Ada hal menarik yang saya dapatkan saat mengerjakan thesis saya. Tentang �Human Error in Decision Making�. Dari judulnya saja sudah bisa ditebak kalau yang akan dibahas adalah mengenai Error nya manusia dalam konteks pengambilan keputusan, dan ini tentu saja bukan merupakan Physical Error, tapi merupakan Psychological Error. Bukan hal mudah bagi saya yang ber background teknik sipil untuk mengulas mengenai psikologi, otomatis bedah buku dan literatur sangat penting, disamping diskusi dengan para ahlinya. Akhirnya, sampailah saya pada analisa dengan menggunakan mental models dan mind set, yang secara sederhana bisa didefinisikan �how people see the world from their perspectives and integrate with people�s biases, values, experience and beliefs� alias perpektif manusia mengenai dunia yg diintegrasikan dengan bias, nilai nilai, pengalaman dan keyakinan. Hmmm.. menarik juga bukan???
Kembali ke human error dan mental models, jika dilihat dari dua unsur mental models dan mind set, berpikir (thinking) dan perasaan (feeling), dengan adanya dua unsur mental models ini pada decision making process ternyata memberikan kontribusi pada terjadinya human erros dengan konsekwensi akhir adalah decision fail. Kalo kita mengacu pada data yang dari Prof. Paul C. Nutt, yang telah melakukan riset sekitar 20 tahunan di 400 perusahaan (dalam bukunya �Why Decision Fail�), dia menyatakan bahwa setengah dari decision yang diambil dalam bisnis adalah fail.
Jika 50% dari keputusan yang diambil di dunia bisnis bisa gagal, padahal sudah di analisa dan ditelaah dengan mendalam, bukan saja oleh satu orang tapi oleh team, bagaimana dengan kita?? Berapa banyak �decision fail� yang sudah kita buat sepanjang perjalanan hidup kita, masih berapa lagi yang sedang kita buat saat ini dan masih akan berapa banyak lagi yang akan kita buat???
Coba kita lihat bagaimana dua unsur Mental Models memberikan kontribusi dalam pengambilan keputusan. Tapi sebelumnya kita lihat dulu apa itu kedua unsur tersebut. Thinking dipakai saat kita menerima informasi, dan pada saat informasi yang masuk itu dipengaruhi oleh humanistic alias emosi atau personality, berarti kita sudah menggunakan feeling. Keduanya saling mempengaruhi dalam pengambilan keputusan dan pada saat keputusan yang keputusan sudah diambil, tidak sedikit kita memberikan atau menerima tudingan atas kesalahan yang dibuat. Ada yang bilang, �Makanya pake otak,…jangan pake perasaaan � atau �Perasaan kamu dimana sih, jangan semuanya pake rasio aja� , dan segala macam. Saat seperti itulah kita baru sadar kalau keputusan yang kita ambil itu salah.
Coba kita runut dari proses pengambilan keputusan secara general. Pertamakali sudah pasti kita tahu dulu apa tujuan kita alias setting objectives. Lalu, kalo tujuannya sudah jelas kita berusaha mencari informasi yang kita pikir relevan dengan tujuan kita (gathering and processing information), yang kemudian di analisa sehingga menghasilkan beberapa opsi untuk dievaluasi (evaluation of alternatives) lebih jauh guna memperoleh keputusan akhir (final decision). Dan sampailah kita pada saat menjalankan keputusan yang nantinya akan mempunyai dua kemungkinan, berhasil (gain) atau gagal (loss).
Upss..tapi jangan salah, banyak sekali keputusan yang kita ambil tanpa melalui proses seperti itu, misalnya ada orang yang setelah tahu apa tujuannya lansung saja mengambil keputusan berdasarkan pengalamannya atau pengetahuannya,…bahkan ada yang mengikuti feeling doang atau intuitionnya. Biasanya quick decision kita ambil untuk keputusan yang menurut kita bukan sesuatu yang vital atau usual or daily decision. Namun, walaupun kadang terlihat sepele, ini perlu juga diperhatikan agar menjadi quick right decision.
Kita coba lihat sebuah kasus yang lazim terjadi ditengah tengah kita. Saat seorang remaja memutuskan masuk fakultas kedokteran dan kemudian dia tidak menyelesaikan kuliahnya dengan alasan,�Aku nggak minat sih kuliah disini�. Suatu hal yang biasa kita dengar, begitu juga dengan alasan yang dilontarkan. �Habisnya perasaanku nggak enak, mama sama papa kan dua duanya dokter, kan nggak mungkin aku sebagai satu satunya anak nggak jadi dokter� atau �aku kasihan sama ibuku, ibu kepengen banget anaknya jadi dokter, padahal aku kepengen banget jadi insinyur� atau �kupikir dulu saat masuk kedokteran masa depanku bakalan cerah, gimana enggak sih, lihat aja tuh dikampung aku, yang jadi dokter udah pada kaya kaya semua�. Dan konsekwensi dari human error saat pengambilan keputusan itu adalah kegagalan menyelesaikan studi, ini bukan hanya berdampak pada dirinya pribadi, tapi juga pada keluarganya. Berapa banyak biaya yang sudah dikeluarkan orang tuanya? Dan entah bagaimana pula orangtuanya berusaha mencari uang demi anaknya mencapai cita cita. Berapa banyak waktunya terbuang untuk sesuatu yang tidak diselesaikannya, padahal jika dia menggunakannya untuk melanjutkan studi di jurusan yang diinginkannya, bisa jadi dia sudah lulus dan berhasil. Dan masih banyak pertanyaan pertanyaan lain yang muncul.
Tidak dapat dipungkiri, manusia selalu dihadapkan pada keputusan, apakah itu dalam kehidupan keseharian, lingkungannya, organisasi, dan sebagainya. Mental models sangat berperan penting dalam hal ini, dan �…there is error in decision making and it is unavoidable�. Menurut Prof. P.N. Johnson Laird, yang sudah puluhan tahun mendalami masalah mental models, �It is impossible to change human mental models, the only way that can do only improve it�, …..alias sangat tidak mungkin mengubah Mental Models seseorang dan yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkannya.
Overconfidence alias sangat percaya diri, adalah human error yang sangat sering dijumpai. Keberhasilan yang diraih selama ini membuat kita berpikir kalau kita sangat yakin bisa mencapai apa yang kita inginkan sehingga mengabaikan (ignore/neglect) kelemahan kelemahan yang ada. Ini membuat kita menjadi memandang sebelah mata (underestimate) sehingga tidak mampu melihat (fail to see) kemungkinan yang bisa saja terjadi. Dan tak jarang pandangan dan prinsip kita terhadap baik dan buruk (moral) luput dari pertimbangan. Semua error ini adalah product dari thinking and feeling tadi. Human error yang seperti inilah yang sering sekali tidak kita perhatikan dan baru menyadarinya saat keputusan sudah berjalan. Dan tak jarang pula, saat kegagalan terjadi, bukannya kesalahan kita yang dianalisa (feedback and review) malahan mencari �kambing hitam�. Bukankah begitu fenomena yang terjadi sekarang ini??
Daripada mencari si �kambing�, kenapa kita tidak berusaha meningkatkan mental models kita, banyak sekali tips mengenai self improvement dan dengan selalu membuat back up plan membuat kita selalu siap sedia menghadapi segala kemungkinan dan jiakalau memang human error tidak bisa dihindari kenapa tidak mencoba meminimalisasinya??
Ade�
Gothenburg
========================================
Pengirim : Ade_gtb
========================================