�Kau kira hidup itu mudah, hah? �
�Semua orang telah banyak diperbudak oleh uang, kawan Sekarang ini, di dunia nggak ada yang gratis �

�Serba uang, uang dan uang �. Cemoohannya seperti kilat yang membakar sebatang pohon di tengah padang ilalang. Menggelegar sangat hebat. Seakan dinding dinding beton yang telah membangun ruangan itu akan hancur seketika oleh teriakannya. Itulah kata kata yang selama ini ingin dia luapkan kepada temannya yang hanya membisu di depannya. Amarah itu telah lama ia pendam. Emosi yang terperangkap dalam sel hatinya selama berabad abad, tetapi baru sekaranglah ia sadar akan amarahnya. Kesabarannya telah habis. Dimakan oleh emosi, sakit hati, bingung, juga kesedihan.

Mungkin saat inilah yang tepat untuk meluapkan semuanya. Toh Dia takkan berkomentar apa pun. Tapi mengapa baru kali ini ia berani melakukannya, kenapa tidak dari dulu ia lakukan. Apakah aku seorang pemberani atau hanya seorang pengecut yang pura pura mempunyai sebuah keberanian? Ah Sama saja bagiku. Aku tetap saja seorang pengecut. Walaupun aku kelihatannya berani, itu karena ….

Di dalam ruangan yang berukuran empat kali empat meter, dia berjalan bolak balik dengan pikiran yang semrawut. Entah apalagi yang akan dikatakannya. Ingin ia mencacimaki hingga lidah itu kelu dan amandel meloncat dari mulut pria yang berbadan kurus ini hingga ia tak sanggup lagi berkata kata? Ah apa gunanya semua itu. Hanya membuatnya capek saja dan akhirnya tetap sakit hati. Namun, ia tahu dirinya belum merasa puas mencacimaki kawannya itu.

Rasanya tanduk yang tumbuh di kepalanya belum musnah ataupun ekor di pantatnya belum menggulung. Tapi sudahlah, mungkin ia terlalu capek menanggapi pria yang ada di hadapannya. Pria berbadan kurus dan berambut ikal ini sudah sangat lelah dengan pekerjaan yang baru selesai ia kerjakan, mengontak klien ke sana kemari.

Menawarkan barang barang dagangannya sambil bermain kucing kucingan. Ah Sudahlah memang itulah risiko yang harus dia ambil.
Rasanya seperti bisul yang memuntahkan seluruh lahar nanah yang terkurung dengan berbagai macam tekanan dan rasa sakit selama ini.

Memuncrat keluar dan mengalir tanpa hambatan apa pun. Lega rasanya. Dia hanya bisa memandang dengan tatapan mata sendu dan seakan mengutuk kawannya itu. Mencaci maki, menyudutkannya atau apalah nama lainnya. Yang jelas seperti peluru yang telah menembus tubuh musuhnya yang tengah tidak berdaya.

�Kau merasa kasihan pada setiap orang…,�
�Tapi sesungguhnya kaulah yang patut dikasihani. Mungkin saat itu kau sedang buta,� ucapnya dengki.
�Tindakanmu ini hanya merugikanmu saja. Orang lain mana ada yang peduli denganmu, sekalipun bosmu sendiri,�
�Kau berani berbuat seperti ini padahal kau tahu sendiri, kedudukanmu tak punya pengaruh apa apa. Kau hanya tikus kecil yang tugasnya mencuri keju atau kacang kacang di pasar,�
�Kau ingin kabur dari semua ini, hah? Hidup normal, begitu? � ia mencibirnya.
�Tidak…tidak… kau takkan pernah bisa. Pekerjaan yang kita lakukan ini sangat berbahaya dan kau sudah tahu itu. Aku sudah bilang padamu dulu, tapi kau ngotot juga ingin melakukannya. Biar dapat uang cepet juga banyak, aku masih ingat kata kata
itu, kawan,�

Segurat senyum sinis baru saja menyinggung di bibirnya. Seperti menertawakannya dengan segala macam sumpah serapah. Dia merasa menang dari kawannya. Sebuah senyuman kemenangan atas pertandingan yang tidak menginginkan seorang juara. Keringat mengalir menetes dari dahi ke lehernya bagai aliran sungai yang berkelok di lembah lembah, walaupun ruangan itu telah dilengkapi dengan AC. Mungkin aliran darahnya yang semakin mendidih dalam setiap nadi di tubuhnya sudah tidak terbendung lagi.

Memandang, hanya itu yang bisa dilakukannya, sedangkan sosok yang tengah ia pandang hanya diam membisu kelu. Tak terucapkan sepatah kata pun.

�Ayo Lawan semua perkataanku tadi. Apa kau sudah tak punya nyali lagi? Atau aku yang tak punya nyali? Hingga aku bisa mencaci makimu, menyebutmu pengecut, bodoh, tolol? � sambil melompat lompat seperti petinju yang mulai memancing lawannya untuk menyerang.

�Kenapa kau lakukan semua ini?� matanya mulai berkaca kaca lalu jatuh tersungkur.
�Kau kejar kejar uang… dan uang yang akhirnya mengantarkanmu ke sini,� dia tak pernah membencinya. Tidak pernah. Dia sangat menyayanginya sampai ia menganggapnya sebagai saudara kandung. Atau mungkin ia terlalu egois.

Egois kepada kawan dan lingkungannya selama ini. Bukankah memang semua manusia itu egois. Demi bertahan hidup dan diakui oleh lingkungannya, apa pun bisa terjadi. Pikirannya tiba tiba merayap menyusup menuju dimensi lain yang telah ia lalui bersama kawannya. Ia ingat. Mencoba mengingat. Pita rekamannya mungkin belum berkarat ataupun usang hingga ia masih mampu mengingat semuanya. Kejadian 27 tahun yang lalu.

Di desa itu. Desa yang merupakan tanah kelahirannya dan kawannya itu. Saat saat bersama. Dimana pohon pohon yang besar dan menjulang tinggi masih berdiri kokoh, kuda kuda yang berkeliaran di tanah lapang dengan rumput hijau menyebar berbagi bersama bunga bunga yang bermekaran di setiap sudut desa, yang jarang ia lihat sekarang ini. Yang ia lihat sekarang hanya pohon pohon beton, kuda kuda besi dan bunga bunga plastik menyebar di seluruh sudut kota. Semuanya hanya imitasi. Palsu Bukit bukit yang selalu memanggil untuk mengajaknya bermain di sana. Di tanah lapang itu. Ya Di sana. Angin yang menggerakkan dan menjatuhkan daun daun kering, seakan menari nari dan bernyanyi ketika berlari ke bukit belakang rumah. Seorang kawan yang selalu setia bermain bersama dengan senyuman. Tertawa. Bermain petak umpet.

Membuat rumah di atas pohon. Berguling bersama deburan angin. Semua kenangan itu telah menjadi mimpi belaka. Mimpi yang terwujud tapi tak terasa kehangatannya. Mengingat masa lalu memang tidak akan ada habisnya. Terlalu manis dan menyakitkan. Lelaki itu mulai menyalahkan dirinya sendiri dalam ketermenungan. Jika saja ia menolaknya untuk mencari uang di kota tanpa mengajak kawannya. Mungkin kejadian ini tidak akan pernah terjadi.

Tidak tahu apa apa, tawaran itu langsung diterimanya, bagaikan hujan yang turun di musim kemarau. Rejeki yang tak sanggup ditolak. Bagi warga desa, bisa pergi ke kota dan bekerja di sana adalah sebuah impian. Impian untuk layak hidup senang. Tapi semuanya berbeda ketika mereka pertama kali menginjakkan kakinya di kota metropolitan itu. Ternyata tak semudah yang mereka bayangkan. Berlaku jujur dan hidup dalam kehalalan sudah dianggap barang rongsokan saja. Barang basi. Tidak berlaku lagi.

�Harus main kasar kalo pengen kaya Di sini nggak ada yang halal,�
�Kalo mau yang halal mendingan ke laut aje �
�Yang penting kita bisa makan dan hidup senang, itu saja sudah lumayan,� kata salah seorang kenalan yang mereka jumpai di sana. Yang kemudian memperkenalkan dan membawa mereka pada pekerjaan yang mereka jalani sampai sekarang ini. Bisa dibilang keadaan mereka saat itu kepepet dan tak tahu harus berbuat apa lagi agar bisa bertahan hidup. Ongkos tak mencukupi untuk kembali ke desa. Nasib atau takdir, ia pun tidak tahu persis. Niat ingin hidup senang malahan jadi malang. Ingin untung malah buntung.

�Toh, Lama lama juga kalian akan menikmatinya,�

�Mungkin selama ini aku telah salah menilaimu. Aku kira kau masih punya akal pikiran yang sehat tapi ternyata�,� ucapanya terputus.

�Kau adalah budak uang dan sekaligus budak setan. Itu pendapatku sekarang ini, tak tahu kalau dulu�,� �Walaupun sekarang ini aku juga masih menjabat sebagai budak uang tapi otakku masih jalan dan bisa berpikir jernih dan aku takkan bertindak seceroboh itu,��Dalam bisnis kotor ini, kita harus sabar. Harus sabar dikejar kejar polisi, main kucing kucingan, dicacimaki bos tapi itu nggak akan lama. Kalo kita udah jadi bos, apapun yang kita mau bakal tercapai. Mau jadi orang suci lagi atau terus seperti ini,� Ucapnya sambil menari nari. Seakan tengah merayakan sebuah pesta ulang tahun kawannya itu.

Kemudian kembali ia terdiam, meregangkan otot otonya dan menghela napas panjang. Lalu berjalan mengitari sosok di hadapannya. Perlahan.
�Tapi kau tak perlu khawatir�,� ucapnya tegas.
�Akan kuberitahu keluargamu di desa bahwa kau meninggal karena kecelakaan mobil supaya keluargamu tidak terlalu bersedih dan menyesal atas tindakanmu ini,� suara detik jam dinding mengiringi setiap ucapan dan langkahnya. Seakan menunggu apa yang akan dilakukannya lagi.
�Segala biaya untuk penguburanmu biar aku yang menanggungnya.

Aku ikhlas melakukannya,� tegasnya. Memandangnya. Kecewa bertabur sedih.
�Kudoakan mudah mudahan kau diterima di sisiNya,� �Tapi kurasa itu tak mungkin,� ucapnya dalam hati sambil berlalu meninggalkan ruangan itu dengan menggenggam erat seuntai tali jemuran yang sebelumnya melilit pada leher kawannya, yang dua jam lalu menggantung di tiang penyangga atap rumah.

Siapa berkata kata… ?

Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga
Seorang kawan itu kini hanya membujur kaku dan bermuka biru. Menunggu. Ruangan kembali sepi. Senyap.

Bumi singgah,
080903

Judul asli puisi karya Chairil Anwar �Kawanku dn Aku� (Deru Campur Debu).
Penggalan puisi karya Chairil Anwar �Kawanku dan Aku� (Deru Campur Debu).

========================================
Pengirim : fina sato
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *