Kantin kampus. Jam setengah tujuh pagi. Masih sepi. Aku baru saja selesai menyantap sepiring nasi pecel saat tiba tiba Esha datang dengan wajah mendungnya.
�Apa yang terjadi?� tanyaku was was.
Wajah itu justru semakin meredup. Akan ada hujan air mata? Badai?
Esha kulihat kepayahan menarik nafas. Menahan tangis.
�Sha��
Kibasan tangan Esha memenggal kalimatku.
�Dia� Dia pergi,� katanya lirih. Lalu tertunduk.
�Dia? Dia siapa?�
�Dani.�
Spontan kugenggam tangan Esha. Erat. Tangan sahabatku itu sedemikian hebatnya bergetar.
Beberapa bulan ini aku memang sering mendengar Esha bercerita tentang sosok Dani. Mereka bertemu di salah satu galeri di kota kami dalam sebuah pameran lukisan. Esha memang suka melihat pameran lukisan. Sementara aku lebih suka melihat konser musik. Jadi wajar kalo kami tidak saling kenal dengan teman kami di luar lingkungan kampus.
�Anak alim. Pendiem. Jarang banget guyon. Saking jarangnya sampe sampe aku malah bengong kalo denger dia bercanda,� kata kata Esha terngiang lagi.
�Wah, Dani mau ke Bali. Study banding.�
�Dani sakit. Kalo sakit mata dibawain buah duren, nyambung nggak? Pasti nyambung, asal durennya dimakan dan enggak dilempar ke mata.�
Mata Esha selalu bersinar kalo ngomongin Dani. Tapi itu bukan patokan bahwa dia suka. Esha memang seperti itu. Salah menafsirkan perhatiannya sedikit saja, maka siap siap saja untuk kecewa. Perhatiannya sama pada semua sahabatnya.
Helaan nafas Esha, membuyarkan lamunanku.
�Dia memang agak berubah akhir akhir ini. mungkin dia menyimpan sesuatu.�
�Kapan dia perginya?�
�Hari ini genap satu minggu.�
Satu minggu. Sementara kemarin aku masih melihat Esha teriak teriak menyemangati tim basket kelas kami. Kampus memang sedang ngadain Pekan Olahraga Antar Semester. Tawanya lepas saat melihat lomba parodi. Seperti tidak ada yang sedang terjadi. Sandiwara hebat. Dan hari ini dia sudah sampai pada tahap keletihan menyimpan semuanya?
Genggaman tanganku semakin erat.
�Kenapa baru bilang sekarang? Siapa tahu dia cuman pergi ke rumah saudaranya��
�Dia pergi enggak pamit,� tukas Esha. Lalu lanjutnya pelan, �Aku cuman ketawa saat temannya cerita kalo dia pergi. Aku nggak percaya, makanya aku diam. Kali aja tiba tiba dia balik.�
�Jangan jangan dipaksa kawin?�
Esha tertawa kecil. Aku ikutan.
�Nggak mungkin. Aku tahu kualitas obyek omongan kita ini. Dia itu�� Wajah itu berubah sayu. �Mungkin aku tidak benar benar mengenalnya. Mungkin selama ini aku hanya sok tahu banyak tentang dia. Mungkin hanya aku yang menganggap persahabatan ini ada.�
�Ssst, jangan negative thinking begitu. Mungkin dia punya alasan kuat ngelakuin ini. Siapa tahu dia tidak ingin membuatmu kuatir, makanya dia enggak ngomong.�
�Tapi kenapa sekarang aku justru kuatir?�
Beberapa hari kemudian yang terlewati adalah pemandangan yang sama. Tawa renyah Esha yang berubah garing kayak kacang. Kacang sih enak tapi ini sama sekali enggak. Esha jadi pendiam. Tidak ada lagi sarapan bareng di kampus. Bahkan acara nonton tiap akhir pekan pun ikut tereliminasi dari daftar. Pulang kuliah Esha langsung balik ke rumah.
Dia lebih sering kudapati menyendiri di perpustakaan. Dengan mata tertanam dalam di halaman buku tapi kalo diperhatiin, mata itu tidak di sana. Bahkan tidak di ruangan perpustakaan. Entah melayang kemana.
�Sudah ada kabar?� cegatku di pintu kelas. Genap satu bulan Dani pergi.
Senyum kecil dan kaku menjawab pertanyaanku. Aku tidak tahan lagi. Sedikit memaksa kuajak Esha di ruang sebelah yang tidak dipakai kuliah.
�Cukup, Sha. Ini sudah keterlaluan. Aku diam bukan berarti enggak peduli. Aku peduli banget. Aku pengen lihat kamu bangkit dari keadaan ini dengan niat kamu sendiri. Tapi sepertinya aku keliru. Kamu justru menghayati kesedihanmu. Kamu menikmatinya.�
�Ta��
�Aku belum selesai. Ini konyol, Sha. Kamu hidup di sini. Dengan teman teman yang sayang kamu. Yang selalu menganggap kamu saudara. Yang melihat tawamu sebagai kebahagiaan mereka. Yang merasakan penderitaanmu sebagai penderitaan mereka. Kamu pernah menyadari itu?�
Esha tergugu. Matanya sembab. Silahkan hujannya datang, badai barusan datang, batinku geram. Badai dariku.
Kusentuh pundak Esha.
�Sha, kita sahabatan sudah lama. Aku ikutan be te lihat kamu seperti ini. Aku pengen bantu kamu tapi bagaimana caranya? Sementara kamu lebih suka memendam semuanya sendiri. Please, balik ke Esha yang dulu. Esha yang ceria. Esha yang��
�Aku� Aku cuman mengkuatirkan Dani. Nggak boleh?�
�Boleh aja. Saat teman kita sedang ada masalah, sudah sewajarnya kita kuatir. Bukankah itu yang sedang aku dan teman teman lain rasakan melihatmu seperti ini? Kamu pernah berpikir, saat ini Dani, entah di belahan bumi mana, dia bakal melakukan hal yang sama denganmu.
Melalui hari dengan lamunan tentang kamu. Melukis wajahmu di setiap apa yang dia lihat, mengingat namamu seperti kamu mengingat namanya. Pernah? Kalo kamu sendiri nggak tahu apa yang saat ini dia lakukan, please, sampe di sini saja kuatirmu. Jangan sia siakan waktumu.�
Begitu kalimat terakhirku selesai, Esha segera berdiri. Tanpa melihatku lagi, dia pergi.
Maafin aku, Sha. Aku hanya ingin kamu balik ke Esha yang dulu. Ada banyak orang yang kecewa setelah kamu berubah.
Tiga hari aku tidak masuk kuliah. Selama itu juga, Esha tidak pernah mengirim kabar. Hari aku memutuskan untuk main ke rumahnya.
Begitu pintu terbuka, seraut wajah teduh dibalik mukena menyambutku. Lengkap dengan senyum tulusnya.
�Masuk, Ta,� kata Esha sambil melepas mukena.
Aku duduk di tepi pembaringan. Mengamati sahabatku melipat mukena. Aku tidak melihat badai lagi di matanya. Secepat itukah?
�Kemana aja, sih, tiga hari ini? Pulang kampung?�
�Iya,� jawabku. �Sha, aku mau minta maaf. Kejadian di kelas itu��
�Ta, aku yang seharusnya minta maaf. Aku terlalu mengkuatirkan Dani. Sampai sampai aku mengacuhkan kalian. Kamu benar, buat apa aku sibuk bertanya tentang dia ada dimana? Sedang apa?�
Aku diam,mendengarkan.
�Bukan karena aku tidak perduli lagi padanya. Aku perduli banget. Seperti aku perduli saat kamu sakit dulu, saat Ega dijodohin sama ortunya bahkan saat Yogi kena razia polisi gara gara ketahuan mabok sambil bawa motor. Semua aku pikirin. Beragam masalah sahabatku dan selama ini aku bisa melaluinya. Karena aku yakin kita bisa melalui semuanya selama kita yakin dengan usaha dan do�a kita. Mungkin yang sedikit membedakan adalah kalian di dekatku dan Dani tidak.�
�Karena kamu tidak bisa bersamanya secara langsung.�
�Iya. Lalu aku sadar, ada kekuatan lain yang akan menjaganya. Kekuatan yang lebih besar dari yang aku miliki. Dani akan selalu dijaga oleh Alloh, dimanapun dia kini berada. Karena aku yakin apapun yang kini sedang dia putuskan dan lakukan, dia tidak akan pernah jauh dari jalan Alloh.�
Kupeluk tubuh sahabat terkasihku. Kami menangis bersama.
�Dia tidak kemana mana, Sha. Dia ada di hatimu. Yakini itu maka semua akan baik baik saja.�
SMG:21.05.03 (refleksi 17.04.03)
========================================
Pengirim : er nisa
========================================