Jadi. Sudah habis perkataanmu?
Belum. Saya belum selesai. Bahkan sampai esok dan esok dan lusanya esok pun,
saya tak akan kehabisan kata kata, Bapak.
Tapi kenapa tadi kau membisu?
Saya hanya berpikir, betapa sulitnya seorang tua seperti Bapak memahami
seorang muda seperti saya. Padahal, ah, saya tahu Bapak juga melalui masa masa
seperti saya sekarang. Muda dan penuh kelabilan.
Aku tidak setuju.
Pedulilah.
Aku berdiri dan tanpa pamit lagi kuhamburkan kaki melewati pintu sambil
membayangkan betapa kesalnya ia dengan ulahku. Sekali lagi aku tak peduli.
Karena hari ini aku harus menyelesaikan beberapa dialog lagi di depan sidang
skripsi, untuk kemudian menyusun dialog baru di depan ia, lelaki tua yang
hobinya bersarung dan berkaos oblong lengkap dengan peci haji itu. Esok, ya,
esok lagi seperti kemarinnya kemarin. Ah, pedulilah.
Sembari memperhatikan kakiku yang teratur melangkah di atas trotoar, pikiranku
menerawang ke lelaki itu, kejap kemudian ke kekakuan sikapnya. Sumpah, aku
telah bertemu berbagai karakter manusia, tapi baru kali ini menemui sosok
bertipikal sangat tidak kooperatif seperti beliau. Melihat tingkahnya yang
keras itu, aku yakin negosiator ulungpun tak sanggup membuat kekakuannya goyah.
Seorang tua, berumur, bau tanah, keriput, bungkuk Bah, apalagi kelebihannya
sehingga ia bersikap seolah olah paling sempurna di dunia. Paling tinggi
derajatnya, paling banyak hartanya, paling melimpah rekannya, paling tersebar
jaringannya, paling…
Hiat Kutimpuk saja mukanya dengan sandal jepit. Biar terpekik, biar meringkik
kesakitan, biar memar, biar bercarut, biar tambah merah saga mukanya. Dan biar
ia membalas lemparkan sandal jepit ke mukaku. Setelah itu aku akan segera
tertawa dalam sakit karena bisa menunjukkan pada semua orang, betapa lelaki
yang menyebut dirinya manusia beretika itu telah berbuat lepas kontrol. Tak ada
keseganan buat orang orang yang terlepas emosinya. Apalagi berkelakuan brutal
dan semena mena Lalu akupun bergembira dengan kemenangan telak ini. 1 0, pak
tua… 1 0.
Tapi, (aku mendengus, menendang kaleng minuman soda di trotoar) ini bukanlah
sebuah kebijaksanaan, ini cuma emosi yang bakal memancing kerusakan belaka. Dan
tentu saja aku tak akan melakukannya, sebab aku adalah seorang mahasiswa.
Sekelompok orang dengan sistem pendidikan tertentu dibuat sedemikian hingga
menjadi manusia manusia berpikir analis sebelum bertindak. Meski, ingin sekali
aku menimpuknya Sumpah
Sebuah angkot kuning jurusan Terminal Baru Kawat Simpang Mayang Rawasari tiba,
aku menggapai, ia berhenti, lalu meluncurlah tubuhku menuju Rawasari, terminal
pusat yang terletak di jantung kota Jambi untuk kemudian bersibuk sibuk dengan
urusan keduniaan lain.
Pagi datang lagi. Kali ini ia tidak seceria kemarin saat tawanya menghangatkan
tubuh, senyumnya mendinginkan hati, candaannya menghadirkan semangat. Entahlah,
mungkin ia ikut bersedih mengingat hari ini adalah hitungan kesekian kalinya
aku harus berjumpa dengan Bapak tua itu. Lelaki bersarung dan berpeci haji
dengan tubuh gempal itu.
Aku sudah di depan pintu kost tatkala pagi secara tiba tiba membawa
bergumpal gumpal awan hitam di langit, kemudian dingin menyergap cepat. Sempat
tertahan niatku kalau tidak mengingat betapa pentingnya hari ini, betapa
mestinya aku menjumpai Bapak tua itu.
Ah, pagi. Aku tahu kau berusaha menghalangiku. Tapi mengertilah sayang,
sekarang waktu yang tepat untuk menyelesaikan segala, menegaskan persoalan
diantara aku dan Bapak tua itu. Karena esok, aku… harus berjuang lagi.
Tampak pagi marah. Ia menyuruh gumpalan awan menyuarakan kemarahannya dengan
guntur guntur dan petir petir dahsyat, saling bersahut, dan keras
Dengar
Petir petir itu semakin keras suaranya, aku pun meninggikan suara.
Saat ini aku tak memandang betapa dekatnya persahabatan kita, betapa
kesalnya kau akan kekerasan kepalaku, betapa inginnya kau menyudahi kesusahanku
dengan Bapak tua itu, betapa prihatinnya kau atas keadaanku yang menyedihkan
ini, karena aku harus menyelesaikan segalanya hari ini, mungkin. Atau minimal
esok, atau esoknya lagi. Sampai benar benar mendapat titik temu antara aku dan
Bapak tua itu, Pagi. Paham
Dadaku naik turun, aku berbalik badan dan mengunci pintu. Kemudian setengah
berlari aku sentuh sentuh aspal sempit lorong ini. Sementara pagi, ia tak
berkutik kini. Awan hitampun telah diusirnya pergi, menjauh dan terus
menghilang di langit. Aku melirik ke atas, tampak wajahnya murung tapi
mendoakan agar aku berhasil.
Terima kasih, sobat… ujarku menggumam tanpa mengurangi kecepatan
langkahku.
Masih sama dengan kemarin, lelaki tua itu tengah duduk santai di naungan payung
taman halaman depan, menghisap cerutu, asap memburu langit dan hampir saja
membuat pagi terbatuk.
Masih tenang sikapnya, sampai ketika aku menuju lelaki itu, barulah semua
ketenangannya hilang lalu berganti kegelisahan. Wajahnya gusar dalam berdiri,
matanya begitu berharap agar aku tak jadi mendekat, dan pulang seketika. Tapi
tidak, aku malah menawarkan jarak agar semakin tipis.
Kau lagi…
Tak ada reaksi lain selain kekesalan, Bapak? (Hatiku mengiris dirinya sendiri.)
Ya, aku lagi…
Tolong, jangan bunuh aku, seperti kemarin, Bapak. Kumohon… (Aku merasa
sakit.)
Bapak tua itu segera duduk. Tampak sekali ia tak ingin memesrakan pantatnya
dengan bangku beton yang diukir seperti kayu balok. Kemudian tangan kirinya
mengepal keras di atas meja bundar juga seperti balok lebar, hingga kentara
betul kemarahan yang ia tahan.
Jadi…?
Seperti kemarin.
Masih belum paham juga?
Saya paham, tapi tolong pahami saya…
Ia mendengus sambil sontak berdiri. Lalu keras dicampaknya cerutu yang masih
tinggal separuh ke tanah.
Kau ini mahluk apa sebenarnya Satire satire yang kulontarkan tak kau
indahkan, bahkan sarkas sarkas ku juga tak masuk ke pemahamanmu
Mukanya merah, tubuhnya bergetar, dan keringat berlarian dari pori porinya.
Sementara nafasnya, seperti knalpot tersumbat.
Bapak, untuk kesekian kalinya kau membunuhku. (Tak ada detak, hatiku telah
mati.)
Dengan lemas aku berdiri. Matanya kutatap sesaat untuk kemudian terpejam dalam
tunduk lebih lama. Kudengar keluhnya, aku melenguh. Rumput Jepang di antara
sepatu putihku membiarkan mataku menyentuh tubuhnya.
Saya tahu, saya… Mmm, mungkin terlalu berani. Tapi…
Aku mendengar ketakutan dari suaraku.
Ini perkara hati, Bapak. Hati. Sesungguhnya ia adalah sebuah keajaiban.
Entah darimana aku mendapat kekuatan hingga ketakutan itu hilang. Suaraku
lebih tertata kini. Mungkin ini…
Kekuatan hati. Meski berkali kali ia mengalami pembunuhan, ia tetap saja tak
bisa mati. Apalagi hati yang mencinta. Seperti kristal gula, ia cantik ketika
beku dan tetap manis saat air meleburnya. Dan tak ada kekuatan yang bisa
membunuhnya, tidak juga Bapak.
Mataku telah sedemikian akrab dengan Rumput Jepang. Mereka seolah tersenyum
memberi dukungan.
Aku tak ingin jadi pembunuh. Malah aku ingin menghidupkannya dalam sebuah
prosesi.
Sesaat kulepas mataku dari si Rumput Jepang, lalu kusentuh tatap bola mata
hitam lelaki berpeci di depanku. Ia telah melunak.
Benarkah?
Ya… Namun mesti mengikuti prosedur.
Apakah saya tidak…
Lelaki itu menggeleng pelan. Kemudian kembali duduk. Akupun mengikuti.
Aku mencintainya, Pak. Sangat…
Adakah Bapak meresapi kegurihan kalimat ini; aku mencintainya..
mencintai nya? (Hei, lihat. Dia menari menari, tertawa tawa, dan…
tersipu sipu menggemaskan. Duh, hatiku telah membunuh kematiannya.)
Kembali lelaki berpeci dan bersarung merah garis garis itu mendengus.
Kelihatan sekali ia kehilangan kata kata, atau tengah mencarinya. Entahlah.
Yang jelas kini ia telah memunggungiku, dan bersiap untuk pergi.
Ternyata Bapak tak setua usia Bapak, pelan aku bergumam. Sementara ia
membalikkan badan cepat dengan lototan mata.
Kau bicara apa?
Pertalian antara ketuaan, kemudaan, dengan kejujuran.
Bapak itu mendekat, kemarahannya begitu panas menyentuh pipiku. Bagaimana
itu?
Seperti tadi, aku terpaksa merelakan kepalaku kembali mengintip Rumput Jepang
yang genit di antara kaki.
Masa muda ialah ketika manusia seringkali melakukan kebohongan demi
kebohongan. Sedangkan masa tua, ialah ketika manusia menyadari segala
kebohongannya di masa muda, dan tiba tiba ia merasa bersalah. Saat itulah
seringkali manusia spontan memusuhi kemudaan beserta seluruh ornamennya. Tetapi
ia tak sadar, bahwa ia masih muda untuk usianya kini.
Diantara Si Rumput Jepang, aku melihat tak sedikitpun perubahan dari
bayang bayang lelaki itu, tak lagi kurasa pipiku diterpa panas kemarahannya.
Kini yang tinggal cuma selingan angin, dan teduhan awan hingga seluruh
bayang bayang tubuh kami lenyap tersebab mentari telah diselimutinya.
Dari bicaramu, aku mencium bau Nietzche. Setengah berbisik ia berkata.
Kemudian balikkan badan dan saat itulah mataku baru beralih ke punggungnya.
Filosofi gila dia, tak ada hubungannya dengan kita… Pulanglah.
Sekejap saja, lelaki berpeci itu berjalan cepat menuju teras bertehel putih.
Kesadaranku kembali, aku mengejarnya namun terlambat. Suara hardikan pintu itu,
sudah cukup membuat niat untuk pergi ku terwujud.
Bapak Bapak aku bersikeras.
Pintu terkuak lagi, Ada apa? Bibirnya melongok bersamaan kepala.
Kristal kristal gula itu, sudah siap dileburkan…
Tapi, air tak cukup panas untuk melarutkan ia jawabnya kasar. Dan pintu
berdentam kembali. Aku tersudut pada kesendirian, pedih.
Bapak, engkau menghancurkan sebuah impian, dan itu sungguh sungguh
menggenaskan. (Luka tadi bernanah sekarang. Pasti bermacam obat tak lagi dapat
memperbaikinya.)
Beringsut, kuseret langkah menuju gerbang. Sekilas kulempar senyum pada Rumput
Jepang, mereka acuh saja, demikian juga siang yang memang tak pernah
memperhatikanku. Seketika aku rindu pagi.
Disket program, setumpuk tesis, pena, tiga buku literatur, tak lupa alas bedak
bersamaan rekan rekannya kutumpukkan ke dalam tas hitam yang sudah hampir
menyerupai kecoklatan lumpur. Ketika baru saja menuju ruang tamu diambang
kamar, pintu digedor orang dari luar. Tak keras betul, tapi cukup mengganggu
cumbuanku dengan pagi. Dan aku menyambut gagangnya.
Bapak…
Entahlah, reaksi apa yang kutunjukkan sekarang saat tahu bahwa penggedor pintu
itu, adalah lelaki berpeci yang berhari hari ini acapkali mengisi perjuangan
hatiku. Gugupkah, giriskah, malukah, marahkah, atau apakah? Tapi itu semua
terjawab ketika ia setengah berbisik tegas melalui kata kata tempias, dekat
sekali dengan telingaku.
Setelah ia selesai dan berlalu dengan mobilnya, aku putuskan untuk marah dan
malu. Itu pula yang memaksa aku kembali mengunci diri di kamar, sembari
menangis. Membasahi bantal putih dengan pulau pulau dari mata air mataku.
Semalam, setelah beberapa hari pertemuan kita. Barulah kutemukan kata kata
yang tepat. Mungkin beginilah; dunia memang telah berubah. Sampai sampai
persendian moral telah elastis benar sekarang. Tapi tak cukup mengubah etika,
bahwa yang berhak meminang adalah lelaki, bukan perempuan. Ini akan kusampaikan
juga pada Agus, anakku jika ia kembali dari perjalanan dinasnya. Semoga kau
mengerti, Dwi.
Oh, tidak. Inikah pagi terburuk dari hari hari kemarin, kemarinya kemarin.
Atau untuk esok dan lusanya esok. Ataukah sebatas ini saja pagi bermakna.
(Aneh, ia seperti telah matang dan dewasa sekarang. Hati itu, meski terluka,
masih saja terlihat cantik.)
Jambi, April 2003
Penulis adalah cerpenis Jambi. Karya karyanya dimuat di berbagai koran lokal
dan cyber dengan nama karya Monas Junior. Juga terkumpul dalam manuskrip Aum
(2001) serta Harimau Sumatera (2002). Sekarang karyawan pada harian pagi Jambi
Independent.
========================================
Pengirim : Monas Junior
========================================