SEBETULNYA, Menteri Agama Said Agil Husin al Munawar hanya akan meresmikan situs haji www.informasi haji.com, Selasa pagi pekan lalu. Situs itu dibuat atas kerja sama Departemen Agama dengan Indosat. Peresmiannya berlangsung di Operation Room, Lantai II Gedung Departemen Agama, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Namun, Said Agil harus menambah satu acara lagi: klarifikasi beleidnya soal label halal.
Beleid yang dimaksud adalah Surat Keputusan (SK) Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. Rambu ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, 30 November 2001. Namun, SK itu terkesan diam diam. Setelah sekian lama diteken, baru pekan lalu diumumkan. Sampai pekan ini juga belum bisa diterapkan.
Aturan “heboh” itu terdiri dari 14 pasal. Salah satu isinya menyatakan, produsen wajib mencantumkan stiker halal pada tiap kemasan produk yang telah mendapat sertifikat halal. Gambar tempel ini harus dibeli dari Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri). Sebelumnya, label halal dibikin sendiri oleh produsen.
Peruri menjadi pelaksana tunggal pencetakan label halal untuk jangka waktu tiga tahun. Penunjukan BUMN pencetak duit itu berlangsung melalui perjanjian yang diteken Menteri Agama dengan Direktur Utama Peruri, M. Kunan Martono, pada 7 Desember 2001. Tiga hari kemudian, Menteri Agama memperkuatnya dengan SK Nomor 525 Tahun 2001.
Ganjilnya, salinan SK 525 Tahun 2001 yang beredar di masyarakat memuat tanggal penetapan yang berbeda: bukan 10 Desember, melainkan 10 November. Lebih dulu ketimbang SK 518, yang diteken pada 30 November 2001. Bila ini benar, berarti Peruri ditunjuk lebih dulu sebagai pencetak tunggal, baru dibuatkan pedomannya.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Departemen Agama, Muhammad Kailani, punya jawaban. SK 525 itu ditetapkan pada 10 Desember. “Mungkin ada kesalahan mengetik tanggal. Nggak mungkin SK 525 lebih dulu dari SK 518,” kata Kailani. Penjelasan itu tetap menyisakan keganjilan.
Di Pasal 2 aturan itu tertulis, ketentuan lebih lanjut tentang penunjukan Peruri akan diatur dalam nota kesepakatan antara Departemen Agama dan Peruri. Padahal, nota kesepakatan telah dibikin lebih dulu, yakni pada 7 Desember 2001. Ini merupakan rincian kerja sama Departemen Agama dengan Peruri.
Departemen Agama bertugas menerbitkan surat edaran kepada produsen. Isinya berupa kewajiban produsen menempelkan label halal Peruri pada produk yang memenuhi syarat. Departemen Agama juga berwenang menetapkan harga label dan spesifikasi teknisnya. Sedangkan Peruri bertugas melayani pesanan label dari produsen; mencetak, mendistribusikannya; serta membuat laporan realisasi pesanan pada Departemen Agama setiap enam bulan.
Bagi pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, simpang siur tanggal pembuatan SK itu membuktikan kusutnya administrasi negara dan adanya indikasi KKN. Di Departemen Agama, gunjingan seperti yang dilontarkan Agus itu bisa didengarkan dari ruang ke ruang. Sejumlah pejabat malah mencurigai adanya keterlibatan seorang staf ahli menteri dalam proses pembuatan SK.
Gunjingan ini ditepis Kailani. “Kami baru tahu ada kabar itu. Kami tak ingin ada penyalahgunaan dalam mekanisme kerja ini,” katanya. Ia pun menjelaskan, hingga kini, harga stiker juga belum ditetapkan.
Peruri, menurut Said Agil, ditunjuk karena teknologi percetakan dokumen sekuritinya tak dimiliki tempat lain. “Selain itu, Peruri adalah BUMN, sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi finansial kepada negara,” kata Agil.
Namun, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tak setuju terhadap beleid labelisasi itu. Yayasan ini menilai, aturan label halal dapat menambah beban konsumen. “Konsumen agar menelepon atau mengirim faksimili ke Departemen Agama, yang isinya menolak dan minta SK itu dicabut,” kata Endah Suksmaningsih, Ketua YLKI. Endah menyebut, pemberlakuan stiker halal itu hanya merupakan cara menghimpun dana dengan dalih agama.
Agus Pambagio menguatkan dugaan Endah. Ia mengendus informasi, harga stiker untuk makanan olahan adalah Rp 10. Peruri mendapat bagian Rp 6. Sisanya dibagikan kepada pihak yang tak jelas.
Harga sepuluh perak sebetulnya relatif murah. Namun, akibatnya cukup panjang. Ketua Asosiasi Pengusaha Kacang Indonesia, A. Suryana Sudrajat, menghitung bahwa akibat penempelan label itu, produsen harus investasi mesin baru untuk memasang stiker label halal. Produktivitas karyawan juga menurun. Bila sebelum pemasangan stiker hasilnya 1.000 pak per jam, setelah pemasangan turun jadi 800 pak per jam.
Jika harga stiker halal Rp 6, kata Suryana, produsen akan menaikkan harga lebih dari itu, misalnya Rp 10, untuk menutup kerugian akibat menurunnya produktivitas karyawan. Ujung ujungnya, kenaikan harga itu bakal membebani konsumen. “Masyarakat baru kena beban kenaikan listrik, BBM, dan telepon, kini harus menanggung ongkos stiker,” ujar Suryana.
Pemasangan label halal, dalam pandangan Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia, Thomas Darmawan, dapat mengurangi daya saing produk pangan dalam negeri. “Seharusnya niat baik pemerintah itu tak menambah beban pengusaha serta konsumen,” kata Thomas.
Menanggapi berbagai keluhan itu, Said Agil mengatakan, produsen tak boleh menaikkan harga berkaitan dengan pelabelan tersebut. Menurut doktor bidang ushul fiqih ini, dua SK itu masih memerlukan peraturan pelaksana lebih teknis, karena itu belum bisa diberlakukan. “Berbagai urusan teknis, seperti bentuk label, harga, hingga cara pemasangannya, sampai saat ini memang belum ditentukan,” katanya.
Said Agil juga membantah tudingan telah mengomersialkan label halal. Pencantuman label buatan Peruri pada setiap produk pangan yang telah mendapat sertifikat halal, katanya, untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat. Dengan keseragaman bentuk itu, label tak mudah dipalsu. Sehingga masyarakat tak tertipu oleh produk yang hanya mencantumkan kata halal, padahal tak memperoleh sertifikasi halal.
Dalil Said Agil itu diamini KH Maruf Amin, Ketua Komisi Fatwa MUI. “Banyak makanan yang di bungkusnya ada tulisan halal, tapi itu hanya capnya,” ujarnya. “Kami ingin produk makanan itu benar benar mantap kehalalannya,” kata ulama asal Banten ini kepada Miftahus Surur dari Gatra. Maruf mengaku tak tahu menahu urusan teknis pelabelan, karena itu tugas Departemen Agama. MUI hanya berwenang mengeluarkan sertifikat halal.
Kini, Departemen Agama sedang berkonsentrasi menuntaskan aturan teknis pelaksanaan SK. Padahal, MoU Menteri Agama dan Peruri telah merinci tugas masing masing.
Setelah banyak disorot, Departemen Agama kini cenderung tertutup. Para pejabat yang mengurusi label halal cenderung diam seribu bahasa. Sedangkan kata juru bicara Departemen Agama, departemennya tak mengagendakan revisi, apalagi mencabut SK. Ia hanya berjanji, departemennya akan menanggapi protes publik dengan cara melengkapi sisi teknis. Sebuah janji yang belum tentu merupakan solusi.
Sumber : Gatra
========================================
Pengirim : wilga
========================================