengan apa yang dilakukan petani tersebut. Petani tak lagi menerapkan tata aturan dalam menggunakan pestisida. “Malahan kami temui di lapangan, para petani mencampur dua atau tiga jenis pestisida sekaligus menjadi satu. Karena tujuan mereka hanya satu, yaitu agar hama mati,” jelasnya.

Tindakan seperti itu, katanya, sangat sembrono karena mereka tak mempertimbangkan dampak buruk bagi manusia bila mengonsumsi sayuran beresidu pestisida tinggi.

Sebenarnya, Dinas Pertanian tidak tinggal diam. Melalui Penyuluhan Lapangan Pengedalian Hama Terpadu (PLPHT), petani kerap diberi petunjuk bagaimana penggunaan pestisida yang baik. Namun, sepertinya para petani tak pernah menerapkan saran para penyuluh. Mereka mengabaikannya, karena lebih mengejar bagaimana meningkatkan produktivitas hasil panennya.

Penggunaan pestisida berlebihan bukan sebatas pada tanaman bawang di Brebes. Eddy juga menemukan penggunaan pestisida berlebihan pada tanaman sayuran di pinggiran daerah Kenjeran, Surabaya, tanaman padi di Indramayu, dan tanaman sayuran di dataran tinggi Pacet, Kabupaten Cianjur. “Kendati penggunaannya tak seintensif sebagaimana di Brebes,” ungkapnya.

Eddy mengatakan penggunaan pestisida tinggi biasanya pada sayuran seperti sawi, wortel, dan kol yang sebenarnya bukan sayuran asli Indonesia. Menurutnya, tanaman nonlokal itu sulit beradaptasi dengan tanah di sini, sehingga untuk membantu pertumbuhannya banyak menggunakan pestisida.

Peneliti IPB ini menjelaskan bahwa pestisida sendiri dibagi dalam tiga kelompok, yaitu organoklorin, organosfosfat, serta karbamak dan piretroid. “Biasanya yang berbahaya adalah jenis pestisida klorin dan fosfat,” jelas Eddy.

Residu pestisida yang tertinggal pada sayuran dan buah buahan bermacam macam sifatnya. Eddy menjelaskan residu pestisida ada yang larut dalam air, residu tak tahan panas, tahan panas, serta residu yang sifatnya sistemik.

Residu yang sifatnya sistemik digolongkan sangat berbahaya karena, kata Eddy, residu sistemik sendiri berarti residu pestisidanya menyerap dalam jaringan buah buahan dan sayuran. “Sedangkan residu yang mudah larut dalam air, sangat mudah. Kita tinggal mencuci buah buahan dan sayuran saja,” katanya.

Kupas dan cuci

Eddy lantas memberi saran bagaimana mengurangi risiko dampak residu secara praktis. Pertama, kupaslah sayuran dan buah buahan sebelum dikonsumsi. Kedua, cucilah buah buahan dan sayuran sampai bersih, dan ketiga, buah buahan dan sayuran sebaiknya dimasak.

Sifat residu sendiri macam macam. Ada yang hilang setelah disemprotkan hanya dalam hitungan jam, tapi ada yang dalam hitungan hari, bahkan bulan. Tapi, Eddy mengingatkan bahwa ada residu yang tak bisa hilang dalam waktu sepuluh tahun.

Memang, menurut Eddy, bisa saja dengan tiga cara tadi masih belum menjamin aman, mungkin saja masih tersisa residunya. “Tapi, paling tidak kita telah berupaya untuk mengurangi risiko residu pestisidanya,” katanya.

Eddy juga mengingatkan agar jangan cepat tergiur dengan sayuran dan buah buahan yang berpenampilan mulus dan tak ada cacatnya. Biasanya, buah buahan dan sayuran cantik itu justru memiliki kencenderungan menggunakan pestisida tinggi saat pertumbuhannya.

Kenapa? Dosen IPB itu menjelaskan karena sayuran dan buah buahan yang mengandung pestisida tinggi, biasanya ulat tak mau memakannya. Tak heran penampilannya sering menggoda mata. “Sebaliknya, sayuran yang daunnya bolong bolong atau buah yang memiliki bintik bintik pada kulitnya biasanya justru tak menggunakan pestisida,” sarannya.

Untuk mengonsumsi sayuran aman, menurut Eddy, ia menyarankan daun singkong dan daun pepaya karena sangat kecil kemungkinan daun singkong atau daun pepaya disemprot dengan pestisida.

Sementara untuk buah buahan, Koordinator PAN (Pesticide Action Network) Riza V Tjahjadi menyarankan mengonsumsi durian, nangka, sirsak, dan sawo. Alasannya, buah buahan itu tak bernilai ekonomi tinggi, maka petani jarang menyemprotnya dengan pestisida.

“Justru pisang cavendis impor yang kulitnya mulus, dan beberapa jenis buah impor lainnya, agak berisiko. Saya lihat sendiri buah buahan itu disemprot dengan pestisida di Thailand,” papar Riza.

Sebenarnya, kata Eddy, nenek moyang petani Indonesia semuanya telah menerapkan pertanian organik, tanpa menggunakan pestisida. Mereka terbiasa menggunakan pupuk kandang atau kompos untuk meningkatkan hasil panennya.

Namun, sejak menggema revolusi hijau yang nyata memicu produktivitas pertanian, berdampak pada semakin intensifnya penggunaan pestisida. Teknik pertanian yang menggunakan zat pembunuh hama itu berasal dari negara maju, lalu ditransfer ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Pestisida dan insektisida dari negara maju, akhirnya membanjiri bahkan membudaya. Dan pemerintah ikut berperan meningkatnya penggunaan pestisida ini.

Padahal, kata Eddy, justru kini di negara maju para petaninya sudah mulai meninggalkan penggunaan pestisida. Sementara di negara berkembang seperti Indonesia, dari waktu ke waktu cenderung terus mengalami peningkatan. Bahkan, tambahnya, petani Indonesia tampak sudah sangat tergantung pada pestisida.

Ia juga menilai sampai sekarang penggunaan pestisida kurang diawasi dengan ketat, law enforcement nya pun sangat lemah. Riza mengatakan sebenarnya pemerintah dengan keputusan bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian No 881 dan 771 tanggal 22 Agustus 1996 telah menerbitkan penetapan batas maksimum residu (BMR) pestisida pada hasil pertanian.

Sementara dari pengamatan PAN sendiri, masih banyak pestisida ilegal beredar. “Oleh sebab itu, sejumlah pestisida yang sudah dilarang pemerintah hendaknya tidak ditolerir,” ujar Riza.

========================================
Pengirim : wilga
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *