Hujan masih sedikit menyisakan rintik rintiknya. Jalan jalan masih terlihat basah dan genangan air tampak menghiasi beberapa tempat. Tak seperti biasanya, jalanan nampak lengang, mobil dan sepeda motor jarang melintas, dan tak terlihat orang orang yang berjalan di trotoar . Padahal waktu masih menunjuk pukul enam petang. Senja menunggu malam yang sebentar lagi menjelang.
Kularikan mobil kijangku dengan kecepatan
sedang sedang saja. Alunan lagu Roxette yang terdengar dari tape mobil sedikit menghilangkan rasa penatku setelah seharian bekerja di Kawasan Sudirman, Jakarta Selatan.
Masih seperti kemarin dan hari hari sebelumnya, di halte sekitar Pancoran, aku melihat seorang gadis berdiri sendirian. Matanya tak lepas memandang jalanan di depan halte yang selalu saja sepi dari calon penumpang.
Setiap memandang gadis itu, selalu terbersit rasa penasaran di benakku. Parasnya yang anggun dan manis begitu serasi dengan dandanannya yang sederhana. Beda dengan gadis gadis yang pernah kukencani dulu dan kini. Tak nampak keangkuhan di bola matanya.
Ada sedikit iba saat menyaksikannya termenung dihalte yang selalu sepi dan terkesan suram itu. Juga ada kekhawatiranku yang tertinggal di sana. Bagaimana jika ada orang jahat yang tiba tiba menodongnya, bahkan lebih sadis lagi, bagaimana jika ada orang yang tega menculik dan lalu memperkosanya.
Kekhawatiran yang terus menumpuk mengantarku memberanikan diri mendekatinya hari ini. Entah mengapa senja ini terasa begitu sunyi dan di tiap sudut susasana terkesan senyap. Pelan pelan kuhentikan mobil tepat di depan halte, kubuka pintu mobil, dengan halus kusapa dia,��Mbak, mari saya antar pulang, jangan takut, nggak apa apa kok, saya nggak punya maksud buruk.��
Gadis manis dengan rambut lurus sebahu itu tersenyum kecil. Lantas bibirnya yang mungil berujar, ��Terima kasih Mas, saya nunggu bus saja, bentar lagi paling datang,�� senyumannya masih terkembang di bibir.
Aku maklum dan tak memaksakan diri, Sebisa mungkin aku melakukan gerakan sopan dan pamit. Aku meneruskan perjalanan pulang menuju rumah di sekitar Pasar Rebo. Namun dalam hati, aku bertekad tak akan menyerah. Besok, lusa, atau kapan pun aku akan mencoba berkenalan dengannya. Semoga setiap senja ia masih menunggu bus di sana.
Kesempatan berkenalan dengan gadis itu akhirnya datang, tepat dua minggu setelah aku kali pertama menawarkan diri mengantarnya pulang. Saat itu, malam sudah menjelang dan hujan turun dengan derasnya. Mobil angkutan umum dan bus jarang melintas di depan halte itu. Kusaksikan gadis itu berdiri menggigil kedinginan. Tak terlihat seorang pun di sekitarnya. Ada ketakukan yang membias di wajahnya yang nampak pucat.
Untuk kesekian kalinya, akhirnya tawaranku mengantar tak ditampiknya. Aku senang sekali, terasa lebih menyenangkan dibanding saat aku berhasil memacari gadis gadisku dulu. Aku memang terkenal gonta ganti pasangan. Tapi dengan gadis ini, perasaan untuk mempermainkannya tak ada sedikit pun dalam pikiran. Dari situ aku tahu, namanya Rusnani.
Namun tetap saja ada sedikit rasa kecewa, saat ia enggan kuantar sampai ke dalam rumah. Ia hanya mengizinkanku mengantar di depan gerbang perumahannya di daerah Cipinang, Jakarta Timur. Semenjak saat itu, aku sering mengantarnya pulang, walaupun hanya sampai pintu gerbang.
Setelah satu bulan, berbekal rasa penasaran yang terus menghimpit, diam diam aku memberanikan diri mengikuti langkah kakinya yang mungil menuju kediamannya. Setelah tahu di rumah mana dia masuk, aku bertekad bertandang ke rumahnya, Sabtu besok.
Esok malamnya, pada jam yang telah kutentukan, kularikan mobil ke Cipinang. Keraguan sempat terlintas, ketika tanganku hendak mengetuk pintu rumahnya. Aku khawatir dia tersinggung atau enggan menemuiku. Namun, semua itu tersingkir oleh rasa penasaran yang dalam.
Tak seberapa lama setelah kuketuk, daun pintu rumah yang asri itu terbuka. Di baliknya munculah sosok gadis berparas manis dan anggun. Aku berusaha menyiapkan senyuman yang terindah. ��Rusnani �� pekikku tertahan.
Tapi setelah kuamati lebih seksama ternyata ia bukan Rusnani. Gadis di hadapanku ini memang mirip. Hanya rambutnya tidak panjang sebahu. Rambutnya dipotong, model laki laki.
Mula mula gadis itu kaget, lalu tersenyum lembut. Sepertinya ia paham kegundahanku. Aku dipersilakannya masuk. Kemudian gadis itu melangkah ke ruang tengah, mungkin mengambil minuman.
Sambil duduk di sofa ruang tamu, mataku berputar mengamati foto foto yang terpampamg di dinding. Di salah satu foto terlihat Rusnani sedang merangkul gadis yang baru saja masuk ke dalam. Mungkin mereka bersaudara atau bahkan mungkin kembar. Tapi ke mana Rusnani?
Setelah keluar sambil menghidangkan minuman, gadis itu menceritakan, ia adik kembar Rusnani. Namanya Risnita. Aku menghela napas lega. Dugaanku benar. Namun tak lama, napasku selanjutnya serasa sesak dan tercekat, tenggorokanku terasa kering, meski telah meminum dua teguk teh hidangannya. Risnita mengatakan, ia merasa heran luar biasa, bagaimana mungkin sebulan ini aku bisa kenal Rusnani.
Dengan suara lembut tapi jelas terdengar, ia membeberkan bahwa kakaknya, Rusnani, telah meninggal dua tahun yang lalu. Pada suatu senja yang basah, saat pulang dari kuliah di depan halte sekitar Pancoran, ia terserempet metromini yang sedang ngebut. Nyawanya tak tertolong. Aku terkesiap. Benarkah?
Satu tahun telah berselang, hingga kini aku masih sering terkenang kejadian aneh itu. Meski seorang istri dengan setia telah menemaniku. ��Mas diminum dulu tehnya, nanti pulang kantor jam berapa,�� tanya istriku dengan lembut. ��Sebelum Magrib, Ma,�� aku menjawab singkat sembari memeluk istriku.
Sampai sekarang aku masih merasa, Rusnani telah mengantarku untuk berjumpa dengan istriku, Risnita. Arwahnya telah menuntunku menemukan jodoh.
Jalan Fatmawati, September 2001
========================================
Pengirim : endro yuwanto
========================================