Adikku telanjang di atas kasur. Menatapku mataku berharap sesuatu yang tak kumengerti. Aku berdiri terpaku. Apa yang harus kulakukan sekarang. Aku melangkah maju. Puji Tuhan Apa yang sedang kupikirkan sekarang. Astaga. Ia adikku sendiri. Tak mungkin aku menyetubuhi adikku sendiri. Ia menutup matanya.

Detik detik yang mendebarkan itu membawaku ke masa lalu. Masa ketika aku masih kuliah semester 1. Di sebuah malam, aku mengetahui bahwa ibuku adalah bibiku yang sering mengajakku menginap di rumahnya. Sejak umurku 8 tahun, mereka sering mengajakku menginap di rumahnya. Rumah kecil, berantakan yang tidak berubah sampai sekarang.

Maklum pamanku seorang pemain sinetron yang sekarang sudah mulai kehilangan jiwa seninya.
Sejak awal aku sudah merasa kalau pamanku itu tidak ada hubungan darah denganku. Entah kenapa aku merasakannya seperti itu. Seperti ketika teman sebangkuku mengatakan, kalau aku tidak akan menangis bila empat kakakku (yang kini kutahu kakak tiri) meninggal.

Ha ha ha… aku tertawa mendengarnya. Dia orang paling sok tahu yang pernah kukenal. Tapi. Tapi. Benarkah aku tidak akan menangis bila salah satu dari mereka meninggal, atau ayah dan ibu tiriku meninggal? Betapa hidup ini terasa berat setelah mengetahui kenyataan sebenarnya.

Kembali aku menatap tubuh seorang gadis 17 tahun yang masih perawan. Nafasku memburu. Aku tidak tahan untuk segera mengeluarkan senjataku. Semua sudah terkokang tinggal ditembakkan menuju sasaran. Kini aku duduk di kasur disamping adikku yang terbaring telanjang. Hatiku tergetar. Ingin segera kulemparkan tubuhku ke atas tubuhnya.
Tunggu

Apakah aku sebejat ini?
Aku melihat adikku melirik ke arahku. Kenapa juga aku yang ketakutan. Aku pernah berhubungan badan sebelumnya. Sering lagi. Aku melakukannya pada pacarku yang selalu �keluar� duluan. Berbagai macam gaya dalam Kama Sutra telah kucoba, kenapa aku takut untuk berhubungan badan?

Jangan jangan ia berpikir aku tidak bisa melakukannya karena aku tidak tahu caranya. Baiklah pertama tama aku akan menjilat batang leher yang putih dan menggairahkan itu. Jarak kepalaku dan kepala adikku 30 cm. Dekat semakin dekat…

�Kakak…� adikku merintih.
Aku terkejut. Kutarik kepalaku jauh jauh. Aku berdiri. Kuambil sebungkus rokok dari kantongku, dan kuhisap salah satu batangnya. Bergaya cuek seakan aku tidak peduli dengannya. Asap rokok mengepul membawaku ke masa lalu. Aku teringat saat adikku tidur dipangkuanku dalam perjalanan menuju rumah. Saat aku mengajarinya basket kelas satu smp, dan memberi kado di ulang tahunnya ke 15.

Tidak Tidak. Aku tidak boleh melakukannya. Aku akan dikutuk menjadi iblis. Menjadi iblis dalam kisah Demos yang jatuh cinta pada adiknya sendiri.
�Kakak. Kenapa kakak berhenti?�
�Aku bukan kakakmu.�
�Aku mencintaimu, kak.�
�Jangan panggil aku kakakmu.�
�Tapi kakak mencintaiku kan?�
�Apa?�
�Kakak mencintaiku kan?� ucapnya manja, �apa aku tidak lebih cantik dari pacar kakak?�
Oh, adikku… percayalah kau lebih cantik dari semua gadis yang kukenal. Kenapa kau membuat pertanyaan sebodoh itu. Aku mematikan rokok lalu berlutut di depannya. Mataku menjelajahi tubuhnya yang indah nan seksi bak seorang peragawati. Sambil mengelus elus rambutnya aku berkata,
�Lola, aku belum pernah bertemu gadis secantik dirimu. Percayalah. Kamu wanita paling cantik yang pernah kukenal. Tapi…�

�Tapi apa kak? Apakah aku kurang seksi? Jujur saja kak, apakah aku sama sekali tidak menarik.�
Sambil terus mengelus elus kepalanya aku berkata,
�Tidak Lolaku yang cantik, kamu gadis paling menarik.�

�Lalu kenapa kak?�
�Kamu tahu bagaimana aku bisa menjadi kakakmu?�
�Mama bilang, mama menemukan kakak di pom bensin,� jawabnya polos.
�Lola. Kamu tahu cerita bibi tentang kakak anak pungut.�

�Tidak tahu.�
�Aku adalah kakakmu yang lahir ketika, mama berumur seperti kamu sekarang ini. Tapi kakak tidak tahu siapa ayah kakak.�
�Jadi kakak adalah kakakku tapi lain papa.�
�Iya, sayang.�
�Berarti kita kakak adik satu ibu lain papa. Terus papanya kakak siapa?�
�Sampai sekarang kakak tidak pernah tahu. Kakak hanya tahu ia sekarang anggota DPRD. Entah propinsi mana, bibi tidak pernah mengatakannya padaku.�

�Jadi begitu…�
�Kamu mengerti sekarang.�
�Mmmm…� Lola menggumam mengerti.
�Kak, aku pernah nonton film blue terus… ceweknya menikmati �itu� yaa kak. Kalau kakak mau aku juga bisa. Kakak mau �itu�nya di…�

Gila Sinting Aduh parah. Aku tidak tahu harus berkata apa?

�Lola…� ucapku sambil menghela nafas, sebelumnya aku menelan ludah. �kamu enggak juga mengerti yaa?�
�Apa kak? Aku bisa kok kalau coba.�
�Bukan itu sayang.�

Namun maksudku juga itu. Puji Tuhan. Aku tidak bisa membayangkan wajah secantik itu… hidungnya yang mancung dan bibirnya yang manis, oh tidak. Aku tidak tahan lagi…

�Jadi apa dong kak?�
Kamu itu polos atau benar benar bego?
�Jadi begini kita ini satu darah. Darah yang mengalir di tubuh kita itu sama. Dan sesama saudara tidak boleh melakukan itu.�

�Lalu kenapa kakak menyuruhku melucuti pakaianku?�
�Aku…� belaku, lalu berdiri dan membelakanginya.
�Kenapa �
�Aku…� kenapa aku jadi gagap begini. �Aku…�

Tiba tiba aku merasakan pelukan hangat dari belakang. Kedua gunungnya menempel dan menghancurkan semua pertahanan diriku.
�Apa kak. Katakan saja?� aku melihat tangannya melingkar ke dadaku.

�Aku hanya takut.�
Tangan adikku kini bergerak semakin ke bawah dan ke bawah…

�Hentikan �
Aku melotot ke matanya. Ia hanya tersenyum. Ia kemudian berlutut dihadapanku.

�Kenapa kamu berlutut. Apa yang kamu lakukan?�
�Aku kan juga ingin kenal dengan �itu� kakak.�
Ia menarik tanganku. Jarak kepala adikku dan pinggangku hanya 10 cm. Aku tidak bisa berbuat apa apa lagi. Aku melihat adikku tersenyum aneh.

Tangannya mulai menggerayangiku. Dan…

�Kakak. Kakak.�
�Hah.�
�Teman Lola mau main nih.�
�Iya?�
�Kakak tidurnya di luar saja deh.�
�Oh… sekarang jam berapa?�
�Jam setengah tujuh. Sholat gih Kak.�
�Oh iya deh.�

Aku berjalan keluar kamar. Kulihat teman teman adikku masuk ke kamar. Aku duduk di sofa mencoba mengingat mimpiku tadi.

Kok bisa aku bermimpi seperti itu.
Huh, untung cuman mimpi.

Pintu kamar adikku terbuka. Ia berjalan mendekatiku. �Kak aku sudah baca buku kakak tentang Sigmund Freud. Aku sama sekali tidak mengerti isinya. Terlalu berat. Ini bukunya, habisan berat banget.�

Kupegang buku itu di tanganku. Lalu kubaca. Lima belas menit kemudian aku telah menemukan arti dari mimpi itu.

22 February 2004
FERDINAN

========================================
Pengirim : andy_ferdiansyah@yahoo.com
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *