Dengan nada setengah bercanda, seorang tetangga kos penulis di Mampang bilang, “Dasar orang Jawa Ke Jakarta hanya bawa maksiat saja,” ketika menyaksikan goyangan penyanyi dangdut, Inul Daratista di televisi beberapa bulan yang lalu. Publik pun demikian, terjebak pada polemik Inul.
Pro kontra muncul. Runyamnya, setiap persoalan yang muncul di masyarakat akhir akhir ini, selalu melahirkan dua kutub yang saling berhadapan (atau sengaja dihadapkan?); menjadi persoalan muslim atau non muslim.
Pihak yang menolak aksi goyangan Inul, masuk dalam satu kutub yang bernama kelompok yang menyebut dirinya “Islami”, sementara kutub yang lain, yang pro Inul disebut sebagai “tidak Islami”. Begitupun dalam kasus pengesahan RUU Sisdiknas. Yang pro diklaim sebagai “membela Islam”, dan yang kontra dianggap sebagai representasi “non Islam”.
Dari kacamata kehidupan berdemokrasi, polemik semacam itu adalah hal yang wajar. Tapi bila dilihat dari sisi integritas RI sebagai Negara Kesatuan, tentu itu sangat mengkhawatirkan. Artinya, semangat toleransi, menjaga sikap pluralisme, kesadaran sebagai bangsa yang ber Bhinneka Tunggal Ika, lambat laun mulai perlu dicemaskan.
Inul memang orang Jawa.Tepatnya berasal dari Gempol, Pasuruan. Tetapi melihat fenomena Inul, kemudian digeneralisir sebagai sikap mayoritas orang Jawa, merupakan sebuah pikiran yang sempit. Baik pihak yang pro ataupun yang kontra terhadap Inul, masing masing memiliki kelemahan argumentasi.
Goyangan Inul, bagaimana pun tetap menyesatkan. Merusak moral dan akhlak, terutama bagi generasi muda, anak anak yang belum cukup dewasa. Mendukungnya, berarti perlu dipertanyakan standar moral seperti apa yang dimiliki orang tersebut. Sementara, melarang (mencekal) Inul bergoyang dengan dalil agama sekalipun, juga kurang mengena, mengingat pintu pintu yang bisa mendatangkan maksiat yang lain tetap dibiarkan terbuka, tanpa ada larangan ataupun upaya pemberantasan. Ambil contoh; pemutaran film India di televisi yang mempertontonkan goyangan sensual dan memperlihatkan pusarnya. Munculnya tabloid khusus sex (TOP,POP, dsb), adanya layanan telepon sex yang menggunakan jasa premium call. Belum lagi acara acara live di televisi yang diputar menjelang tengah malam seperti, “Bantal”, “Kelambu”, “Angin Malam”,dsb.
Lalu bagaimana dengan hiburan malam di Jl. Jaksa, Legian nya Jakarta itu? Yang lebih parah, masyarakat awam Jakarta barangkali tidak percaya bila mereka mengetahui dan membaca sebuah riset sosial yang terangkum dalam buku “Jakarta Under Cover: Sex In The City”, karya Moammar Emka. Buku kecil setebal 486 halaman itu, dengan sangat gamblang menceritakan adanya berbagai macam model layanan sex yang berkembang di Jakarta. Dalam risetnya, Emka mencatat, ada 24 model layanan sex yang terbatas untuk kalangan atas itu. Sebut saja seperti: seks bulan madu pajero goyang, Melrose Place high callgirls, blue nite cowboy stripper, sex game gadis gadis gaul, kencan bule bule impor, dan layanan seks lainnya.
Sangat lucu, bila Inul diberi brand sebagai simbol pornografi, sementara layanan sex buat kalangan elite tersebut begitu leluasanya menjamur di seantero ibukota. Mencekal Inul saja sebenarnya tidak cukup, masih diperlukan adanya aturan (UU) yang jelas yang melarang adanya pornografi dan pornoaksi. Sayangnya, kedua item yang menjadi trend itu, sangat menguntungkan dari sisi komersial, yang tentu saja dana haramnya bisa digunakan untuk membungkam terbitnya sebuah Undang Undang. Jadi, mau apalagi?
Padepokan Tebet,10 Juli 2003,01:05.
© aGus John.
========================================
Pengirim : Gus John
========================================