Di sebuah paroki kampung di Lereng Gunung Merapi, Paroki St. Maria dari Lourdes Sumber, Muntilan, Wilayah Keuskupan Agung Semarang ada wacana menarik berkaitan dengan usaha gereja lokal mengembangkan dan melestarikan kesenian lokal dalam perspektif iman kristiani. V. Kirdjito, Pr sedang berteologi melalui budaya. Kerangka berteologi yang demikian bisa kita sebut paling kurang untuk sementara dengan Teologi Imaginatif. Sebutan ini tentu saja masih terbuka pula untuk perdebatan. Kalau pembaca tidak setuju, sah sah saja.

Dari kacamata penulis, term Teologi Imajinatif sudah mengadaikan ada proses berpikir yang kreatif di dalamnya, terutama dalam menterjemahkan nilai nilai Kitab Suci dalam budaya dan kesenian setempat. Lebih dari sekadar menterjemahkan nilai nilai Kitab Suci dalam kultur lokal, ada hal yang lebih penting yaitu proses menggali nilai nilai Kitab Suci yang memang sudah terkandung di dalam budaya lokal tersebut. Jadi, imajinatif di sini tidak berarti tanpa bentuk atau nggrambyang ( kabur ). Dalam usaha semacam inilah ditemukan sebuah teologi yang bercorak inkulturatif. Sebuah cara berteologi yang mau dekat dengan budaya.

Teologi Imajinatif di Paroki Sumber ini ternyata mampu menumbuhkembangkan nilai nilai pokok dari Kitab Suci di hati umat dan pada akhirnya lebih menyentuh hati nurani dan nalar umat, lebih menyentuh dan menggetarkan tubuh, demikian ungkap Monika, peneliti dari Lembaga Studi Realino Yogyakarta ( lih. Hidup, No 22 tahun LVI 2 Juni 2002). Dengan cara demikian pengetahuan tentang Allah dimanifestasikan dengan lebih baik dan pewartaan Injil menjadi lebih jelas bagi nalar umat. Allah yang berbelas kasih berada di dalam situasi umat manusia karena cara penuturan yang serasi sesuai dengan tuntutan tuntutan liturgi dan karena perangkulan nilai nilai dan simbol simbol budaya lokal dalam liturgi.

Tuduhan Animisme

Sudah sejak lama saya menyimak apa yang dilakukan oleh Romo Kirjito, Pr dkk. berkaitan dengan banyak gelar budaya di Lereng Merapi yang dimotorinya. Ada beragam tanggapan menyikapi kesenian lokal yang sering dikolaborasikannya dengan liturgi katolik. Ada yang menuduh, ia mencari popularitas. Ada yang mengatakan, ia mengarahkan iman umat ke animisme. Bagaimana tidak, berdoa saja di sungai sungai, demikian komentar seorang umat. Meski demikian ada juga yang berpikir positif, yaitu demi iman umat yang mengakar pada budaya sendiri.

Memang kalau tidak hati hati, mereka yang berkecimpung dalam teologi budaya akan terjerumus dalam penghayatan iman yang animistis. Tidak hanya seorang Kirjito Pr, Sindhunata SJ pun pernah di tuduh animis dengan Sumur Kitiran Kencana nya di Pakem.

Berkaitan dengan tuduhan ini, Romo Kirjito dengan enteng berkata, � Seandainya ada yang menuduh animis, boleh saja, daripada merusak hutan dan korupsi. Lebih baik melestarikan alam dalam dan dengan kultur masyarakat setempat � (lih. Hidup, No. 33 Tahun ke 58, 29 Agustus 2004). Meski demikian, tentu saja seorang Kirjito tidak begitu saja menerima tuduhan bahwa dirinya animis. Ia hanya ingin mengajak umat mengenali budayanya sendiri. Ia begitu yakin bahwa nilai nilai injili pun sudah terkandung dalam budaya setempat. Dengan cara demikian, umat diharapkan bisa mempertahankan, melestarikan dan mengembangkan kesenian dan kebudayaan setempat dalam perspektif iman Katolik. Hal demikian tidaklah mudah ditanamkan, karena sudah berabad abad lamanya umat dihadapkan pada bentuk liturgi yang baku dari Vatikan.

Tanda dan Lambang

Dalam kehidupan manusiawi tanda dan lambang mendapat tempat yang penting. Karena manusia itu sekaligus makhluk jasmani dan rohani, ia menyatakan dan menangkap kenyataan kenyataan rohani melalui tanda dan lambang jasmani. Sebagai makluk sosial manusia memerlukan tanda dan lambang, supaya melalui bahasa, melalui gerak gerik, dan kegiatan dapat berhubungan dengan orang lain. Hal ini berlaku juga untuk hubungan dengan Allah.
Teologi Imajinatif ala Paroki Sumber hadir dengan kerangka pendekatan budaya setempat. Lagu pujian dalam langgam dan iringan gending Jawa yang mendayu dayu, kehadiran Semar dan Petruk yang merupakan representasi Santa Klaus, gelar Teater Anak Merapi, kehadiran Seni Jathilan dan Jalantur adalah bahasa simbol, hasil dari proses kreatif imajinatif dalam memaknai nilai nilai Kitab Suci. Dengan segala kesederhanaan dan simbol lokal yang dikedepankan, perayaan liturgi di Lereng Merapi ternyata tidak pernah kehilangan maknanya, apalagi kehilangan kekhidmatannya. Dengan kata lain, Umat tetap khidmad dalam melambungkan pujian dan kemuliaan Allah dengan corak liturgi yang inkulturatif. Kenyataan ini mau tidak mau memang menjawabi apa yang dipersoalkan Sacrosanctum Concilium 112 bahwa lagu dan musik seharusnya memenuhi fungsinya sebagai tanda semakin baik,� sejauh ia semakin erat dihubungkan dengan kegiatan liturgi�.

Dalam kerangka jalan pikiran yang sama, apa yang diharapkan Gereja sebagaimana terungkap dalam Katekismus Gereja Katolik artikel no.1157 yaitu soal tujuan dari perkataan dan kegiatan liturgi terjawabi. Lagu dan musik yang dipresentasikan Umat Paroki Sumber mampu melayani tujuan dari perkataan dan kegiatan liturgi: pemuliaan Allah dan pengudusan umat beriman. Dengan khidmat umat memasuki puri batin teriring keindahan ungkapan doa dan kidung dengan syair syair yang syarat makna pujian, permohonan dan perjuangan. Partisipasi umat yang serasi dan kesemarakan perayaan dalam gerak dan tari yang syarat ungkapan kehidupan, pun pula menambah kemuliaan Allah. Keserasian tanda tanda ( lagu, gamelan, perkataan dan perbuatan ) sungguh harmoni karena mampu dikembangkan dalam kebudayaan umat Allah yang merayakannya.

Dengan semangat Konsili Vatikan II Romo V. Kirdjito Pr, Romo Paroki St. Maria dari Lourdes Sumber, mau berteologi melalui pendekatan budaya. Hal ini lahir dari pengalaman keprihatinan melihat problematika hidup yang dihadapi masyarakat di sekitar Lereng Merapi berkaitan dengan ekploitasi pasir secara besar besaran yang semakin meresahkan masyarakat sekitar Merapi. Bagaimana tidak, penambangan pasir secara terus menerus tentu saja akan merusak keseimbangan ekologi, akibatnya bencana banjir dan longsor ada di depan mata. Memprihatinkan pula, penambangan pasir sudah mulai di sejumlah areal persawahan dan mata air yang menjadi sumber penghidupan warga. Lebih dari itu Romo V. Kirdjito Pr sebenarnya mau memperjuangkan martabat dan hak masyarakat kecil agar tidak ditindas dan dieksploitasi oleh para pengusaha yang rakus ( bdk. Kompas, Jumat, 26 Desember 2003, Minggu, 30 September 2001 dan Minggu, 16 Februari 2003 dan The Jakarta Post, Sunday, January 6, 2002, Sunday August 12, 2001 ).

Teologi imajinatif berkarakter budaya semacam inilah yang harus dikembangkan dewasa ini yaitu dekat dengan persoalan hidup keseharian umat sehingga iman umat semakin diperteguh, umat semakin merasakan kehadiran Allah yang peduli dengan kehidupan.

Teologi budaya memang sepantasnya mengambil bagian dalam perjuangan revolusioner terus menerus demi terciptanya dunia yang lebih baik. Ekspresi seni yang dihadirkan adalah ungkapan kerinduan masyarakat kecil Lereng Merapi akan kehadiran Allah. Mereka memuji Allah dengan wewangian dupa dan persembahan hasil pertanian sekaligus mengundang Allah dengan syair, kidung dan tarian untuk segera datang memberikan pertolongan. � Gusti Ono, Tani Ono, Ojo Wedhi � (Tuhan Ada, Petani Ada, Jangan Takut ). Allah senantiasa menyertai sampai kepada akhir zaman (bdk. Mat.28:20 )

Gereja dan Kesenian

Kesenian penting bagi kehidupan Gereja sebab dengan caranya sendiri kesenian mengungkapkan dan melukiskan ciri khas manusia, masalah dan pengalamannya, suka duka, pujian kepada Allah sekaligus kebutuhan dan kerinduannya akan Allah. Dengan berjuang bersama dengan kesenian maka kesenian tidak akan merasa diperalat. Dan itulah yang ditampilkan umat paroki St. Maria dari Lourdes Sumber. Ekpresi seni mereka adalah totalitas kehadiran hidup dan perjuangan masyarakat kecil yang berjuang bersama Gereja.

Dalam semangat Gaudium et Spes yang peduli untuk mengembangkan kebudayaan dengan tepat, Teologi Imajinatif semacam ini mau menegaskan bahwa melalui teologi budaya kontekstual ini, pengetahuan tentang Allah ini dapat dimanifestasikan dengan lebih baik dan pewartaan injil menjadi lebih jelas bagi daya nalar umat dan nampak seolah olah berada di dalam situasi manusia. Pengetahuan tentang Allah lantas tidak sebatas hafalan akan dogma dogma Gereja sebagaimana terumus dalam Katekismus, tetapi lahir dari pengalaman akan Allah dalam hidup sehari hari, oleh karena dogma dogma dan nilai nilai Kitab Suci itu mampu diterjemahkan dalam kehidupan sehari hari umat. Juga lebih dari itu semua, karena nilai nilai Injili sudah dihidupi dalam kehidupan sehari hari dan terpatri pula dalam kebudayaan dan kebiasaan masyarakat setempat.

Gendhotwukir
Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi St. Augustin, Jerman. Saat ini tinggal di Jerman.

========================================
Pengirim : gendhotwukir
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *