Senin, 22 September 2003;
Orangnya masih muda. Usianya baru 34 tahun. Penampilannya funky habis. Rambutnya dibiarkan gondrong menutupi bahunya yang kurus agak membungkuk. Kacamata minus selalu setia menemaninya ke mana ia pergi. Bila bepergian,
ia suka memakai celana jeans. Setahun yang lalu, ia telah menjadi seorang haji. Padahal, konon, semasa SMA nya, dia dulu mantan berandalan di
kampungnya, dan cukup dikenal di beberapa kawasan di Surabaya. Namanya, Sukidi. Aku sering memanggilnya, Cak Kidi.
Kukatakan ia masih muda, karena bila melihat kiprahnya yang begitu luas di masyarakat, aku seakan tidak percaya, bahwa usianya memang masih 30 an. Padahal, hampir seluruh waktunya ia persembahkan buat kepentingan masyarakat. Dengan melibatkan warga kampung, ia bikin acara khataman Quran setiap bulannya. Membuat acara istighotsah tiap mingguan, dan menjadi pengurus sebuah organisasi anak muda di kotanya. Hari harinya penuh dengan kesibukan. Di samping mengurusi bisnisnya, dia juga menyempatkan berkiprah secara aktif di masyarakat, yang terkadang ia sendiri lupa akan kepentingan diri dan keluarganya.
Bila ada kegiatan kegiatan di kampung, mulai dari acara pengajian, rehabilitasi masjid dan tempat sosial, kampanye pilkades, hingga urusan rapat mendirikan sekolah sepakbola (SSB) pun, Cak Kidi pasti diundang. Sehingga sangat pantas, berkat kegigihannya dalam mengabdi di masyarakat itu, ia kini telah menjadi kiblat (tokoh panutan) bagi anak anak muda di sekitarnya. Dengan umurnya yang masih muda itu, Cak Kidi tak menyadari bahwa dirinya telah menjadi tokoh masyarakat. Tanpa sadar, telah memposisikan dirinya menjadi tumpuan dan harapan warga masyarakat.
Senin malam itu, mobil panther Cak Kidi telah membawaku menuju sebuah pesantren putri di daerah Rembung, Sidoarjo. Seharian itu, aku memang sengaja mengosongkan waktu untuk menemaninya. Melihat lebih dekat kesibukan dari sosok muda yang kini telah menjadi ayah dari 3 orang anak itu.
Menyusuri setiap sudut kota Pahlawan. Dari Menanggal, kawasan Rungkut, hingga jalanan di pinggir Kali Mas, menuju warung khusus hidangan kambing ala Arab, “Madinah” di kawasan Ampel. Sorenya, ke Tretes, Prigen, lalu menyusuri kota Sidoarjo di malam harinya.
Malam itu aku menemani Cak Kidi untuk mengantarkan anaknya yang baru kelas 4 MI, untuk dititipkan mondok di pesantren milik Nyai Siti Aisyah, sosok perempuan yang sangat dihormati di lingkungan para kiai. Seorang perempuan yang dikarunia ilmu laduni, menjadi ahli pidato sejak usianya belum 10 tahun tanpa proses belajar apapun.
Aku sudah tidak ingat lagi, jalan apa dan berapa kilometer yang kulewati untuk menuju pesantren Nyai Aisyah. Yang jelas, jalannya penuh berliku.
Berkelok kelok, melewati jalan beraspal di tengah tengah sawah, dengan rel kereta lori pengangkut tebu di kiri atau kanan jalan, dan kadang
melintangi jalan. Setelah perjalanan hampir 15 menit dari stadion Delta, Sidoarjo, maka
sampailah di pesantren Bu Nyai.
Pesantren itu sederhana. Berada di tengah tengah pemukiman penduduk di daerah sekitar Porong, Sidoarjo. Terletak di sebuah desa yang terlihat
asri, nyaman, bersih dan teratur. Kampung dengan deretan rumah rumah yang masih berhalaman luas, seperti halnya rumahku. Pohon pisang, jambu dan mangga yang paling dominan menghijaukan pekarangan.
Bila ingat pondok Nyai Aisyah itu, lamunanku kemudian menerawang jauh ke depan. Alangkah indahnya mengisi hidup ini dengan hidup berada di tengah masyarakat desa, dengan memiliki pesantren khusus untuk anak anak, tempat
anak anak belajar agama untuk menjadi bekal hidup mereka kelak dalam mengarungi hidup yang lebih serba materialistik ini. Mengajari mereka
mengaji, baca Quran, membuat teduh suasana kampung dengan lantunan ayat suci yang mereka bacakan setiap saat.
Alangkah indahnya, di tengah suasana kampung nan damai, mendirikan sebuah yayasan yang menaungi kaum fakir miskin papah. Yang bergerak di bidang sosial; tempat berbagi rasa dan asa, mencegah terjadinya kekufuran, menciptakan generasi yang mandiri.
Alangkah indahnya, mendirikan sebuah klub bola voli, tempat mengumpulkan dan membina generasi muda untuk aktif di bidang olahraga, berguna serta
bermanfaat bagi masyarakat dan lingkunganya. Membuat turnamen bergengsi, dengan mengundang tim dari kecamatan/kabupaten lain se propinsi. Tentu ramai. Tentu membanggakan dan menjadi tontonan menarik warga kampung.
Alangkah dan alangkah…..
Ah, aku tak mau mengikuti lamunan. Tapi bukankah inti dari mengarungi hidup
ini adalah pengabdian?
Wallaahualam bi ash showab
Griya Made Karyo XVIII Lamongan, 26 Sep 03
© Gus John
========================================
Pengirim : Gus John
========================================