SAMPAILAH Laila di Jakarta. Kemarin pagi, burung besi yang ditumpanginya telah mendarat dengan selamat di Bandara Soekarno Hatta. Begitu turun dari tangga pesawat, ia hanya mampu menundukkan wajahnya dengan muka yang
masam.

Penuh dengan kelelahan. Ia tidak sempatkan mampir ke toilet, atau sekedar hanya mencari makanan ringan. Ia tampak begitu lelah. Begitu
barang barangnya dirasa sudah komplit, tanpa banyak sikap kata, ia langsung meluncur ke rumahnya, di sebuah bilangan komplek elite di wilayah Jakarta Barat.

KAWASAN perumahan itu begitu asri. Rumah rumah berderet dengan rapi, dipisahkan oleh blok blok huruf, yang menjadi ciri khas background politik si penghuni. Pepohonan menghijau, mengelilingi lokasi komplek. Juga di depan
tiap rumah.

Rumah itu besar, tapi sering kosong. Maklum, rumah dinas kaum elite di negeri ini. Sepi. Penghuni rumah sibuk dengan urusannya sendiri sendiri. Begitu sampai di rumah, hanya mbak Yem, sang pembantu rumah dinas itu,
yang menemuinya.

“Ibu kemana, mbak?” tanya Laila dengan cuek sambil lalu. “Lagi ada rapat, Jeng,” jawab mbak Yem. Laila tidak melanjutkan lagi pertanyaannya. Ia tinggalkan mbak Yem yang masih melongo dengan segala keheranannya.

“Apa yang terjadi dengan Jeng Laila?” gumam mbak Yem.
Laila langsung menuju kamarnya. Ia rebahkan badannya di kasur. Di ruangan yang cukup sempit itu bila dibandingkan dengan rumahnya yang megah, ia ingat ingat kembali kejadian di New York. Ia tampak gelisah. Ia raih bantal.
Lalu membenamkan wajahnya dalam dalam ke pelukan bantal. Tak terasa, air mata itu pun menetes. Membasahi pipi, meluber ke sprei dan sarung bantal.

Hanya diam, dan diam. Sesepi rumahnya pagi itu. Tanpa kata. Hanya itu yang bisa dilakukan Laila pagi itu. Ia lewati siklus pagi hingga menjelang
malam di hari itu hanya dengan bertiduran saja.

Perjalanan New York Jakarta itu terasa begitu lama baginya. Mungkin bukan karena jarak karena ia sudah biasa, tapi perasaan yang menjadi penyebabnya. Ya, Laila sedang dirundung kecewa. Sihar, sang pujaan hati, tidak jadi menemuinya. Padahal, dia sudah janji akan menemui Laila, di
sebuah apartemen di ibukota negara yang congkak itu. Ia benar benar telah patah hati. Ia merasa, kerinduannya telah dikhianati oleh Sihar. Dan kini,
kerinduan itu akhirnya telah berubah jadi benci.

Mungkin karena lelah fisik dan pikiran itulah karena merasa dikecewakan oleh kekasih gelapnya, ia mencoba menghubungiku tadi malam, ketika aku masih di kantor menyelesaikan tugas akhirku.

“Apa kbar?” ia buka obrolan malam itu. “Sdh brapa lama kt putus?” tulisnya dalam sebuah short message service (sms) begitu singkat kepadaku.

Aku merenung sejenak. “Ada apa dengan Laila?” pikirku. Sudah beberapa bulan ini kita tak berkomunikasi. Kenapa ia masih menghubungiku juga malam ini? Karena aku tak ingin membuatnya lebih terluka, kuberanikan diri untuk membalas sms nya:

“Kbar sy baik.Smoga bgitu dg Anda.Aku ndak tahu,sdh brapa lm kt pts?” Yang pasti, aku tak pernah lagi mengingatnya. Yang kutahu, waktu itu Laila lebih mencintai Sihar, bukan aku. Karena kesetiaan adalah harga mati bagiku, maka aku putuskan dia saat itu juga. Tapi kenapa dia kembali
menghubungiku, malam ini? Itulah yang menjadi pikiranku saat ini.

Dengan cepat, Laila pun membalas, “Dg kt putus ktk itu,mgkin ada hikmahnya.Sy lsgng ambil kuliah lg di jrsn antropologi (humaniora)”. Sempat kubaca, tapi tak kubalas, karena aku sudah siap siap berkemas untuk pulang.

Begitu sampai di rumah, baru sms nya kubaca kembali. Belum sempat kubalas, ia kirim lagi, “Bagaimana dg kuliahmu?Maaf,ini pulsa terakhir.” Sambil mengambil handuk di lemari, sms itu langsung saja kubalas, “Syukurlah.Lbh baik bgitu.Dr dl km sll bgt. Bl pulsa hbs,trs menhbgiku”.
Percakapan singkat vis sms itu pun berhenti, seiring dengan habisnya pulsa handphone Laila. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya kemudian.

AKU tak terlalu menghiraukan nasib Laila. Aku hanya kasihan kepadanya, melihat dia telah dilupakan oleh Sihar, kekasih gelapnya. Bagiku, Laila adalah masa lalu. Yang pernah singgah, kemudian pergi meninggalkanku. Sebuah bagian dari siklus hidup, proses yang panjang dan
berliku, dalam pencarian cinta sejati yang hakiki yang mendapatkan ridhla Nya.

Harta Laila bukanlah segala galanya, karena aku tidak begitu kemarug dengan harta dan apapun yang serba fana. Kesetiaan adalah jawabannya. Karena kesetiaan itu, ketika rasa nurani keluar
dari diri seseorang. Ia adalah harga mati. Dan aku hanya ingin mencintai sekaligus menikahi wanita utama; yang benar benar menjunjung tinggi
hakekat dan makna dari satu kata; setia. Dalam filsafat Mahabarata disebutkan, wanita utama adalah wanita yang tetap menjaga akan cinta
sejatinya.

Simpanlah cintamu……
Lalu maafkan, dan lupakanlah aku, Laila…..

Taman Rasuna, 23 07 03
(c) by GJ

========================================
Pengirim : Gus John
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *