Bukti Kuat Megawati
Tak Punya Visi Ekologi

Pemberian izin kepada 13 perusahaan pertambangan untuk meneruskan kegiatan penambangan secara terbuka (open pit mining) di hutan lindung menunjukkan bahwa Pemerintah Megawati tidak memiliki visi pengelolaan lingkungan hidup.

DIREKTUR Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Longgena Ginting bersama Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang Siti Maimunah, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi, dan Direktur Eksekutif Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) Indro Sugianto, mengemukakan hal itu menanggapi terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 2004, yang menetapkan 13 perusahaan pertambangan untuk melanjutkan kegiatannya di kawasan hutan hingga izinnya berakhir.

Keppres tersebut ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 12 Mei 2004, menyusul keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) No 1/2004 tentang Perubahan atas UU No 41/1999 tentang Kehutanan, 11 Maret 2004. Perpu itu menegaskan, semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan sebelum berlakunya UU No 41/1999 dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut.

“Belum lagi Perpu No 1/2004 mendapat persetujuan DPR, pemerintah malah mengeluarkan keppres untuk melegalkan 13 perusahaan pertambangan beroperasi di hutan lindung. Padahal, keluarnya perpu dan keppres itu sama sekali tidak menjawab masalah tumpang tindih kegiatan pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung,” kata Indro.
Menurut Indro Perpu No. 1 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945, sehingga Mahkamah Konstitusi dipandang perlu untuk meninjau kembali produk hukum tersebut. Ia menjelaskan bahwa Koalisi Ornop telah membuat kajian hukum yang mendalam dan komprehensif, dan menunjukkan bahwa Perpu No. 1 Tahun 2004 berseberangan dengan UUD 1945. “Atas dasar tersebut, maka lebih dari 500 organisasi dan kelompok masyarakat sipil di Indonesia akan membawa Perpu No. 1 Tahun 2004 tersebut ke Mahkamah Konstitusi,” tegas Indro.

Sementara Ginting menyatakan prihatin atas tidak adanya tanggapan dari calon presiden dan calon wakil presiden terhadap keluarnya Perpu No 1/2004. Menurut Ginting, hal itu menjadi indikasi bahwa kerusakan lingkungan akan bertambah parah karena Indonesia tidak memiliki calon pemimpin nasional yang menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan. Ia mencontohkan nasib lebih dari 7 juta rakyat di 13 lokasi pertambangan di hutan lindung tersebut yang akan menderita kerugian ekonomi dan kelak harus hidup dengan limbah beracun pertambangan.

Sedangkan Siti Maimunah menilai Pemerintahan Megawati telah gagal merebut kedaulatan pengelolaan sumber tambang dan energi dari tangan asing. Dengan mengizinkan dibukanya hutan lindung untuk pertambangan atas nama keamanan investasi asing, membuktikan Pemerintah Megawati telah mengikuti model pemerintahan Orde Baru dalam mengeksploitasi sumber tambang Indonesia. “Lantas apa bedanya Pemerintahan Megawati dengan Orde Baru yang selama ini menggadaikan kedaulatan pengelolaan sumber tambang kepada pihak asing?” ujar Maimunah.

Koalisi Ornop juga mempertanyakan proses penelitian terhadap kelayakan keberlangsungan perizinan dan perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan, yang dijadikan pertimbangan keluarnya Keppres No. 41 Tahun 2004. Berdasarkan kajian ekonomi yang dilakukan Greenomics Indonesia, setidaknya negara akan mengalami kerugian sebesar Rp 70 triliun per tahun sebagai konsekuensi logis diizinkannya 13 praktik pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung. �Nilai tersebut setara dengan alokasi anggaran pengeluaran pembangunan tahun 2004,� ujar Elfian Effendi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia.
Perpu No.1/2004, menurut kajian Koalisi Ornop, mengandung cacat substansi karena tidak memenuhi unsur “negara dalam keadaan genting yang memaksa” dan unsur “penyelamatan negara”. Dalam perpu itu sama sekali tidak tercantum secara eksplisit bahwa negara dalam keadaan genting memaksa sehingga diperlukan perpu. Tujuan dikeluarkannya perpu itu pun tak menyentuh persoalan penyelamatan negara, sebaliknya justru dapat membahayakan keadaan negara, dalam konteks penyelamatan hutan lindung.

Elfian Effendi mengemukakan, pengalaman yang sama pernah dihadapi Pemerintah Kosta Rika pada bulan Juni 2002. Akan tetapi, presidennya ketika itu, Abel Pacheco, berani membuat keputusan untuk melarang praktik tambang terbuka dengan sebuah deklarasi damai terhadap alam dan lingkungan. Pacheco dengan tegas menyatakan, “Kami punya banyak alasan untuk membatalkan kontrak kontrak tambang itu. Seandainya perusahaan perusahaan pertambangan itu menggugat kami untuk membayar kompensasi, itu lebih murah daripada harus membayar kerugian negara dan kehancuran lingkungan hidup.”

Sayangnya Indonesia tidak punya pemimpin setegas Pacheco.(ss/walhi)

========================================
Pengirim : SS
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *