Marhaban ya Ramadhan, bulan yang dirindukan ummat Islam, bulan penuh berkah, bulan pengampunan, Tak satupun ummat Islam akan melewatkan suasana islami dibulan Ramadhan ini, ngumpul bersama keluarga, sahur bersama, buka bersama, ke suroh untuk tarwih bersama.
Ke akraban disaat sahur bersama kedua orang tua dan saudara saudara, sangat aku rindukan. Kerinduan ini tak terbendung ketika teman se kost kami membangunkan untuk sahur dihari pertama.
Kami senasib, tetap dirantau melaksanakan puasa Ramadhan, ujian kampus memaksa kami tidak berpuasa bersama keluarga.
Kami kuliah di Yogya, kota ini ramai disaat sahur, Malioboro seakan tumpah oleh anak anak kost an. Kerinduan terobati melihat suasana sahur. Rupanya bukan aku sendiri yang nggak punya keluarga di kota ini.
Nasi putih, tempe goreng, kuah gudeg dan air teh menjadi santapan makanan sahur, makanan itu tidak asing lagi pada perut anak kost dibawah standar seperti aku.
Aku berdoa dan menikmati bersama hidangan sahur, terlintas suasana sahur dirumah, sajian makanan disiapkan untuk sahur pertama, “semua ini dipersiapkan agar dihari pertama puasa kita tidak lemas”, ucap mama.
Kami dari keluarga sederhana, namun suasana keluarga kami sangat rukun. Papa dan mama senantiasa memeluk dan menasehati untuk menghadapi hidup. Ketegaran papa mendidik dan membiayai hidup kami sekeluarga, yang terkadang papa harus mencari pekerjaan tambahan untuk menutupi semua biaya itu.
Papa kami bekas tentara, pangkat rendahan namun hidup disiplin, tegas dan berwibawa. Kami diajari menghargai waktu, terutama waktu ibadah.
“Disiplin seseorang itu dapat dilihat dari waktu ibadahnya”, pesan papa. Ketika kumandang adzan subuh menggema kami berlari menuju suroh, Rutinitas ini papa sering mengajak aku sewaktu masih kecil, dipakaikannya suiter tebal dan segera berboncengan motor ke mushalla tempat kerja papa. Terkadang aku tertidur dipangkuan papa ketika ceramah subuh berlangsung.
Selepas aku dari bangku sekolah, papa memanggilku dan meminta aku melanjutkan sekolah ke Yogya.
“Anakku.., satu dari kalian harus ada yang bisa menjadi sarjana, jangan seperti papa”, suara itu terdengar seperti perintah atasan ke prajuritnya.
“Pa�, kuliah di Yogya mahal, belum lagi biaya hidup, aku bantu papa saja cari duit, biar adik saya saja dikuliahkan”, jawabku tertunduk.
“Kamu anak satu laki, kamu penerus nama baik keluarga, kamu yang harus kuliah dan menjaga keluarga ini kelak ketika papa sudah tiada�
Hangat terasa pelopak mata oleh air mata, betapa besar tanggungjawab seorang papa kepada keluarganya. Dapatkah aku kelak seperti papa pada keluarga�?
Tiga tahun berlalu, tak terasa waktu yang memisahkan kami, tahun berikutnya aku sudah dapat wisuda, mata kuliah habis dan berpredikat baik, akan kutunjukkan kepada keluarga bahwa pengorbanan beliau tidak sia sia.
Ketukan kamar kost anku membangunkan aku dari tidur, “Mas�mas.. ada telepon dari keluarga�”, sahut teman kost.
“Assalamu Alaikum”, sapaku, “Walaikumussalam”, terdengar suara mama. “Mama�apa kabar, apakabar papa, puasanya rame nggak�”, berondongan pertanyaan dari seorang anak yang kangen pada keluarga.
“Mama�, mama�.hallo�.”, jawabku, “Anakku�papamu sakit�., sepertinya dia rindu sama kamu, tapi mama tidak punya uang untuk biaya kamu pulang”, suara mama terasa berat dan parau, sepertinya mama menahan tangisnya, batinku.
Ya Tuhan, izinkan aku menemui papa, doaku. Tapi gimana caranya, kami dipisahkan oleh lautan luas. “Mama� aku akan berusaha untuk pulang”, jawabku, “Iya� hati hati anakku�.assalamu alaikum”. Mama menutup telepon.
Kuhitung lembaran uang kertas dan koin yang terkumpul pada laci meja belajar, terkadang kusisihkan jika kiriman terkadang lebih. Kubulatkan tekadku menuju terminal lalu melanjutkan ke pelabuhan perak di Surabaya.
Akhirnya juru masak kapal mau berbaik hati untuk tidak membayar tiket dengan satu syarat harus mencuci piring selama perjalanan. Setibanya dipelabuhan Soekarno Hatta, kuberlari mencari angkutan umum jurusan ke rumah.
Menjelang buka puasa aku tiba dirumah, sembari bersalam menuju ke kamar papa, kuberi salam pada papa namun papa hanya diam seakan papa tidak tahu siapa diriku.
Kuraih tangan papa yang terinfus, kupegang erat, kucium tangan papa, dan kucium papa, kuminta maaf pada papa, “Papa�maafkan anakmu”, Papaku mengangguk mendengar permintaan maaf anaknya.
Anakku, tegur papaku, Air mataku mengalir, melihat mata papa yang berkaca, selama hidupku, baru kali ini aku melihat air mata papa.
Papa sudah tidak dapat berbicara banyak, papa lebih banyak diam, menatapku dingin.
Suara beduk dan adzan maghrib menggema, pertanda buka puasa berlangsung, mama memberiku segelas air untuk buka puasa disamping papaku.
Saat itu papa semakin sekarat, dingin, kubisikkan kalimat Lai..ilaha..illallah�, papaku mengikuti tanpa suara. Selepas adzan maghrib, papa juga meninggalkan kami, seakan terbawa dengan kalimat adzan, “Innalillahi wa inna ilahi rojium�”, batinku, kucabut jarum jarum infuse, kubersihkan papa sembari kuseka airmataku, kuselimuti dengan batik, ku ikhlas kan kepergian papa dibulan suci Ramadhan, semoga Allah mengambil Nya dengan kasih sayang Nya.
Kepergian papa tidak menyurutkan semangatku untuk tetap menyelesaikan kuliah walaupun harus membiayanya sendiri. Alhamdulillah..berkat doa mama, cita cita papa untuk aku sarjana dapat terselesaikan, semoga papaku bahagia melihat keberhasilanku.
Ramadhan ini mengingatkan kepada ketegeran papa mendidik anak anaknya. Terima kasih papa yang telah banyak memberi keteladanan kepada kehidupanku, tentang ibadah, kejujuran dan tanggungjawab.
Semoga bakti ananda dapat menyinari kuburan papa.
========================================
Pengirim : Gunawan / Mas Gun
========================================