Tuhan menciptakan segala sesuatu berpasang pasangan. Ada ibu, ada ayah. Ada muda, ada tua. Ada gelap, ada terang. Ada positif, ada negatif. Ada baik, ada jahat. Selalu begitu. Semua pasti ada maksudnya, walau kita sering tidak mengerti, tidak paham, apa makna di balik semua itu. Dan kita memang tidak perlu berkutat mencari tahu, karena yang lebih penting adalah memilih sisi positif dari pasangan pasangan sifat maupun keadaan yang diciptakan Tuhan. Itu sebabnya kita dibekali software super canggih yang namanya akal, untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Setelah mampu membedakan, kita juga dituntut untuk memilih. Dalam proses memilih ini, selain menggunakan akal, diperlukan juga perangkat lain yang namanya nurani, yang kadang disebut juga dengan istilah hati kecil. Orang bijak mengatakan, hati kecil merupakan satu satunya bagian dari diri manusia yang tidak pernah berbohong, sehingga memiliki peran besar dalam menentukan kualitas moral seseorang.

Idealnya memang begitu. Dalam setiap tindakan, kita selalu dituntut untuk menggunakan dua perangkat tadi, akal dan nurani. Namun sejalan dengan semakin tuanya umur dunia, justru peran kedua alat canggih itu semakin terpinggirkan. Tuntutan hidup yang semakin mengedepankan semangat hedonisme, membuat akal dan nurani justru dianggap sebagai penghambat. Pilihannya bukan lagi mempertimbangkan mana yang terbaik, melainkan mana yang paling menguntungkan. Makanya tidak heran jika kejahatan semakin merajalela, seperti sering terungkap lewat berbagai media. Pencurian, perkosaan, pembunuhan, penyuapan, sampai korupsi, menjadi menu harian dalam pemberitaan koran, radio mau pun TV. Menurut berbagai lembaga survey, informasi informasi seperti ini bahkan mampu menaikkan rating acara TV/radio serta oplah media cetak, yang pada gilirannya mampu mendongkrak pemasukan iklan.

Yang menarik adalah, bila kita amati, secara umum ternyata ada kelas kelas yang membedakan perlakuan sosial masyarakat, termasuk piranti/aparat hukum, terhadap berbagai jenis kejahatan yang ada. Tengoklah maling maling kelas teri yang ditahan di kantor polisi. Mereka sudah babak belur bahkan sebelum mereka diputuskan bersalah atau tidak oleh pengadilan. Muka bengkak, bibir jeding, tubuh penuh luka bekas sundutan rokok. Sudah bukan rahasia bahwa polisi masih sulit meninggalkan hobi mereka untuk menyiksa para tersangka kejahatan kelas teri ini, hanya untuk mendapatkan pengakuan yang sesuai dengan keinginan mereka. Belum lagi sebagian anggota masyarakat yang seringkali diminta atau tidak juga ikut menyumbang pukulan dan tendangan. Sekarang tengok para tersangka korupsi, yang belakangan jumlahnya meningkat gila gilaan. Mereka yang rata rata datang dari kelas menengah atas ini, aman dari perlakuan tidak menyenangkan. Apalagi hampir bisa dipastikan bahwa mereka punya pengacara yang siap membela jika terjadi apa apa terhadap mereka. Polisi berpikir seribu kali untuk melakukan kekerasan fisik terhadap mereka, kecuali siap menuai masalah. Masyarakat juga tidak berani bersikap tidak sopan, apalagi bertindak kasar. Inilah fakta yang tidak bisa dipungkiri.

Apa gerangan penyebab perbedaan perlakuan ini? Agak sulit memang untuk mencari jawabannya, terutama jika ditinjau dari sudut logika, meskipun keduanya sama sama tersangka pelaku kejahatan. Padahal sesungguhnya yang membedakan hanyalah pembagian kelas kejahatan menurut standar barat. Mereka yang berisiko mendapat perlakuan kekerasan fisik adalah tersangka pelaku kejahatan kerah biru (blue collar crime), yakni mereka yang di dalam tatanan masyarakat dianggap sebagai kelas buruh, kelas orang biasa, kelas the man on the street. Sementara para tersangka kasus korupsi digolongkan dalam tersangka kejahatan kerah putih (white collar crime). Mereka ini memang memiliki status sosial yang cukup baik di masyarakat, serta tentunya memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi. Kaum elit, begitu istilah awam menyebut mereka.

Koruptor memang maling berkelas. Saking berkelasnya, masyarakat, bahkan media, cenderung lebih hati hati memperlakukan mereka. Istilah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kejahatan mereka menunjukkan hal itu. Istilah pelaku penggelapan, misalnya, lebih disukai ketimbang istilah garong. Penyalahgunaan dana dipakai untuk mengganti kata korupsi. Padahal esensinya sama saja, mencuri. Koruptor bahkan memiliki kadar kejahatan yang jauh lebih besar dibanding pencuri kelas teri. Logikanya, mana ada orang korupsi hanya untuk beli beras buat makan hari ini. Kalau pun ada, mungkin berasnya ratusan ton.
Perlakuan masyarakat juga tidak jauh berbeda. Sanksi moral untuk koruptor cenderung lebih ringan dibanding sanksi moral terhadap maling ayam. Orang masih bisa membungkuk hormat di hadapan orang yang sudah nyata nyata diputus pengadilan sebagai koruptor. Sementara, maling ayam yang mencuri untuk sekedar bisa mengganjal perut, dikucilkan tanpa ampun.

Inilah realita yang ada di sekitar kita. Korupsi, seolah olah kanker ganas yang amat sangat sulit untuk disembuhkan. Dari tingkat atas sampai tingkat bawah, selalu terjadi. Celakanya, di tengah masyarakat yang menganut budaya patron, budaya panutan, justru banyak sekali orang orang yang seharusnya menjadi teladan, malah menjadi pelaku kejahatan kerah putih ini. Akibatnya, semakin lama orang semakin menganggap bahwa korupsi merupakan hal yang wajar dilakukan oleh para petinggi, dan itu yang akhirnya dicontoh oleh orang orang yang ada dibawahnya. Maka berurat akarlah korupsi, dari atas sampai ke bawah, dari yang berskala nasional, regional, sampai tingkat lokal. Belakangan kita dikejutkan oleh maraknya kasus korupsi yang terjadi di belasan DPRD Tingkat II. Wakil rakyat yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat, malah merampok uang rakyat. Sebuah kekejian dan pengkhianatan yang sungguh menyakitkan.

Belakangan, korupsi malah cenderung dianggap sebagai perbuatan terhormat. Rasanya kurang pas kalau ada kesempatan, tapi tidak melakukan korupsi. Selain bisa menunjang semangat memuja kebendaan, korupsi juga bisa menaikkan popularitas, yang dalam skala tertentu bisa membantu mencapai tujuan tujuan politis maupun tujuan tujuan lainnya. Bahkan kalau berhasil lolos dari jeratan hukum, terkesan ada semacam kebanggaan bahwa diri sang pelaku memiliki kehebatan luar biasa, kekebalan hukum, sekaligus �barangkali ketebalan muka di atas rata rata, sehingga membuat yang bersangkutan semakin menepuk dada.

Lalu apa yang bisa dilakukan oleh kita, untuk menyikapi semua itu? Ajaran Islam mengatakan, jika melihat kemunkaran ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama, jika memiliki kekuatan, lawanlah kemunkaran dengan tangan. Artinya, kalau kebetulan anda menjadi hakim yang punya kewenangan memutus perkara korupsi, maka jatuhkanlah keputusan yang adil. Kalau anda jadi polisi, perlakukanlah semua orang dengan adil, jangan pilih pilih berdasarkan pertimbangan uang atau status sosial. Kalau anda jadi Presiden, jangan cuma memanjakan konglomerat, tapi perhatikan juga rakyat kecil. Kedua, jika tidak bisa dengan tangan, lakukanlah dengan lisan. Ungkapkanlah kebenaran, jangan ditutup tutupi. Sebutlah warna hitam dengan Hitam, dan warna putih dengan Putih, jangan ditukar tukar. Ketiga, jika dengan lisan juga masih tidak mampu, maka lawanlah dengan hati. Jangan pernah merestui kemunkaran, meskipun kata Nabi inilah selemah lemahnya iman. Semua itu bisa kita lakukan dengan berpedoman pada akal sehat dan hati nurani.

Yang tidak kalah pentingnya adalah menanamkan pemahaman agama dan pemahaman moral yang baik kepada anak anak kita sejak dini. Jangan sampai pemahaman salah kaprah tentang mana yang baik mana jelek, mana benar mana salah, berlangsung terus menerus hingga menjadi kebenaran itu sendiri. Selain itu, jadikan diri kita sebagai panutan yang baik buat anak anak kita. Jangan melarang anak anak merokok sambil mulut kita mengepulkan asap rokok. Artinya, jangan mengajarkan untuk tidak korupsi, padahal kita sendiri koruptor. Rantai kebejatan moral harus diputus, dan itu harga mati. Kecuali, jika kita ingin anak anak kita, generasi mendatang, menjadi pelaku pelaku korupsi kelas kakap karena mereka menganggap koruptor merupakan profesi bergengsi. Na�udzubillah.

Penulis tinggal di Panjalu

Tata Danamihardja
Jl. Raya Barat no 199
Panjalu � Ciamis
46264

========================================
Pengirim : tata danamihardja
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *