Entah bagaimana aku harus meyakinkannya bahwa aku mencintainya. Dia, cowok yang sudah setengah tahun menjadi sahabat terbaikku. Setiap mengingatnya keremajaanku merekah. Aku ingin mendapat sentuhan bibirnya. Perasaanku telah dikuasai olehnya. Aku semakin rindu untuk menatap sorotan matanya. Mata yang teduh, mata yang penuh ambisi. Hasratku untuk menikmati pesona mata itu begitu bergelora. Angan angan tentang dirinya tak mau pergi dari benakku. Ingatan tentang dirinya tak mau pergi dari lamunanku. Mimpi tentang dirinya sudah tertindih di rajang tidurku. Tempatnya kembali ada di hatiku. Tak ada lagi tempat yang layak di hatiku kecuali untuknya.

�Datanglah Ris jangan kau ragukan lagi diriku sebagai cewek yang layak untuk kau cintai. Aku hanya ingin kau mengetahui bahwa aku mencintaimu, setelah itu terserah kamu,� bisik hatiku setiap mengingat pesonanya.

Untuk mengobati kerinduanku, seperti hari ini, aku mengajak cowok cool itu ke taman tepi pantai. Dia masih seperti enam bulan lalu, pendiam yang romantis. Ombak terus menerjang karang, membangkitkan lagu syair kerinduan. Gemuruh hatiku bagai lautan. Ingin kumuntahkan semua hasratku padanya. Tapi dia masih diam, mata teduh itu terus saja menatap laut. Entah apa yang dipikirkannya. Untuk memecahkan kesunyian kurangkul pingganngnya.

�Ris setelah kita saling mendekat, masih adakah jarak diantara kita?�
�Masih terlalu jarak.� Dia masih menatap cercahan ombak. Kusandarkan kepalaku dibahunya, mengharap ia mau sekedar membelai rambutku yang sengaja kubiarkan terurai begitu saja dipermainkan angin.

�Sekarang masih adakah jarak itu?�
�Jarak diantara kita bukan karena tempat, tapi perasaan.� Oh tuhan mata penuh pesona itu kini menatapku.

Ternyata dia belum berubah. Padahal aku telah lama meng KO kan diriku dalam cinta. Tapi aku tidak sendiri. Entah berapa hati sudah merasa tak terpedulikan olehnya. Aku tak ambil pusing, Aku hanya ingin menjadi cewek pertama yang mampu menambatkan cintaku dihatinya. Sebenarnya aku merasa berdosa pada Asrul, karena menolak untuk memikirkan wajahnya, tetapi lebih memilih Haris. Padahal Haris bukan apa apanya jika dibandingkan dengan Asrul. Asrul memiliki segalanya. Tapi mata teduh itu tetap saja mampu mengalahkannya. Dan sampai kini sepi masih menjadi sahabat hatiku. Aku tak peduli, apalagi harus menyesal. Bagiku kesepian adalah suara tuhan yang mengajarku untuk memahami bahasa kalbuku sendiri. Tapi ada kalanya kesepian itu pula yang membuatku bagai seonggok daging yang tak berguna, seperti yang kurasakan hari ini, aku bagai seorang yang tergeletak di ranjang rumah sakit. Aku tak berdaya. Sakitku karena lelah menentang kata hatiku sendiri. Dan sakit itu semakin parah ketika aku jatuh dari rindu yang tak tertahan.

Sebenarnya, tidaklah aku ingin merajut hari dengan darah hatiku sendiri, yang mengalir di pelupuk mata hatiku. Sebelum darah itu mengalir memang mata hati cintaku sudah buta, hingga kulewati saja kesempatan yang diberikan Asrul. Sampai sekarang, tidak ada protet cowok lain di sini yang ada hanya kerinduan yang menyayat dan harapan untuk dicintai Haris. Cowok jangkung yang selalu mengejar ambisinya.

�Ris, kenapah sih kamu terlalu memaksakan diri mengejar ambisi itu? Kamu sudah terlalu lelah. Tidak sadarkah kamu bahwa dalam ambisimu itu ada hak orang lain untuk merasa lebih dicintai? Jangan kau paksakan dirimu berlari mengejar ambisi itu, tak ada finis dalam pengejaranmu itu, akulah garis finismu kini,� kalimat itu entah berapa puluh kali sudah kuungkapkan padanya.

Mengungkapkan kembali kalimat itu, cintaku bergelora. Gelora yang datang untuk memantapkan makna kerinduan dalam cinta yang masih mengambang. Dengan segala kesederhanaannya, Haris kuharapkan mau menawarkan secangkir penawar dari mata air kasih yang berhulu di lubuk hatinya. Dia kembali menatap ombak yang berpacu menerpa pantai.

�Aku mengajakmu kesini untuk mengurangi kesulitan yang telah berjejer di pintu hatiku, maukah kamu membuka pintu itu?� Ah, haruskah aku mengiba seperti itu?
�Aku tidak mau memaksakan bibirmu untuk menarik senyuman, karena ada keceriaan padamu, untuk apa lagi?� tanya Haris.
�Tapi ajarkan aku untuk senyumlah dengan segala bahasa .�
�Aku tidak tahu bahasa apa itu,�
�Sekarang yang kutahu hanya bahasa kepedihan yang semakin membeku saja di hatiku.�
�Senyumlah dengan keihklasan, karena senyum itu tidak hanya akan menampilkan wajah yang cerah namun juga kehangatan jiwa.�
�Bagaimana bibirku bisa menarik senyuman tanpa perintah hati? Hatiku sekarang bagai seorang pelaut yang selalu berdiri diatas kekhawatiran dan kasih sayangku kini sudah tak punya arah. Aku kini tak lebih bagai penunggang gelombang di rembang petang kehidupan mencari cinta.� Oh tuhan dari mana kudapatkan kata kata itu.

�Tapi hatiku pun sedang gerhana,�
�Aku ingin menjadi mentari yang mengantar fajar itu untuk hatimu yang gerhana.�
�Biarkan gerhana itu menghapus bintang di hatiku, karena aku ingin belajar dalam cinta untuk mengetahui siapa diriku yang sebenarnya dan berusaha untuk hidup dengan keputusanku sendiri.�
�Mengapa kamu terus menerus larut dalam deriat itu Ris? Semakin lama kau berlari dari cinta kamu akan semakin menderita.�

�Ya, aku akui itu, imbalan yang kudapat dari cinta sama dengan penderitaan yang kualami dan kebahagiaan yang kudapat dari cinta pun sama dengan pengorbanan yang kuberikan.� Ah, mengapa mata teduh itu terus menatap ombak.
�Izinkan aku untuk ikut merasakan derita itu,� kataku datar.
�Jangan kau libatkan dirimu, biar semua ini kunikmati. Soal hasratmu untuk itu, biar waktu yang akan menjawab. Dia masih saja mengulur waktu.

�Ris, tahukah kamu, kalau tidak karena cintaku yang membara terhadapmu, tidak mungkin setiap malam kubasahi bantal dengan air mata. Bagaimana kau dapat pungkirikan cinta yang kupersaksikan dengan curahan air mata penderitaan hatiku? Setiap malam cinta yang membara menghiasi kerinduanku.� Aku begitu polos untuk mengakui kerinduanku padanya.
�Maafkan aku Yuli, seandainya engkau tahu hakikat cinta yang sebenarnya, kau tidak akan lagi menungguku.�
�Apakah rupaku terlalu hancur sehingga tidak mampu membangkitkan cinta dihatimu?�

Kulepaskan rangkulanku dan duduk di depannya. Ah mengapa aku jadi emosi, bukankah hati yang lembut itu, harus diluluhkan dengan kelembutan juga?
�Tidak Yuli, dalam perjalanan cintaku, kecantikan tidak kentara mempengaruhiku, sebab dia yang dicintai karena kecantikannya, tak akan dikenal dalam hal lain.� Ah tangan itu kekar itu kini memegang pundakku.

�Tapi mengapa kau abaikan aku?� tanyaku sambil memegang tangan kekar itu.
�Aku tidak mengabaikanmu. Cuma aku takut tidak mampu mempertanggungjawabkan cinta yang kau berikan.�
�Jangan bicara tentang tanggungjawab. Sekarang karena tanggungjawab terhadap hatilah aku tetap menunggu jawaban cintamu. Semoga hatiku kuat menahan derita ini, karena dalam cinta kekuatan adalah perhiasan hati yang sangat berharga,� Ah, entah dari mana lagi kudapatkan kata kata itu.

Dia melepaskan tangannya dari pundakku. Kedua tangannya kini menopang dagu. Matanya kembali menatap hamparan ombak menentang karang.
�Yuli aku tidak ingin kita terus larut dalam perdebatan ini. Biarlah hubungan kita apa adanya, semoga kebaikan diantara kita tetap terpelihara,� katanya pelan,sambil matanya terus menatap karang. Akupun ikut menatap karang itu, benda yang begitu kokoh menahan terpaan. Semoga saja hatiku pun demikian.

�Tidak Ris. Kebaikan itu tidak akan berarti tanpa cinta. Karena kebaikan itu kini adalah kemampuan mencintai orang lain lebih dari apa yang diharapkannya. Semantara kamu belum memberikan apa yang kuharapkan.�

Aku semakin lantang saja mengiba cinta padanya. Ah, mengapa aku harus begitu polos.
�Aku belum mampu menjawabnya. Hubungan kita sekarang tidak lebih dari saling melindungi.� Jawabnya datar, kini wajah yang sudah terlalu sering menghias tidurku itu menatapku serius.

�Ya, tapi dimana aku bisa mendapatkan pria sepertimu, kamu rela mengorbankan segalanya tanpa mengharapkan imbalan kecuali sedikit keakraban. Ris sekarang sebahagian hatiku adalah milikmu, aku pun siap menyerahkan sebahagiannya lagi jika kamu mau menerimanya.�
�Yuli kamu tidak mungkin terus mengharapkanku.�
�Tidak ada yang tidak mungkin bagi hati yang ihklas.� Aku mencoba untuk tegas
�Aku takut keihklasan itu akan memperdayamu terus menerus dan selanjutnya akan berbuah kebencian.�
�Aku tidak pernah takut pada kebencian yang timbul karena cinta. Tapi takutlah Ris jika tidak pernah memulai untuk mencintai.�
�Aku tidak mau kamu renta dalam penantian.�
�Baiklah, biarkan aku renta dalam penantian. Aku yakin hatimu akah luluh. Aku yakin akan datang suatu masa dimana kamu tidak bisa menolakku dan akupun demikian.�

Aku begitu yakin pada tekadku untuk merebut hatinya. Kini kedua tangannya kembali memegang pundakku. Tatamannya semakin tajam, deg dekan juga hatiku menatap mata itu. Ia diam sejenak. Aku hampir salah tingkah.

�Mengapa kamu mau menahan kepedihan hanya untuk menungguku?� ah suaranya kini begitu lembut.
�Tidak Ris, satu satunya kepedihan bagiku adalah mencari bandingan bagimu. Aku tidak mampu, karena kamu memang belum ada bandingannya bagiku.�
�Yuli, terimalah Asrul yang setara denganmu, dia kawan yang baik. Aku tidak mau kawan kawanmu menerima cemoohan hanya karena mencintai orang sepertiku, aku tak punya apa apa.�

Hatiku terasa tersayat mendengar ucapannya itu. Kutepis tangannya, kini aku tak dapat menahan air mata. Kuraup muka dengan kedua telapak tanganku. Kegalauan semakin kentara menghias benakku. Dari celah jariku kutatap pasir pasir bisu. Mengapa tuhan menciptakannya untuk bisu. Seandainya ia bisa bergerak dan bicara, aku yakin ia akan membelaku, mendukungku untuk meluluhkan hati yang dingin itu.

�Jangan kau sakiti hatiku dengan kalimat itu. Memang aku ditakdirkan hidupa dalam golongan seperti Asrul. Tapi tahukah kamu semua mereka itu munafik. Tak ada kebahagian di situ. Mereka dipaksakan untuk tersenyum. Tak ada kebahagian dalam gelora yang glamour itu Ris. Jika aku mau menerima mereka yang hidupnya sama sepertiku, aku tak akan memperoleh keistimewaan. Ris keindahan jari manis akan hilang bila permata dan cincinnya sama.� Kataku lesu sambil menatap wajah dingin itu.

Suasana hening, gemersik angina menerpa daun cemara. Haris kembali menopang dagu dengan kedua tangannya. Tatapannya kosong.
�Ah betapa langkanya cowok sepertimu Ris, ditengah kemunafikan kota ini.� Bisik hatiku. Akupun ikut terpaku menatap riak menghempas pantai.

�Bukanlah masih ada hari esok yang lebih baik Yuli?� katanya memecah kesunyian setelah melepaskan tangannya yang menopang dagu. Kini tangan itu benar benar membelai rambutku. Kurebahkan kembali kepalaku ke pundaknya.Dan untuk pertama kalinya hangat nafas haris menyentuh pipiku.
Banda Aceh, Desember 2003

Oleh: Iskandar Norman

========================================
Pengirim : Iskandar Norman/Norman
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *