SANG BIDADARI. Begitu selalu saya memanggilnya. Teramat sering malah. Mungkin, pesona kecantikan wajahnya yang anggun dan bercahaya serta senyumnya yang memukau, ibarat dewi khayangan turun ke bumi meniti pelangi, dapat menjadi alasan yang tepat mengapa saya memanggilnya dengan sebutan yang membuatnya agak rikuh tersebut.
“Jangan panggil saya seperti itu,” sergahnya dengan pipi memerah.
“Saya cuma memaparkan kenyataan. Tak lebih. Kamu memang pantas kusebut bidadari”, kata saya membela diri. Saya menatap manik manik matanya yang mengerjap indah. Ia menunduk tersipu.
“Tapi itu bukan nama saya,” ucapnya lirih. Nyaris tak terdengar.
Memang.
Namanya adalah Niken Sulastri. Putri seorang priyayi kota gudeg, yang jago menari. Saya mengenalnya pertama kali saat menyajikan tari tradisional dalam acara ramah tamah pertemuan ilmiah mahasiswa teknik nasional yang saya ikuti di pendapa salah satu universitas terkenal di Yogyakarta setahun yang lalu.
Keempat penari yang menawan, meliuk liuk indah ditingkah suara gamelan seakan membawa kami pada wibawa magis keraton yang menggetarkan. Mereka berpadu seperti ombak pantai selatan. Berdebur kencang menerpa karang. Namun syahdu, lembut dan melenakan. Dan Niken adalah penari yang paling menonjol kelincahan geraknya. Lentik jemarinya membelai angin dan kelenturan tubuhnya membangun harmoni lebih hidup. Saya hanya memaku pandang ke arahnya. Tanpa berkedip. Dengan postur tubuh semampai ditambah wajah yang cantik, Niken—bagi saya—menjelma menjadi bidadari seloka yang melayang anggun diatas mega mega putih.
Tariannya selesai tanpa saya sadari betul betul. Saya masih terbawa arus kekaguman pada wanita penari itu. Dengan rasa penasaran yang memuncak, saya menemui dia di belakang panggung. Setelah larak lirik sejenak, saya mendapatkannya tengah berdiri sendirian sembari memegang sebuah teh kotak. Wangi parfumnya menyerbu hidung saat saya mendekatinya.
“Maaf, boleh menganggu sebentar ?,” saya menyapa sopan. Ia menoleh memberi respon lalu mengangguk pelan.
Saya menarik nafas lega. Sebuah awal yang baik.
“Tarian anda tadi sangat indah dan memikat. Saya benar benar tertarik. Oh, ya, kenalkan, saya Mukhlis, peserta pertemuan ilmiah dari Ujung Pandang. Dan anda ?”,saya segera mengangsurkan tangan memperkenalkan diri. Ia menyambutnya dengan hangat.
“Niken. Niken Sulastri. Selamat datang di kota kami dan terimakasih atas pujiannya”, sahutnya bersahabat. Ia ternyata memiliki pribadi yang ramah dan bersahaja. Kami lantas bercakap cakap dengan akrab. Ia menjadi kawan bicara yang menyenangkan serta memiliki sense of humor yang lumayan.
“Tahukah kamu Niken ?. Kamu seperti bidadari dengan pakaian seperti itu”, saya mencoba menggodanya.
Niken tersenyum manis. Pipinya merona.
“Gombal kamu ”, kilahnya sembari mencubit lengan saya.
Dan hari hari sesudahnya seperti berwarna. Seminggu di Yogya, hari hari saya terus diisi bersama Niken. Pertemuan ilmiah kami sesungguhnya cuma 3 hari, dan hari sesudahnya adalah menapak bersama sang bidadari.
Seperti malam itu.
Kami santap malam gudeg lesehan di jalan Malioboro sambil bercerita tentang banyak hal. Niken berkisah tentang latar belakang kehidupannya yang diwarnai nuansa priyayi keluarga, pandangan pandangannya tentang masalah kemahasiswaan, kesenian, film, novel, musik favorit bahkan tentang kemiskinan yang melanda bangsa ini.
“Jadi miskin itu sesungguhnya membuat orang tambah humanis”, kata Niken membuka percakapan. “Sebab dengan miskin, kita mampu menangkap fenomena dan pernik pernik kemanusiaan secara obyektif naluriah. Kita mampu merasakan perbedaan perbedaan yang kental antara kemewahan si kaya dan kemelaratan kita. Dari perbedaan ini, akan nampak bagaimana sesungguhnya kita memandang dan memaknai hidup. Secara arif dan bijak. Ya, paling tidak, kita bisa memahami bahwa kemiskinan yang kita alami adalah ketidak mampuan kita menjangkau sesuatu dengan apa yang kita miliki. Bukankah itu humanis ?”.
“Tapi tidak selamanya begitu,” saya menolak asumsinya. “Kadang kadang, kemiskinan malah membuat orang menjadi destruktif. Ia menganggap, apa yang dialaminya ketika itu adalah sebentuk ketidakadilan atas program pemerataan yang didengarnya berkali kali. Pada gilirannya kacamata obyektifitasnya tumpul. Kedengkian merajalela di hatinya, kemalasan yang diakibatkan kepasrahannya menerima nasib kian meruyak, bahkan yang lebih fatal bila nafsu angkara mengangkangi sifat rasionalnya. Ia tidak lagi humanis. Bahkan Anarkis. Bukan begitu, Niken ?”.
Niken tersenyum. Ia tidak segera menjawab. Dikunyahnya kerupuk pelan pelan. Suaranya keriap keriup.
“Kamu bicara seperti layaknya seorang politikus dengan jargon jargon meyakinkan sekaligus memilukan,” ujar Niken. Ada kilat jenaka di matanya. Saya terkekeh.
“Kamu juga. Bicara seperti pernah menjalani hidup miskin, lantas mengeksploitirnya sedemikian rupa lalu menganggapnya itu sebagai hal yang humanis”, saya membalas sindirannya dengan hangat.
Kami kemudian tertawa bersama.
Diam diam, saya mengagumi ketajaman analisa Niken. Dia cantik, cerdas dan pandai membawa diri. Suatu paduan yang amat serasi.
Bulan purnama bersinar terang diatas sana. Bulat dan bundar. Kami berjalan berdua menyusuri bahu Malioboro yang tak pernah letih meniti hari. Lalulintas orang, kendaraan bermotor dan becak begitu ramai dari kedua belah arah yang berlawanan. Hiruk pikuk. Suara klakson bersahutan ditingkah nyanyian para musisi jalanan menjajakan suara, menambah semarak malam. Saya benar benar menyukai suasana ini. Niken membelikan saya Souvenir baju kaos model batik dan Blangkon Jawa. Proses tawar menawarnya berlangsung seru. Pendekatan persuasif Niken dengan menggunakan bahasa jawa kromo inggil sukses dan saya sangat terkesan. Kami akhirnya membeli oleh oleh tadi dengan harga yang relatif murah.
Saya mengantar Niken ke rumahnya . Ini malam terakhir bersama sang bidadari, aku membatin. Getir. Didepan pagar rumahnya yang mewah dan megah, prosesi perpisahan itu kami lakukan secara sederhana.
“Niken, saya akan kembali ke Ujung Pandang besok. Terimakasih dan ma’afkan atas segala sesuatunya. Kamu telah membuat perjalanan saya ke Yogya lebih berarti. Kamu bidadari yang pandai menjamu tamu. Terimakasih, Niken”, kata saya sambil menggenggam erat tangannya.
“Ini akan menjadi kenangan yang terindah buat saya. Kamu kawan baru yang baik, tidak menyebalkan dan punya karakter”, sahut Niken tulus. Pijar matanya terlihat cemerlang.
“Selamat Tinggal Niken. Sang Bidadari,” ucap saya menyampaikan pamit. Niken mengangguk. Air mata bergulir di pipinya. Saya melambaikan tangan seraya menaiki becak yang akan membawa saya kembali ke penginapan. Sepenggal hati saya tertinggal disana, bersama Niken dan seluruh nostalgia besertanya.
HUBUNGAN surat menyurat kami sangat lancar. Kami saling bercerita tentang aktivitas kami dan banyak hal lainnya. Tapi tidak tentang cinta. Kami berusaha mengambil jarak untuk tidak sampai “sedekat” itu. Meskipun saya tahu betul dari kata kata di suratnya, Niken tak dapat menyembunyikan perasaannya.Begitu jujur dan tak berpura pura. Dan untuk itu, saya sadar, untuk membangun komitmen bersamanya , saya pun harus mengungkapkan segalanya secara terbuka.
Sampai suatu ketika selama kurang lebih 5 bulan, saya tak pernah menerima kabar sedikitpun darinya. Saat itu, saya sedang sibuk menyelesaikan tugas akhir, hingga agak mengabaikan masalah tersebut. Saya menyadari hal itu saat waktu wisuda saya makin dekat. Niken harus tahu saat penting ini.
Saya segera mengirim telegram ke Yogya mengabarkannya. Dan benar, tepat sepulang wisuda, saya mendapatkan surat dari Niken. Selain ucapan selamat yang singkat, juga : “Saya telah menikah sebulan yang lalu. Dan untuk itu jangan pernah berharap lebih banyak lagi. Dari saya, Niken, Bidadarimu.Aku terpana. Tiba tiba aku merasa ada sesuatu yang hilang dari diriku. Teramat besar dan sungguh memilukan.
KALAU saat ini saya telah berada di Yogya kembali, semata mata karena saya tak dapat mengingkari kata hati. Saya tak dapat menerima dan melepaskan begitu saja”terbangnya” sang bidadari.
Saya menyusuri Malioboro yang sampai kini tak juga letih meniti hari, tanpa alasan yang jelas. Mungkin sekedar memutar balik kenangan yang pernah kami bangun 2 tahun silam. Saya seperti dibetot oleh kekuatan magis untuk berjalan menapak tempat ini.
Saya melewati jajaran penjual pernik pernik dan Souvenir yang indah dengan perasaan tak menentu. Hampir saja saya menabrak tubuh seorang turis asing yang sedang menawar sesuatu.
Di depan pasar Beringharjo, mendadak saya melihat sosok yang sangat saya kenal. Niken . Ia sedang menenteng tas belanjaan dengan perut hamil besar.
“Niken . Niken ,” saya memanggilnya. Ia menoleh. Tapi tiba tiba memalingkan wajah dan berjalan bergegas.
“Tunggu ” saya berlari mengejar dan langsung mencekal lengannya.
Matanya yang mengerjap indah adalah suatu pengakuan yang jujur. Dia Niken, sang bidadari.
“Ada apa, Mukhlis Saya sudah katakan jangan pernah berharap banyak. Permisi, saya harus pulang”, Niken mengelak dan beranjak pergi. Saya menahannya.
“Tidak Niken. Kamu harus menjelaskan semua ini. Saya tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan”, kata saya tegas. Niken menghela nafas panjang. Ia mengalah.
Kami berbicara di sebuah warung sederhana di dekat Beringharjo. Niken seperti bertambah tua dari usia sebenarnya. Ia nampak menderita dan lelah. Lalu ia bertutur datar.
“Ayah saya terlibat kasus korupsi di kantornya. Seluruh kekayaan yang kami miliki habis disita. Kami tak punya apa apa lagi. Kami kemudian tinggal di sebuah rumah kontrakan dengan beban mental memalukan. Ayah dipenjara dan ibu meninggal 2 bulan sesudahnya. Sebagai anak tertua, saya merasa punya tanggung jawab besar untuk meneruskan hidup dan membiayai kedua adik saya, tanpa menggantungkan harapan dan belas kasihan orang lain. Termasuk padamu. Tapi saya tak punya keterampilan apa apa, selain menari dan sedikit pengetahuan tentang administrasi. Salah seorang kawan ayah saya—yang kini menjadi suami saya—berbaik hati, memberi saya pekerjaan dan akhirnya menikahi saya,”kisah Niken sendu. Saya menggigit bibir. Ia ternyata memiliki nasib yang tidak terlalu baik.
“Maafkan saya Mukhlis. Saya tidak bermaksud mengabaikanmu. Saya cuma tidak ingin kamu repot menanggulangi beban saya, sementara kamu sibuk menyelesaikan study,”lanjut Niken lagi. Pelupuk matanya mulai basah. Saya lalu menggenggam jemarinya, mengalirkan kekuatan dan membuatnya tidak terlalu merasa “bersalah”.
“Kamu masih ingat kata katamu tempo hari menjelang saya kembali ke Ujung Pandang ?. Tentang kemiskinan yang membuat orang lebih humanis, lebih arif memandang hidup dan lebih tegar menghadapi tantangan ?” kata saya mengingatkan nostalgia di Malioboro. Niken mengangguk.
“Tapi saya adalah bidadari yang terluka. Mungkin cenderung seperti pandanganmu : Memandang keadilan adalah nonsens dan relatif tidak rasional”kilah Niken. Saya tersenyum.
“Sebagai calon ibu kamu harus makin bijak”
“Ya. Antara lain belajar mencintai dan itu telah saya lakukan sepenuh hati”
“Untuk suamimu ?”
“Salah satu. Yang lain dan terpenting adalah belajar mencintai hidup. Saya berusaha untuk menyadari bahwa apa yang saya alami kini tidak lain sesuai dengan porsi yang saya emban dan kemampuan yang saya miliki”.
“Saya kagum padamu, Niken. Bidadari yang luka harus bangkit kembali meniti pelangi”, kata saya memberi semangat. Niken kembali tersenyum. Wajahnya nampak seperti bercahaya.
“Terimakasih. Kamu membuat saya semakin berharga”, balasnya tulus.
Kami beranjak pergi. Langit diatas sana menyibak, menguak, memberi kesempatan pada mentari untuk bersinar terang. Sebelum menaiki becak yang membawanya pulang, Niken membisikkan sesuatu di telinga saya : “Jangan pernah berhenti menyebutku bidadari”.
Saya tertawa renyah. Di bahu Malioboro, saya mendapatkan sesuatu yang selama ini hilang. Tapi tiba tiba saya merasa sepi. Sangat sepi.
========================================
Pengirim : AMRIL TAUFIQ GOBEL / amriltgobel
========================================