Hampir maghrib. Dan aku baru saja tiba, menginjakkan kaki kembali di sini �di tanah kelahiran sendiri. Sore sudah setengah tua, mengantarkan semburat jingga mengisi kaki kaki langit. Kudongakkan kepala, tengadah hadapi cakrawala. Kutatap sekawanan burung hitam �tak tahu apa �terbang beriring pulang ke sarang. Mungkin sama halnya denganku, hanya saja aku tak lagi yakin �tak pernah lagi benar benar yakin. Pulang ke rumahkah? Rumah, kata yang belakangan terasa asing saat kulafalkan dengan lidah yang kaku karena terlalu lama kupaksa bisu. Pulang ke manakah aku? Entah. Di sini atau sana �di mana pun �bagiku sama saja. Karena aku dengan segala keangkuhanku tak pernah benar benar berniat menjadi bagian dari suatu apapun.

Dan kini di sinilah hadirku. Setengah ragu terpaku menatap rumah mungil di balik pagar besi bercat merah tua yang terkelupas di beberapa bagian. Semua tampak sama, persis seperti dulu. Hanya saja rumah ini, yah, terlihat semakin senja. Di bawah terpaan cahaya mentari yang lelah, rumah ini tampak semakin muram. Suram. Setelah membulatkan tekad sebisanya, kugapai dan kulepas pengait pagar besi itu dengan perlahan. Lalu kudorong hingga terdengar suara berderit, tak terlalu nyaring, namun berhasil memenuhi pikiranku dengan ketuaannya. Tapi, sungguh, sunyi sekali tempat ini. Di mana penghuni rumah? Saat kucapai pintu tak ada satu pun suara. Tersesatkah aku? Ini rumah siapa? Kucoba ucap salam, tak ada sahutan. Sekali lagi kucoba dan tetap tak satu mahluk pun perdengarkan suara. Dengan hati hati kuayun daun pintu itu, tak terkunci. Ah, masuk saja. Peduli apa.

Tiba di dalam, dan aku terkesiap. Terdengar sayup suara orang bercakap, siapakah? Oh, itu pasti mereka. Dengan langkah perlahan kuatasi rasa yang campur aduk, berkecamuk dalam diri. Tenang saja, itu hanya mereka. Ya, kan? Dan benar, sepertinya mereka pun mulai menyadari kehadiranku. Karena begitu sampai di bagian belakang rumah, sesosok lelaki tua �dengan sebuah mangga setengah terkupas di tangan kiri dan pisau di tangan kanan �tergopoh gopoh menghampiriku.

Dengan salah tingkah kulontarkan seulas senyum, tak tahu lagi mesti bilang apa? �Ah,� katanya, �Baru saja kami membicarakanmu.� Setelah itu terburu buru diletakkannya mangga beserta pisau tadi dan langsung memelukku, mencium puncak kepalaku. Kusambut tangannya, kusalami dan kutempelkan ke dahi. Tapi tetap diam saja, tak tahu aku mesti berkata apa. Kuperhatikan sosok lelaki tua itu dengan seksama. Badannya masih tetap tegap, sama seperti di suatu masa ketika dengan mudahnya sosok itu menimangku saat aku kecil dulu. Namun kulit yang hampir keriput dan rambut putih itu �bukan lagi kelabu �membuatku tertegun. Tuhan, waktukah yang berlari cepat atau aku yang semakin lambat? Entah. Kurasa aku cukup lama melamun. Saat tersadar kudengar dia ucapkan lagi beberapa patah kata dengan suara bergetar, tapi lalu hilang, tergantung di udara. Aku tahu, dia sedang menahan tangis. Aku tahu, karena aku pun begitu. Segera kupalingkan muka, tak hendak biarkan mata tuanya menangkap butiran kecil air yang siap menetes dari sudut mataku, membasuh wajahku yang kusut berdebu. Lalu aku pun beringsut, beranjak mendekati sosok tua satu lagi. Perempuan tua itu, muncul dari arah dapur, sambil melap tangannya yang berlepotan bumbu, menghambur ke arahku dan langsung memelukku erat. Lalu �lagi �diciumnya kedua belah pipiku. Dan terus saja, mereka menghujaniku dengan kata dan pertanyaan. Gembira �kukira �akan hadirku tentu saja.Tapi aku tetap diam, tak tahu lagi mesti bilang apa. Karena aku �dengan segenap kebencianku �mencintai mereka sepenuh hati dengan caraku sendiri.

Sebagai ganti, kembali kulempar seulas senyum agar tak dibilang tak tahu sopan santun. Kemudian aku berdiri saja diam di sudut sana, biar mereka pandangi aku lama. Biar puas, biar pupus rindu yang lama menghujam. Biar hilang semua rasa yang legam. Karena, jika lain kali aku pulang, tangis ini mungkin tak kan lagi sama, rindu itu juga akan berbeda. Karena saat itu, aku mungkin akan pulang �sekali saja �untuk ucapkan salam perpisahan. Selamat tinggal, semoga rindu ini pantas dikenang.

13 november �04

========================================
Pengirim : lia hehe
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *