Aku berasal dari sebuah kampung di pinggir suatu kota yang tak pernah disambangi salju satu kali pun. Kampungku pun tak pernah dilanda banjir satu kali pun. Yang selalu ada ialah kemarau di hati kami. Serius. Kalau kau hendak menanyakan apa nama kampungku, mudah. Asli Kalau kau baca ceritaku ini, kau bisa sebut nama kampungku.
Dibanding kawan kawanku, aku sebenarnya tidak tertarik bermain keluar masuk kebun milik entah siapa. Ayahku yang guru sekolah teknik menengah dan ibuku yang guru sekolah dasar swasta pun tak pernah seenaknya keluar masuk kebun orang di sekitar rumah kami. Kalau pun terpaksa lewat sebuah jalan kecil yang membelah ilalang, ayah ibuku selalu akan beramah tamah dengan ke rumah si pemilik kebun yang tidak jauh dari kebun itu. Paling tidak, ayah ibuku akan bilang, ?Permisi, maaf, numpang lewat.?
Kawan kawanku tidak begitu. Tapi aku coba ikut kawan kawan kampung. Aku juga belum mengerti apa itu solidaritas dan kompromi. Istilah entah apakah. Ya apa boleh buat. Aku dan kawan kawanku langsung saja lewat. Aku dan kawan kawanku tidak peduli kebun punya siapa, siapa pemiliknya, di mana pemiliknya. Kalau ada pemiliknya pun, kawan kawan tidak hirau. Anggap saja ada patung di kebun untuk menakuti nakuti anak anak kampung. Apalagi kalau si pemilik kebun sudah menaikkan tangan yang berujung parang. (Kami selalu menganggap si pemilik kebun itu adalah orang jahat, kejam, tak punya rasa persahabatan dengan kami. Bila orang itu marah, kami akan mengadu ke orangtua. Aku?)
Dan, kami akan datang lagi di hari lain. Kami tidak peduli matahari sudah di mana. Kami hanya peduli pada sebatang pohon jambu air yang buahnya sedang lebat dan putih putih pulen. Putih putih yang menyeruak di antara hijau hijau. Kali ini kami mau menyenangkan hasrat tualang kecil kami, anak laki laki. Ini laki laki Suara kami bergetar.
?Ayo ke kebun pak Oji si sipit.?
?Ayo.?
Aku pun ikut karena kawan kawanku tidak ada yang di rumah. Kawan sebayaku tidak ada selain mereka. Kami berjalan seperti berbaris membelah hamparan ilalang. Belahan warisan. Belahan yang dihasilkan oleh jejak jejak kaki beberapa tetua di kampung kami yang membunuhi anak anak ilalang. Kami ikut melakukannya hampir setiap hari setelah seragam putih merah kami tanggalkan ke dalam tas atau kami lipat di buku catatan.
Sebatang pohon jambu air sudah menanti. Benar, buahnya lebat. Putih putih pulen. Rupanya kawan kawanku tidak bohong (Kawan kawan selalu bilang ?sumpah demi Tuhan? sambil menyodorkan tangan dengan jemari mekar. Bohong itu dosa. Aku pasti percaya). Mata kawan kawanku berbinar binar. Aku ngiler. Kepala kami berputar ke segala penjuru kebun. Awas kalau ada lelaki yang mengangkat tangan berujung parang
Aman. Kami bagi tugas. Sebagian memanjat. Sebagian lagi memunguti tuaian. Adil. Kerja sama siap dijalankan. ?Ssst? Jangan bising.? ?Sssst?? ?Ya, jangan berisik.? Biar si pria bertangan parang tidak mendengar kemudian kemari. Baiklah. Kami sepakat. ?Sssst??
Hup Beberapa kawan langsung memeluk batang pohon, perlahan naik. Aku dan sisanya sebentar mendongak, sebentar menyapu pandang ke segala penjuru demi bahaya tangan terangkat berujung parang. Berdebar debar. Senang, khawatir.
Senang dan khawatir terus berjoged duet. Kawan yang di atas menjatuhkan buah. Kami yang di bawah menadah, memunguti, mendongak, menoleh kanan kiri. Ssst? yang sebelah sini, banyak.? ?Sssst, jangan berisik ? ?Iyaaa? Bukan aku ? Kawan yang di atas mengisi kantong sambil mengunyah. Kami yang di bawah juga begitu. Kantong baju dan celana terisi penuh. Mulut kami pun mengunyah tiada henti. Sepasang mata sipit pria yang bertangan parang menyelinap dari balik batang jering ke sela sela kantong kami.
Kawan yang di atas turun kembali. Kami yang di bawah menanti. Sesudah semua turun, kami pun berlari melewati belahan ilalang yang anak anaknya mati. ?Sssst? Kalau pak Oji itu mengejar, kita lempari batu ya.? ?Iyaaa?? Sepasang mata sipit mengekori kaki kami. Di teras rumah kawanku kami berhenti. Nafas nafas kami mendaki menuruni. Ada lega di hati. Aku khawatir jika tiba tiba ayah ibuku menemukan aku di rumah itu, sebab aku pasti didera ayahku atau dicambuk ibuku jika ketahuan mengambil tanpa minta ijin.
Di rumah itu orangtua dan kakak kawanku melihat di kantong kami penuh jambu. Orangtua dan kakak kawanku bilang, ?Sini bagi.? Maka kami pun bagi. Kami beri. Kami tidak mau disebut pelit. Kami suka dibilang baik hati. Di dapur kawanku menggerus garam cabe. Kami menikmati sedapnya jambu air putih pulen. Basah basah manis pedas asin. Air mata menetes. Ingus meleleh. Bibir bibir membasah, memerah. Tapi betapa sedap. Sebentar rasa itu telah mengolesi mulut tanpa ada lagi jambunya.
?Besok kita cari lagi.?
?Cari atau curi??
?Cari. Kalau curi itu maling.?
?O, begitu. Yang kita makan??
?Jambu air. Tidak masalah.?
O, tidak masalah.
Rupanya ada peraturan lain di luar rumahku. Aku patuh, sebab aku khawatir mereka menjauhiku karena aku membawa peraturan ayah ibuku. Ada maling yang diperbolehkan?
?Maling itu boleh, kalau memang terjepit. Maling itu boleh asalkan memang untuk dimakan. Kalau lapar, kita boleh maling. Itu tidak berdosa. Yang berdosa itu kalau kita maling untuk kita jual. Maling untuk mendapat untung, itu baru dosa namanya.?
Itu kata mereka. Bukan kataku. Sungguh. Asli. Sumpah Ayah ibuku pun tak pernah bilang begitu. Aku baru merogoh tas kecil ibuku dan kepergok ayahku, aku sudah kena jewer dan tempeleng. Ayah ibuku bilang, ?Jangan mencuri, mencuri itu dosa.? Ini perintah.
Ayah ibuku payah Bikin perintah tidak seperti orang lain Mengekang kebebasan
?Besok kita cari lagi ya setelah pulang sekolah.?
Kalau aku tidak mau, mereka tidak mau lagi main sama aku. Kalau mau, kan tinggal bagaimana caranya agar tidak ketahuan si pemilik jambu dan tidak kepergok ayah ibuku.
Tiga perempat hari kawan kawanku bermain lagi di kebun itu sambil membawa kantong plastik asoy. Aku tidak ikut, karena ayah ibuku sudah pulang. Aku harus bermain atau baca baca komik dulu di rumah sampai ayah ibuku terlelap dam istirahat siang. Cepatlah tidur, Yah, Bu. Istirahatlah. Ayah, Ibu kan lelah. Ketika kuintip mata mata beliau terpejam, kakiku pun meloncat seperti kancil lepas kandang. Tra la la tri li li?
Di halaman rumah kawanku kulihat dua sepeda mini tergeletak. Mungkin mereka ada. Lantas kucari mereka. Wah, lumayan banyak ya. Coba ditimbang. Nah Sambil duduk di lantai dapur, mereka menaruh kantong asoy di atas timbangan kecil yang biasa untuk menimbang telur, bawang, cabe, gula. Ibunya sedang memarut kelapa di dekat mereka.
?Banyak begini kok dibiarkan saja sampai merah legam rontok banyak.?
?Matanya terlalu sipit sih, jadi sulit melihat yang begini ini.?
?Eh, kira kira ada berapa kilo??
?Berapa kilo? Mmmm? Satu, dua, tiga? Lima kilo.?
?Lima kilo? Lima kilo dikali? Bu, satu kilonya di toko Bi Suri berapa harganya??
?Enam ratus. Kalian mau jual pada Bi Suri? Mudah mudahan Bi Suri mau beli lebih enam ratus rupiah per kilo.?
?Kata ibuku, harganya enam ratus. Nah, berarti lima dikali enam ratus. Coba hitung.?
?Li ma di ka li e nam ra tus sa ma deeeeeeee ngan??
?Lima dikali enam ratus, berapa? Goblok, berhitung segitu saja nggak bisa.?
?Sebentar. Sabar. Orang sabar itu disayangi Tuhan. Li ma ka li e nam sa ma de ngan ti ga pu luh. Tambah dua nol lagi di belakang nol. Ja di? nol nol nol. Tiga ribu.?
?Tiga ribu rupiah Cihuuuuuuuy Bakal dapet tiga ribu??
Aku melongok. Mereka mau menawarkan apa. O, belinju (mlinjo).
Kawan kawan membereskan kembali perkakas itu. Selesai. Lalu bergegas ke arah dua sepeda yang tergeletak tadi. ?Kalian tunggu di sini dulu, kami mau ke toko Bi Suri.? Aku dan dua kawanku mengangguk. Kami tidak ikut karena jumlah sepeda kurang.
?Besok kita nggak usah cari jambu. Kita cari rambutan di kebun Apin si mata sipit.?
?Iya, bener. Rambutan gajah di sana sudah berbuah, masak masak.?
Aku mengikuti lagi ajakan kawan kawanku, diikuti dengan dada berdebar debar.
Sampai aku memakai seragam putih abu abu, aku masih bermain dengan kawan kawanku, walaupun sudah tidak lagi mengikuti kebiasaan mereka karena aku sendiri sibuk dengan kegiatan di sekolah, seperti latihan voly dua minggu sekali, sepakbola dua kali seminggu, majalah sekolah, bimbingan menggambar, pelajaran tambahan, dan lain lain. Sebagian kawan sudah bisa membawa pulang besi besi, perlengkapan kamar mandi, keramik asli buatan Tiongkok, cermin rias besar, pompa air Sanyo, tegel, kaca nako, pakaian setengah basah, sepatu, sandal, genteng, ember, kompor gas, gelondongan kabel telpon dan entah apa lagi yang mereka temukan entah di mana. ?Daripada teronggok bengong, ambil saja,? alasan mereka selalu begitu.
Orangtua mereka sendiri tak pernah menanyakan benda benda itu milik siapa, ambil dari mana, bagaimana cara mengambilnya, atau asal muasal apa pun. Yang bertanya justru bapak bapak polisi yang mengangkuti beberapa kawanku ketika kepergok mengambil peralatan peralatan di bengkel kapal keruk. Di kantor bapak bapak itu beberapa kawanku menginap. Entah sampai berapa hari di kampung kami tidak akan terlihat kawan kawanku yang biasa bersenda gurau sambil mengepulkan asap rokok dari rokok hasil mengambil tanpa ijin saat sang penjual rokok lengah karena sibuk melayani pembeli lainnya.
bumiimajibabarsari, 6 november 2003
========================================
Pengirim : Agustinus Wahyono
========================================