Tempuran Magelang, akhir tahun 2003;

“Telur telur ulet ulet.
Kepompong kupu kupu
Kasihan deh lu….
Kasihan deh lu….”

Suara nyanyian nenek membangunkan Orlin di pagi hari itu. Kuterbangun. Kesiangan Jam 6:30. Mungkin, aku ini tamu yang pemalas. Tuan rumah sudah bersih bersih rumah, sementara aku masih tertidur dengan pulasnya. Tapi entahlah, kalau di rumah orang lain, mungkin tidak begitu. Mungkin, aku sudah menganggap Tempuran sebagai rumah kedua.

“Tidur jam berapa, mas Agus?” tanya nenek Orlin sekeluar aku cuci muka dari kamar mandi. “Jam tiga, bu”, jawabku dengan penuh taqdim. Aku memang selalu segan dengan wanita lembut yang sudah mulai tua itu. Selama ini, nenek Orlin sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Ada kesejukan, kesabaran, jiwa yang ngemong, nilai nilai spiritual yang tinggi, ketenangan yang dalam, yang saya temukan dalam diri nenek Orlin. Dan, penghormatanku pada seseorang, tak pernah bisa kubuat buat ataupun kurekayasa. Ketemu kiai penyair kondang, Gus Mus (KH. A. Mustofa Bisri) pun, aku pernah tak bisa mencium tangannya. Karena waktu itu diriku tidak ikhlas melakukannya.

“Oh, pantesan, kalau tidur sering malam, nggih?” tanya nenek Orlin. “Inggih.”

Habis cuci muka, aku keluar rumah. Kuambil bola milik Syafa, om Orlin. Kutendang tendang di tembok pagar gedung BRI Tempuran, yang letaknya di kiri rumah Orlin. Kulakukan sedikit peregangan dan pelemasan otot ototku yang mulai kaku, karena sekian bulan tak pernah menyentuh net bola voli. Udara segar daerah Tempuran, Magelang memang mengasyikkan. Setelah terasa keringat sudah keluar, aku kembali masuk rumah.

Ayah Orlin berencana mengirim kayu siang ini. Ia mengajakku. Karena hanya kirim kayu, dalam benakku, tentu nanti akan ikut angkat angkat dan pakaian bisa kotor. Karenanya, tanpa perlu mandi, aku terus ikut berangkat naik kijang baru punya Orlin itu. Hanya kaos oblong dan celana kolor warna putih yang melekat di badan..

Syafa, om Orlin yang lucu itu ikutan. Ia duduk di kursi depan. Kijang hitam itu terus meluncur ke arah selatan, menuju kota Purworejo. Hamparan sawah nan luas. Padi menghijau kuning dedaunannya. Cerahnya biru putihnya langit. Gugusan gunung berada di sebelah barat. Kabut menyelimuti puncak Merapi tampak di sebelah timut. Rerimbunan pohon rambutan, dan pohon kelapa setinggi kurang lebih 10 m berjajar di kanan kiri jalan. Hawa segar kota Magelang mengikuti perjalanan kami pagi itu. Lintasan yang berkelok, naik turun, menambah asyik pemandangan. Betapa agungnya Tuhan, batinku…

Entah berapa belokan yang telah kita lewati. Hanya satu yang kuingat, belokan terakhir itu melewati sebuah makam. Di sebelahnya, perempuan perempuan desa melakukan transaksi jual beli bahan kebutuhan pokok sehari hari. Sayur mayur, ikan, cabe, dan keperluan dapur lainnya. Orang Jawa bilang, itu pasar wetonan. Ada yang dinamakan: Pasar Sabtu Pon, Pasar Sabtu Kliwon, dan lain lainnya.

Setelah makam, kita belok ke kanan, naik sedikit tanjakan kemudian belok ke kanan lagi. Sampailah kita di pelataran rumah yang cukup luas. Mobil Orlin parkir persis di depan rumah tua khas Jawa (baca: Joglo) terbuat dari kayu jati asli warna coklat tanpa cat sedikutpun. Rumah antik itu berada di deretan bangunan rumah paling utara menghadap ke selatan. Untuk masuk ke dalamnya, kubungkukkan badan. Begitu masuk, ruang tamunya begitu luas. Dindingnya sama, kayu jati asli dibiarkan tak bercat.

“Assalamualaikum,” ayah Orlin membuka salam. “Waalaikumsalam,” jawab orang yang berada di dalam rumah.
“Silahkan masuk,” lelaki tua berkaos oblong, berkulit kuning, berperawakan pendek, bersarung hijau dan bersurban, mempersilahkan kami untuk masuk. Kujabat dan kucium tangannya. Wajah itu teduh, lembut. Bahasanya halus, pelan, tapi jelas. Aku tak tahu, siapa orang tua di depanku ini. Yang hanya kutahu, beliau adalah buyutnya Orlin dari nasab nenek. Di sebelahnya, seorang pria sedang menemani orang tua itu ngobrol sambil memainkan handpone yang tak mendapatkan signal.

Kutebarkan pandanganku ke sekeliling ruangan rumah. Foto Megawati dan Hamzah Haz terpampang tanpa bingkai kaca di dinding sebelah utara. Di tengah tengahnya agak ke atas sedikit, gambar Pancasila. Semuanya dari kertas, tak berbingkai. Memajang foto umara dan ideologi negara, itu model nasionalisme khas kaum ahlus sunnah wal jamaah di lingkungan para kiai. Di bawahnya, terdapat sebuah kursi tua dari kayu berwarna coklat. Jas warna coklat muda tergantung di kursi itu.

Kugeser pandanganku ke arah barat. Sebuah jendela terbuka membuat sehat sirkulasi udara di dalam ruangan. Dari jendela ini, masjid depan rumah bisa terlihat dengan jelas. Di dinding sebelah timur, terpajang kalender bertuliskan “Pesantren Tegalrejo”. Kubangkit dari tempat dudukku. Kubuka buka dan kubaca kalander itu. “Itu pesantren Tegalrejo, nak,” kata lelaki tua bersurban itu. Kujawab, “Inggih, Kiai.” Menemukan nama pesantren itu, ingatanku kemudian melayang ke sosok Pangeran Diponegoro. Konon, pesantren itu masih ada kaitannya dengan masa revolusi Perang Jawa, 1825 1830 yang dikobarkan oleh Pangeran Jawa putra Sultan Hamengku Buwono III itu.

“Ini minumannya. Silahkan diminum, Nak,” seorang perempuan tua keluar dari ruangan dalam membuyarkan lamunanku tentang Diponegoro. Istri lelaki tua bersurban itu menghidangkan teh hangat dan makanan (kue) lebaran.

Setelah sedikit kucicipi makanan yang dihidangkan, aku keluar rumah. Suara gemericik air dari sungai kecil di kiri rumah, mengalir di cerukan tanah yang lumayan dalam; kurang lebih 20 meter dari permukaan tanah rumah. Pepohonan kelapa di sekelilingnya. Tanah halaman itu sangat subur. Beberapa rumah mengelilingi halaman itu. Rumah yang di depan, dekat pintu masuk tadi, agak bagus. Di sebelahnya, bangunan bertingkat sudah jebol. Kacanya ada yang pecah. Kayunya keropos dimakan usia. Kuintip ke dalam. Ada karpet hijau, kitab kitab kuning, buku buku juzamma, dan kertas kertas sobekan Quran yang usianya mungkin sudah usang. Meniliknya, itu seperti bekas tempat pengajian.

“Ini dulunya pesantren, mas”, kata seorang perempuan yang masih kerabat lelaki tua bersurban yang kutemui di dalam rumah tadi. “Berapa orang sekarang santri yang mondok, mbak?” tanyaku. “Sekarang sih sudah ndak ada. Kalau dulu banyak, mas. Ada santri yang menetap, dan ada yang pulang pergi.”

Di sebelah barat rumah tua yang dikatakan pesantren itu, terdapat rumah cukup bagus. Di sebelah utaranya, masjid berukuran sedang dengan tempat wudhu di sebelah kirinya. Kuintip ke dalam masjid. Masjid itu lumayan besar. Seukuran dengan masjid Baitul Muttaqien di kampungku. Di utara masjid, terdapat rumah tingkat. Di sebelah timur, itulah rumah buyut Orlin.

Aku kembali lagi ke dalam rumah. Lelaki tua bersurban itu mengambil jas coklat muda yang tergantung di kursi tua, lalu ia kenakan. Buyut putri Orlin sudah ganti pakaian rapi; berkebaya dan berkerudung. Setelah dikasih tahu ayah Orlin, aku baru tahu, kedatangan kita ke lereng gunung itu untuk menjemput buyut Orlin. Ada undangan untuk memimpin doa bagi orang yang akan naik haji di kampung sebelah.
“Berarti, buyut Orlin ini kiai kampung,” gumamku.

Perjalanan meluncur lagi ke arah Tempuran. Rumah orang yang akan naik haji itu di sebelah utara rumah Orlin. Jaraknya kira kira 500 an meter. Rumah itu berada di tengah tengah sawah. Mobil harus melewati kali kecil yang airnya mengalir cukup deras. Begitu sampai, tuan rumah menyambut dengan ramah. Beberapa lelaki penyambut mengenakan kain batik, bersarung dan berpeci. Perempuannya mengenakan kebaya dan kerudung. Begitu turun dari mobil, tangan kiai jadi rebutan untuk dicium. Dengan celana kolor aku pun ikut disalami. Dengan ramah, mereka mempersilahkan kita masuk. Di sinilah aku kembali baru sadar, buyut Orlin itu tokoh kampung, kiai kampung. Aku cepat tanggap dengan situasi seperti itu. Langsung aja aku pamit, walaupun dipersilahkan masuk. Ini untuk menimbulkan kesan, kita hanya mengantarkan pak kiai.

Hmm. Aku sewot sama ayah Orlin. Kalau tahu acaranya itu mengantarkan kiai ke tempat acara hajatan, tentu aku pakai sarung. Atau paling tidak, pakai celana panjang. Tidak dengan celana kolor yang sering kupakai voli dan futsal, plus wajah kusut karena belum mandi. Dasar, ayah Orlin Dan benar Begitu sampai di rumah, nenek dan budhe Orlin meledekku. Aku pun minta maaf. Sedikit banyak aku tahu adab bagaimana harus ketemu kiai. Secara sadar, kelakuanku tadi sungguh memalukan. Tidak tahu sopan santun. Apalagi disambut orang banyak di pelataran rumah orang yang punya hajatan. “Inggih, bu. Saya pikir tadi ngirim kayu, tidak tahunya menjemput mBah Kiai Mughni. Saya jadi ndak enak,” jawabku. Nenek dan budhe Orlin hanya bisa tersenyum. Sementara aku terdiam dalam malu.

Siang hari menjelang sore. Kuberbaring di dalam kamar. Kuambil satu buku di antara tumpukan buku yang kemarin bersama Orlin kita beli di Jogja. Buku berjudul “Sunan Kalijaga” versi baru karya Dr. Purwadi akhirnya bisa tuntas. Di dalam keasyikan membaca, kudengar suara halus di luar kamar. Tepatnya di ruang tamu. Ada tamu, pikirku. Kumengenal pemilik suara itu. Aku langsung keluar kamar. Sebelumnya, kuganti pakaian celana panjang.

Seorang lelaki tua bersurban merebahkan tubuhnya di kasur di ruang tamu, di depan persis TV yang sering kutonton hingga larut malam. Jas coklat mudanya ia sandarkan di kursi. Matanya belum juga tidur. Mulutnya membaca sholawatan.

“Assalamualaikum, Pak Kiai,” sapaku sambil merunduk. Kuraih tangan halus itu sebelum ia mampu bangun, lalu kucium. “Oh, iya,” jawab kiai membiarkan tangannya untuk kucium sambil mencoba untuk bangun. “Tadi datang jam berapa, Pak Kiai?” tanyaku. “Jam 2”. “Oh, inggih. Silahkan tidur, Pak Kiai”. Aku mencoba undur diri, memberi kesempatan kiai untuk beristirahat.

Paling tidak, ciuman tangan ini sebagai pertanda permintaan maafku, batinku melirih. Kiai Mughni kembali merebahkan tubuhnya. Kutemani beliau dengan membaca buku di sofa ruang tamu. Kembali kubiarkan diriku terhanyut dalam isi buku.

Sekali lagi, maafkan saya, kiai.

Padepokan Tebet, 12 Jan 03
(c) GusJohn.
“….sing sabar sing kepilih Tuhan…..”

========================================
Pengirim : Gus John
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *