Di ruang lobi Hotel Sabang. Sore ini menjelang malam, penulis bertemu muka, bersilaturahmi dengan mBak Zahrotul Jannah, alumni angkatan 1 yang kini bekerja di Indosat Semarang. Dalam kacamata penulis, pertemuan ini mengandung beberapa nilai penting, karena memiliki histori yang bisa dijadikan untuk merekatkan silaturahmi antar alumni dalam kerangka yang lebih luas di masa yang akan datang.

Yakni pertama, pertemuan malam ini akan sangat menentukan terbentuknya Ikatan Alumni Wikusama (IAW) untuk wilayah Jawa Tengah, khususnya di Semarang. Kedua, penulis sangat menghormati sosok perempuan berjiwa aktivis yang sedang hamil tujuh bulan ini, karena beliaulah yang pertama kali memperkenalkan organisasi kepada penulis, ketika di STM dulu.

Ketiga, bersama dengan beliau dan teman teman yang lain, kita dulu mampu mendirikan sebuah forum sosial di wilayah Bongkaran, Tanah Abang, Jakpus; sebuah kegiatan sosial yang pertama kali dilakukan oleh Wikusama, yang masih eksis hingga sekarang.

Walaupun singkat hanya 1 jam, tapi kita membahas banyak hal soal alumni. Satu hal yang penting dalam pembicaraan itu adalah, bagaimana IAW yang telah terbentuk, kelak di kemudian hari bisa menjadi pemberi solusi atas berbagai masalah yang terjadi di kalangan alumni yang masih terjadi hingga saat ini.

Pembicaraan kita pun mulai merembet ke wilayah yang paling “sensitif” perihal soal alumni. Dalam pandangan kami berdua, sesungguhnya problem terbesar yang dihadapi alumni, terjadi di angkatan 1 dan 2. Kami berdua sependapat, kedua angkatan itu adalah “angkatan percobaan” di STM Telkom Malang; sebuah ungkapan yang sungguh membuat dada saya terkadang terasa sesak. Itulah yang juga menyebabkan, kenapa ikatan alumni selama sekian tahun sangat sulit untuk dibentuk, dan kurang mendapatkan respon yang cukup positif dari semua angkatan.

Memang, belum bisa diketahui secara pasti, berapa prosentase jumlah alumni yang dikatakan “berhasil” dan “tidak berhasil” dari kedua angkatan itu.
Tapi, fakta memang berbicara demikian, bahwa masih banyak teman teman dari kedua angkatan tersebut yang perlu mendapatkan prioritas perhatian.

Uraian selanjutnya ini, penulis akan berusaha untuk mengurai (apa yang penulis anggap sebagai) fakta. Tentu saja hanya sebatas apa yang penulis ketahui/sangka. Bolehlah ini dianggap sebagai asumsi atau sebatas imajinasi:

Rezim Orde Baru di awal era 90 an. Bidang telekomunikasi, waktu itu berada di bawah kendali Menteri Soesilo Soedarman. Direktur Telkomnya, Cacuk Soedarjanto (?). Kedua orang itu sangat bagus. Mereka memiliki visi, bagaimana ke depan, Indonesia di bidang telekomunikasi, diisi oleh tenaga tenaga muda yang cerdas dan berkualitas untuk menggantikan SDM di PT Telkom yang memiliki kendala di bidang skill dan latar belakang pendidikan.
Untuk mewujudkannya, maka didirikanlah STT Telkom di Bandung. Lulusan mereka langsung ikatan dinas di PT Telkom, dan begitu masuk, mereka rata rata memiliki posisi yang bagus, karena memang kualitasnya bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya, ketika penulis melakukan proses magang seminggu di Kantor Cabang Telkom Lamongan, Kancatelnya baru lulus dari STT.

Ide brillian kedua tokoh tersebut tidak berhenti hingga di situ. Untuk menopang STT, maka didirikanlah STM Telkom via Yayasan Sandhykara Putra untuk mengisi di level jabatan menengah ke bawah (setingkat SMA). Lima (5) STM Telkom didirikan; Medan, Jakarta, Purwokerto, Malang dan Ujung Pandang (sekarang: Makassar) dengan spesifikasi jurusan yang berbeda. Siswa yang bisa masuk ke STM harus melalui seleksi yang sangat ketat. Mereka merupakan lulusan dari SMP di kota masing masing dengan nilai nilai yang jempolan.
Yang membuat banyak orang tua berminat menyekolahkan anaknya masuk ke STM adalah, adanya janji “ikatan dinas”; sebuah ungkapan yang manis untuk didengar.

Waktu terus berjalan. Dan terkadang, nasib tidak harus selalu bisa berkompromi dengan sang waktu. Sebelum angkatan 1 lulus, sang menteri, P Soes, yang kelahiran Cilacap, yang punya gebrakan brilian itu telah berpulang kepada sang Khalik. Beliau meninggal sebelum bisa menyaksikan hasil dari ide dan gagasannya. Tak lama kemudian, sang Dirut pun dipecat Konon kabarnya, itu disebabkan Pak Cacuk tidak meloloskan tender yang diajukan keluarga Cendana dalam proyek di bidang telekomunikasi.

Berita yang mengenaskan SDM yang sudah tua dan rapuh, yang ada di Telkom barangkali “bersorak ria” dengan pencopotan itu, karena mereka tidak akan tergusur dalam waktu dekat, dan tidak merasa terganggu dengan kebijakan P Cacuk yang cemerlang itu . Tapi sebaliknya, itu menjadi berita duka bagi siswa STT dan STM Telkom. Ungkapan manis “ikatan dinas” pun hilang lenyap begitu saja

Tibalah sang waktu pada pertengahan tahun 1995. Angkatan 1 lulus. Tahun 1996, angkatan 2 lulus, dan begitu seterusnya. Janji PT Telkom benar benar telah pudar. Ikatan dinas tidak terealisasikan. Yang bisa melihat peluang justru datang dari Indosat, Telkomsel, Ratelindo, Lintas Arta, dan perusahaan telekomunikasi lainnya di luar PT Telkom. Karena seperti menemukan “emas permata” yang terbengkalai tanpa tuan, mereka sampai harus merelakan datang ke sekolah, untuk melakukan perekrutan siswa sebagai karyawan perusahaan mereka. Yang lulus, ya langsung kerja. Yang tidak? Untuk sementara waktu “harus mau” sebagai tenaga kontrak di Telkom.

Karena memang dasarnya orang orang pilihan, angkatan 1 yang kerja di perusahaan perusahaan telekomunikasi di luar PT Telkom mampu menunjukkan kinerja yang bagus dan berkualitas. Maka, kembali perekrutan dilakukan. Sebagian angkatan 2 pun masuk. Sisanya, kembali harus magang di PT Telkom. Karena kembali menunjukkan kualitas yang bagus, mudahlah bagi angkatan selanjutnya untuk masuk ke bursa kerja. Perekrutan dilakukan secara besar besaran, yang jumlahnya melebihi dari angkatan 1 dan 2. Apa yang terjadi kemudian, bisa kita lihat hingga sekarang. Angkatan 3 dan seterusnya, relatif lebih mudah diterima di perusahaan khususnya di PT Telkom bila dibandingkan dengan apa yang harus dialami oleh angkatan 1 dan 2, yang telah bersusah payah mencari di mana sebenarnya pencaharian hidupnya.

“Kita adalah angkatan percobaan,” kata mBak Zahro dalam akhir percakapan kita malam ini.
“Ya benar Tapi kita adalah pioner di perusahaan masing masing, yang hasilnya bisa dirasakan secara tidak langsung oleh adik adik kelas kita,” jawab penulis menimpali.

Keberadaan angkatan 1 dan 2 yang dikatakan “belum berhasil”, memang menjadi problem. Sementara, sebagian yang lain, yang sudah dianggap “berhasil” di sebuah perusahaan, mereka sesungguhnya adalah pejuang. Pejuang bagi diri mereka sendiri, dan tentu saja bagi adik adik kelasnya. Sekali nama almamater tercoreng, biasanya perusahaan enggan untuk kembali merekrut karyawan yang berasal dari sekolah asal alumni yang bersangkutan. Ini seperti kasus yang terjadi dengan UGM yang enggan merekrut siswa dari SMAN 2 Lamongan, gara gara ada dalam satu angkatan di SMA itu menolak ketika dipanggil masuk dalam program PMDK UGM.

Penulis sendiri berharap, problem mereka bukan hanya menjadi problem mereka sendiri, tapi itu menjadi bagian dari problem yang harus kita pecahkan bersama. Dan sesungguhnya, problem yang harus kita hadapi bukan hanya dari kedua angkatan itu, tapi yang terjadi di semua angkatan. Di sinilah fungsi kita mengikatkan diri dalam ikatan alumni. Yang merasa sudah “berhasil” mencoba dengan sekuat daya dan upaya untuk membantu yang dianggap “belum berhasil”. Tidak perlu saling membuat jarak. Toh, dulu kita sama sama berangkat dari sebuah komunitas yang pernah kita lalui bersama baik suka ataupun duka, dan itu akan menjadi bagian dari sejarah hidup kita. Karenanya, dengan memahami histori yang pernah kita lalui, mari kita rajut dan eratkan silaturahmi.

ketika sang waktu mulai merangkak menuju transisi ke 27 Mei 2003
©aGus John al Lamongany

========================================
Pengirim : Gus John
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *