Dulu, seorang sahabat yang amat bijak pernah bertutur sopan ke saya.
‘Hidup’, kata dia sambil menelan ludah perlahan, ‘tidaklah perlu terlalu hebat
dan cepat’. Tentu saja saya yang masih amat muda ketika itu, dan amat silau
dengan gemerlap kehidupan orang orang atas, protes dengan pesan alon alon waton
kelakon ini. Seperti tidak perduli dengan pesan sahabat tadi, saya lanjutkan
saja menancap gas mobil kehidupan. Memang, sempat menyentuh ‘langit’ karir yang
didambakan banyak orang.
Sekian tahun setelah pesan di atas berlalu, dan saya sudah demikian lelah dengan
perjalanan yang berjalan cepat, suara lembut teman di atas terdengar lagi di
telinga. Ada bagian akhir dari pesan sahabat di atas yang masih tertulis rapi
dalam memori : ‘puncak kehidupan tercapai ketika kita amat bahagia menjadi orang
biasa’.
Ingin rasanya memeluk sahabat lama tadi dalam dekapan dada erat erat. Sayangnya
kami dipisahkan jarak ribuan kilometer. Sehingga, hanya jembatan jembatan
renungan dan kontemplasilah yang bisa menghubungkan suara suara rindu saya pada
sahabat yang bijaksana sejak umur yang amat muda ini. Sadar akan dalamnya
renungan ini, pelan dan perlahan setir kehidupan saya putar ke arah yang lain.
Arahnya, mungkin akan terus menelusuri bekas bekas langkah yang pernah dilalui
orang orang seperti Jalaluddin Rumi, Hazrat Inayat Khan, Mahatma Gandhi, Dalai
Lama, Rabindranath Tagore dan manusia manusia sejenis. Saya tidak bercita cita –
apa lagi berjanji akan bisa sehebat mereka, karena bekas bekas jejak kaki
orang orang ini banyak sekali ditulisi kata kata ikhlas, ikhlas dan ikhlas.
Disamping itu, kata lain yang amat terang tertulis dari jejak jejak kaki manusia
mengagumkan ini adalah kata cinta. Cinta bahkan menghiasi hampir seluruh
jejak jejak kaki ini. Oleh karena alasan inilah, maka sudah cukup lama saya
membiasakan diri untuk menulis, melihat, merasakan, memegang, memeluk, membaui
rasa cinta di manapun badan ini berada. Benar seperti yang pernah ditulis
Jalaludin Rumi, dalam cinta kita bisa merasakan kehadiran Tuhan di Masjid
sahabat sahabat Muslim, di Gereja teman teman Nasrani, di Vihara orang orang
Buddha, di Pura nya orang Hindu, dan bahkan di setiap tempat di mana kita hadir.
Pengalaman yang mau saya bagi dengan Anda, semakin cinta itu kita dekati dan
kita peluk, semakin banyak godaan yang muncul. Seperti sedang bertutur ke kita,
mendalami cinta sebenarnya mirip dengan menggali sumur. Di tempat tempat yang
dangkal, kita menemukan lumpur. Akan tetapi di tempat yang dalam, itulah tempat
di mana kejernihan dan kesejukan bersembunyi.
Seperti sedang mendidik dan mengajari saya, kehidupan saya bertutur di
sumur sumur tertentu saya bertemu banyak lumpur. Di segelintir sumur yang lain,
ada kejernihan dan keheningan. Di dua tempat di mana saya pernah dipercayai
menjadi komandan perusahaan, ada banyak lumpur yang sempat membuat diri ini
megap megap. Demikian juga ketika belajar mencintai keluarga sehari hari. Ketika
baru saja memberikan hadiah kepada isteri tercinta, tiba tiba hadiah tadi hampir
saja membuat nyawanya melayang. Tatkala menyenangkan anak anak terbang bersama
saya ke sebuah tempat indah lengkap dengan fasilitas eksekutifnya, ada saja
godaan godaan yang bisa memancing rasa marah. Dulu, ketika ayah dan Ibu masih
hidup saya beberapa kali mencoba mengekspresikan cinta. Dan berapa kalipun cinta
itu mau diekspresikan, sebanyak itu juga godaan godaan muncul.
Seperti bercerita tentang keseimbangan yang sempurna, sang kehidupan juga pernah
menghadiahkan sumur sumur dalam yang menghadiahkan kejernihan di tempat lain.
Sebagai penulis, ada banyak sekali orang yang mengungkapkan empatinya. Sebagai
pengisi acara di beberapa radio, ada banyak sekali pendengar yang menitikkan air
mata syukur setelah mendengarkan saya. Di sebuah penghujung tahun, radio Female
Jakarta mengirimkan sekuntum bunga dengan sangat sedikit kata kata. Seperti mau
mengatakan, cinta memang tidak untuk diungkapkan lewat kata kata. Sebagai
pembicara publik, ada saja orang yang menyentuh hati saya.
Mirip dengan sumur sumur kehidupan banyak orang, demikianlah sumur sumur saya.
Di sekumpulan sumur, masih bertemu lumpur. Di sekumpulan sumur lain, sudah ada
tanda tanda kejernihan. Semua ini seperti mau berbicara ke Anda dan saya,
teruslah menggali sumur sumur cinta. Lumpur memang hanya sekadar sasaran antara.
Namun, ia menuntut satu hal yang tidak bisa ditawar : ketekunan untuk terus
menggali, menggali dan menggali.
Ketekunan untuk terus menggali inilah yang ada di kepala ketika banyak godaan
hidup kembali muncul dalam kualitas dan kuantitas yang jauh lebih besar dari
biasanya. Baru memimpin perusahaan raksasa beberapa bulan saja, sudah dihadang
tembok kehidupan yang tidak memberikan alternatif lain terkecuali harus mundur.
Baru saja menarik nafas lega di puncak perusahaan swasta, ada angin godaan yang
meniup saya bersedia turun.
Banyak sahabat mengira saya lagi bersedih ketika ditiup angin kehidupan untuk
turun. Sayangnya tebakan itu keliru. Karena telah lama saya mendidik diri untuk
tersenyum baik ketika naik maupun ketika turun. Demikian juga ketika menggali
sumur sumur cinta. Tidak ada janji dari sang kehidupan, kapan bertemu air
jernih. Yang jelas, tugas kita hanya satu menggali, menggali dan hanya menggali.
Begitu kita bertemu satu sumur kejernihan, kitapun diwajibkan untuk menggalinya
lagi di tempat lain.
(Gede Prama)
========================================
Pengirim : Gober Imut
========================================