Sungguh berat menjadi pengendali kereta api atau
masinis. Setiap terjadi kecelakaan kereta api, hampir pasti kesalahan
manusia atau human errror yang dituding sebagai penyebab utamanya. Itu
artinya, masinis, atau pegawai rendahan PT Kereta Api Indonesia (KAI)
lainnnya seperti asisten masinis dan penjaga palang pintu, berpeluang
besar jadi tersangka.
Itulah yang terjadi dalam tragedi tragedi kecelakaan kereta api selama
ini. Seperti pada insiden tragis pada Selasa (25/12/2001) dini hari
lalu, di Stasiun Ketanggungan Barat, Brebes, Jawa Tengah. Ketika
Kereta Api (KA) Empu Jaya dari Jakarta menuju Semarng menyeruduk KA
Gaya Baru Malam Selatan jurusan Surabaya Jakarta. Akibatnya, 30 orang
tewas seketika, dan puluhan lainnya luka berat.
Menurut hasil investigasi yang dibentuk PT KAI, kecelakaan terjadi
karena masinis KA Empu Jaya, Mohammad Toad (50) melanggar sinyal,
yaitu tidak mengurangi kecepatannya ketika sinyal berwarna kuning,
sehingga tidak bisa menghentikan kereta ketika sinyal berwarna merah.
Dan kereta itu meluncur di jalur tiga, jalur yang telah dipakai untuk
masuk lebih dahulu oleh KA Gaya Baru.
Direktur Utama PT KAI, Badar Zaini, merujuk pengakuan sang masinis,
menyatakan masinis tidak mengurangi kecepatan karena beranggapan
sinyal masuk akan berubah hijau atau aman, sebab melihat KA Gaya Baru
sudah berada di emplacement stasiun. Dan saat melewati ujung wesel
yang berjarak 147 meter dari KA Gaya Baru, masinis yang terkejut
melihat sinyal berubah merah, sempat mencoba mengerem. Tapi jaraknya
sudah terlalu dekat untuk menghentikan kereta. Tabrakan head to head
antara dua lokomatif kereta api pun tidak terhindarkan.
Tim juga berkesimpulan, pertama, masinis Empu Jaya sudah cukup
beristirahat sebelum bertugas karena sehari sebelumnya libur. Kedua,
sistem komunikasi radio lokomotif Empu Jaya dan Gaya Baru malam
berfungsi baik. Ketiga, kondisi lokomotif dan kereta dapat beroperasi
dengan baik dan telah dilakukan pengecekan. Keempat, sistem
persinyalan di Stasiun Ketanggungan Barat dalam kondisi normal.
“Dengan demikian dapat disimpulkan kecelakaan murni disebabkan human
error,” jelas Badar. Atas kelalaiannya itu Toad diancam dengan pasal
359 dan 360 Kitab Undang undang Hukum Pidana.
Belum lama berselang, dalam tragedi tabrakan antara KA Empu Jaya
dengan lokomotif KA Cirebon Ekspres yang sedang langsir di Stasiun
Kejaksaan, Cirebon, awal September lalu, masinis dan asistennya juga
yang dipersalahkan. Sang masinis sendiri, Suwanto, tidak perlu
menjalani penyelidikan dan kemungkinan diajukan ke meja hijau karena
ia tewas dalam tragedi tersebut. Tinggal asistennya, Sudarto, yang
masih harus menghadapi ancaman hukuman.
Tapi, nasib Suwanto tetap tragis. Ia adalah masinis senior yang pernah
mendapat penghargaan sebagai masinis teladan. Tapi, ia meninggal
mewariskan nama buruk, dianggap bersalah dalam insiden yang menewaskan
sedikitnya 42 orang itu karena mengantuk saat bertugas. Dalam
perkembangannya, dugaan kelalaian ini dilemahkan oleh hasil visum dari
dokter forensi Rumas Sakit Umum Daerah Gunung Jati, Cirebon, bahwa
kecelakaan itu diduga terjadi karena Suwanto mendapat serangan
jantung. Tapi, toh, cap bersalah telah terlanjur lekat di dahi
almarhum.
Nasib Malang Pegawai Rendahan
Tidak cuma Toad dan Suwanto yang bernasib sial. Sebelumnya, ada tiga
terpidana tragedi Bintaro tahun 1987 yang menewaskan lebih dari
seratus orang itu. Slamet Suradio (masinis KA 225) diganjar 5 tahun
kurungan, Adung (kondektur KA 225) dihadiahi 2 tahun 6 bulan, dan
Umriadi (Pemimpin Perjalanan Kereta Api, PPKA, Stasiun Kebayoran Lama)
diberi 10 bulan. Dan masing masing memperoleh “bonus” dikeluarkan dari
tugas alias dipecat.
Dalam rentetan kecelakaan kereta sepanjang Januari hingga September
lalu, human error juga tampil sebagai “terdakwa”. Misalnya, pada 28
Maret, kereta barang membentur mobil Kijang di Beji, Pasuruan, Jawa
Timur. Nyawa tiga penumpang Kijang terbang. Minibus ditanduk kereta
barang di Benowo, Surabaya, pada 22 Juni, dua penumpang minibus tewas
dan tiga lainnya luka luka. Pada 1 Agustus, KA Mpu Jaya menghantam bus
Sinar Jaya di Tegal, Jawa Tengah, meminta 14 nyawa.
Kenapa kecelakaan sampai terjadi, bukankan seharusnya kereta api
merupakan alat transportasi darat yang paling aman karena hanya
berjalan di atas sepasang rel dan tak harus berkejaran seperti mobil
dengan mobil di jalan yang sama. Sehingga secara kasat mata penyebab
kecelakaan kereta melawan kendaraan darat lainnya bisa diketahui. Bus
yang tertabrak kereta di pintu perlintasan hampir bisa dipastikan
karena melanggar pintu perlintasan. Hanya ada dua kemungkinan
kesalahan : pertama, boleh jadi bus itu yang menerobos pintu karena
tidak suka menunggu antrean di depan pintu perlintasan. Kemungkinan
kedua, palang pintu kereta tidak ditutup oleh penjaganya.
Jadi, ya begitulah nasib pekerja kereta api rendahan. Setiap kali
terjadi kecelakaan, masinis atau penjaga palang pintu kereta yang
paling dulu jadi tumpuhan kesalahan. Human error kata kuncinya.
Tapi, benarkah human error hanya milik para pegawai rendahan, dan para
bos luput dari kesalahan? Apakah manajemen perkeretaapian sudah ditata
dengan baik untuk mencegah terjadinya berbagai kesalahan yang sama?
Wakil Ketua Komisi IV DPR Sifhian Mile menyatakan tidak adil kalau
selalu masinis yang disalahkan. Sebab, peralatan yang sudah
disebut sebut berjalan baik sebenarnya belum teruji kecanggihannya,
atau apakah memang berfungsi dengan normal.
Apalagi, kata Sofhian, peralatan yang dimiliki PT KAI relatif sudah
sangat tua. Itu sebabnyaKomisi IV telah mengajak semua pihak
memberikan perhatian serius terhadap peningkatan kualitas dari
prasarana yang dibutuhkan. Sebab, tanpa adanya perbaikan, hal itu akan
sangat membahayakan penumpang, karena kemungkinan terjadinya
kecelakaan kereta api akan lebih besar.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga menilai, bahwa
pemerintah dan PT KAI memang tidak pernah serius membenahi manajemen
perkeretaapian. “Saya sudah judeg (tak habis pikir) dengan pemerintah,
tak tahu harus ngomong apa lagi. Mereka memang tidak pernah serius
mengelola KA, terutama KA yang ekonomi,” kata Ketua YLKI, Indah
Sukmaningsih.
Jadi, kalau kecelakaan tetap terjadi, para bosnyalah yang salah karena
tidak becus melakukan pengelolaan. Masalahnya, maukah mereka mundur
agar bisa diganti oleh pihak yang berkompeten. Teryata baik Menhub
Agum Gumelar, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, dan Dirut PT KAI
Badar Zaini, belum mengisyaratkan akan mundur walaupun seruan dan
tuntuan mundur untuk ketiganya makin nyaring terdengar belakangan ini.
Untuk Agum tuntutan ini bahkan sudah nyaring terdengar sejak
terjadinya tabrakan kereta langsam dan KA Ekspres Patas Ekonomi di
Serpong, Tangerang, 1 Mei 2000 lalu. Tapi Agum, saat itu masih di
jajaran kabinetnya Presiden Abdurrahman Wahid, tetap bertahan di
kursinya. Dan bertahan hingga kini setelah diangkat kembali oleh
Presiden Megawati.
Mundur karena gagal memang belum jadi tradisi di negeri ini.(detik.com/gtp)
http://jkt.detik.com/peristiwa/2001/12/28/20011228 040027.shtml
========================================
Pengirim : Conan
========================================