MENGENAL Hamzah, bagi saya, seperti mengenal diri sendiri. Antara saya dan dia, hampir tak ada jarak. Sangat karib, Keakraban saya dengannya dimulai sejak kami sama sama masuk ke Sekolah Menegah Pertama Negeri di kota kami. Waktu itu, ia merupakan siswa pindahan dari sebuah SMP di pulau seberang. Sebagaimana layaknya siswa baru, ia sedikit mengalami perpeloncoankecil dari teman teman sekelas.
Saya, yang duduk sebangku dengannya, selalu bertindak sebagai pembelanya. Bahkan sering menjadi tempat pengaduan atas ulah teman teman kami. Sifatnya yang agak tertutup, tampaknya menjadi sasaran empuk sebagai bahan godaan. Demikianlah, kami menjadi kian akrab saja.
Apalagi rumah Hamzah tidak terlalu jauh dari rumah saya sehingga bukanlah merupakan hal sulit untuk menjalin persahabatan dengannya.
Tahun demi tahun berlalu, hingga “menginjak” tingkat Perguruan Tinggi kami tetap menjadi dua sahabat yang erat. Ia memilih Fakultas Sastra, sesuai keinginanya yang menyukai hal hal yang berbau seni. Dan saya masuk ke Fakultas Teknik.
Meskipun begitu, persahabatan kami tetap berjalan hangat. Melewati tahun kedua di Fakultasnya, Hamzah terlihat sangat menonjol terutama dalam hal olah seni, khususnya bermain piano. Bakatnya tersebut memang sudah terlihat sejak ia duduk di bangku SLTP. Pada setiap even kesenian, baik di sekolah maupun kegiatan lomba di kota kami, ia selalu tampil cemerlang. Kini, dia cukup tenar di kalangan kampus kami sebagai pianis handal. Bahkan, pada saat dilaksanakan konser di Auditorium Universitas kami, ia menjadi bintang panggung yang mendapat tepukan tangan riuh dari penonton.
Sebagai sahabatnya saya bangga akan prestasinya. Apalagi, setiap tampil Hamzah selalu membawakan lagu lagu terbaru ciptaanya sendiri, dimana setidaknya menggambarkan ia punya kreativitas yang tinggi. Sebelum ia “manggung” , sehari sebelumnya ia mendatangi saya membawa partitur ( susunan not not balok yang tertulis di atas kertas ) lagunya. Ia memperlihatkan kepada saya sembari bersenandung kecil menyanyikan lagunya, setelah itu ia meminta pendapat tentang lagu tersebut.Saya termasuk awam dalam hal mengapresiasikan sebuah lagu, apalagi lagu “berat” untuk pengelaran musik sekaliber konser dengan orkestra lengkap.
Tapi saya tak ingin mengecewakan dia. Dengan penghayatan paling naïf bahkan primitif – tentang sebuah lagu, saya memaparkan apa yang saya rasakan seekpresif mungkin.Herannya, Hamzah selalu menyambut antusias saya dihargai. Barangkali, hal tersebutlah yang membuat persahatan saya dan Hamzah tetap langgeng.
Ia sama sekali tak mau di sebut sebagai “musikus”. Nanti terkesan seperti tikus yang menyukai musik,” katanya suatu hari. Panggilan “pemusik “, tampaknya lebih sreg di hatinya meski tak jarang membuat saya berfikir, “kedua sebutan itu maknanya tak jauh berbeda. “Tapi tak apalah, hal tersebut bukanlah sesuatu yang besar untuk diperdebatkan, Pokoknya apa yang baik bagi dia , tentu baik pula bagi saya. Demikian pula sebaliknya.
Sore ini, ia datang lagi ke rumah saya.
“ Hai, pak pemusik, dari mana saja heh?” sapa saya sama Hamzah sembari meletakkan majalah yang saya baca di atas meja.
Hamzah tak menjawab. Ia langsung menghenyakkan pantatnya di atas kursi, kemudian menyalakan rokok.
“ Saya mencalonkan diri sebagai kandidat Ketua Senat,” kata Hamzah tenang tanpa mengacuhkan sapaan saya. Asap rokoknya mengepul ngepul.
Saya terkekeh, “Suprais, apa pula ini?. Saya mendadak teringat, tempo hari ia juga membawa kejutan nyaris serupa. Waktu itu ia menyatakan “ naksir” pada Irma kembang Fakultas Ekonomi yang foto model.
Sama dengan saat ini saya cuma mencibir ketika ia menyatakan niatnya, bahkan dengan sangat tega saya pernah nyelutuk “ Ham, apa kau sudah ngaca?” . Tapi ia tak menanggapi. Manusia satu ini memang bernyali baja.
Dengan mengandalkan potensi yang dimilikinya, ia berhasil menggait Irma. Malah, dengan sangat demonstratif, ia membawa Irma bertandang ke rumah saya. Lagak mereka mesra sekali, bagai sepasang merpati sehidup semati. Bukan main, lelaki introvert yang saya kenal dulu. Kini menjadi seorang”gentle” idola gadis gadis, termasuk gadis secantik Irma sekalipun.
“ Kenapa diam, Rud? Kau kira aku main main,ya? Tanya Hamzah membuyarkan lamunan saya. Ia kelihatan agak kesal.
“ Saya percaya kamu, Ham. Percaya. Tapi atas dasar apa ?” saya balik bertanya, sembari menatap tajam ke arahnya. Hamzah seperti menghindari tatapan mata saya. Ia tercenung. Di sana, mentari mulai beranjak keperaduan meninggalkan jejak jejak merah saga. Burung – burung kembali kesarang.
Saya ingin beraktualisasi diri, kata Hamzah singkat. Lalu diam. Saya mengangguk – angguk mengerti.
“ Prestasimu sebagai pianis kampus, saya kira, cukup menjadi ajang aktualisasi dirimu. Kau sudah polulis. Nah, apa lagi?” kata saya mencoba seloroh.
Hamzah seperti tersinggung. Rahangnya mengeras. Ia memang agak perasa, saya kenal wataknya.
“ Belum cukup,” Rud. Belum Cukup,” desisnya geram. Dihirupnya dalam dalam rokok kretenya. Ia memandang hampa ke depan.
Gelap sudah merata. Mentari ditelan bumi.
Saya tersenyum samar.
“ Apanya yang belum cukup Ham? Tanya saya lagi. Kali ini agak nekat. Saya tahu ia pasti tidak respek untuk menjawabnya. Saya hanya ingin melihat reaksinya.
Ia menggeliat resah. Kursinya berderit ketika ia memperbaiki posisi. “ Pengakuan katanya singkat.
Saya menatapnya tak mengerti. Hamzah kemudian mengalihkan pembicaraan. Ada hal lain. Saya paham, ia tak senang, saya “menggorek ngorek”, soal pencalonannya sebagai Ketua Senat.
Lalu percakapn rutin sebagai dua orang sahabat dekat mengalir hangat. Menjelang pulang ia menitip pesan pada saya.
“Besok kamu harus datang. Saya akan kampanye dan diskusi tentang kandidat. Terserah, kamu mau datang sebagai sahabat atau pemerhati. Tetapi lebih baik lagi sebagai juru kampanye ” kata Hamzah sambil mengedipkan sebelah matanya. Saya mengangguk menyanggupi.
Hamzah beranjak pergi. Binar matanya seperti masih terasa.
Esoknya saya datang cepat, ia berdiri di atas podium. Gagah dan penuh keyakinan. Dengan gaya bertutur yang menarik, bahasa yang memikat serta intonasi yang tepat.Hamzah tampil simpatik dan kharismatik. Ia berhasil memukau khalayak pendengarnya, melalui berbagai ilustrasi ilustrasi yang mendukung pidatonya.
“ Mengembalikan dinamika kemahasiswaan, seperti membaca bait bait partitur diperagakan antisipasi dan gerak tanggap terhadap uraian not not balok yang tertera agar menghasilakan irama yang indah serta aksentuasi ritmik yang profesional. Demikian pula di dunia kemahasiswaan.Dengan variasi karakter dan aspirasi mahasiswa yang berbeda beda, dibutuhkan gerak tanggap seperti layaknya membaca partitur …yang responsif untuk menanganinya. Cepat tapi pas, tangkas. Namun lugas. Sebuah “ Gaya kepemimpinan Pertitur”, tampaknya itu yang cocok kita terapkan dalam kondisi kelembagaan dan dinamika kemahasiswaan di kampus ini,” ujar Hamzah berapi api.
Kami para pendegarnya, seperti dihipnotis dibuatnya. Pesona dan wibawa Hamzah membawakan kanpanye, tak pelak membuat lapangan tempat kegiatan itu berlangsung bergemuruh oleh tepukan riuh dan decak kagum hadirin.Dapat ditebak, akhirnya, Hamzah berhasil meraih cita citanya. Ia tak berkata apa apa ketika saya menjabat tanganya mengucapkan selamat. Senyum di bibirnya dan matanya yang berbinar binar, menyiratkan ia betul betul mengalami kebahagiaan luar biasa yang tak dapat diungkapkan dengan kata kata.
Hamzah lantas memeluk saya dengan erat erat. Bibirnya bergeter ketika berucap “ Rud, saya akan bikin lagu. Sebuah partitur dengan nada nada surga. “ Saya mengangguk angguk mahfum.
“Bikinlah, Ham. Bikin. Pendengarkan pada dunia”. Saya berkata dengan rasa haru menyesak dada.
Hari hari berikutnya, adalah hari hari yang sibuk bagi Hamzah. Sebagai Ketua Senat ia memikul tangung jawab besar yang kemudian banyak menyita waktu dan pikiran.Pada gilirannya, ia tidak produktif lagi menulis lagu seperti yang dilakukan sebelumnya.
Ia tiba tiba menjadi seorang” yang lain “ dalam pandangan saya. Selain jarang bertandang ke rumah, Hamzah pun nyaris tak punya waktu menyapa ketika kami kebetulan berpapasan di rektorat. Waktu itu ia Cuma melambaikan tanggan lalu bergegas masuk ke ruangan pembantu Rektor III sambil mengepit map proposal.
Saya memang agak kecewa, Hamzah telah banyak berubah.
Saya lalu mencoba untuk tidak memusingkannya “ dengan atau (juga) menyibukkan diri pada tugas tugas praktikum di laboratorium dan Penelitian Tugas Akhir. Tingkah Hamzah sudah mengendap dalam ingatan saya. Ia tiba tiba lenyap dalam kehidupan saya, sementara saya pun bagai enggan peduli, kesibukan itu menjadi dalih yang sangat kuat. Keadaan ini berlangsung hingga bulan keenam, Hamzah menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra.
Sampai suatu hari, menginjak bulan ke tujuh ia menjabat Ketua Senat, Hamzah datang ke rumah saya dengan ekspresi wajah murung, tak bergairah. Saya sangat terkejut melihat sosoknya kali ini. Kurus kerempeng dengan mata cekung, sangat berbeda dengan Hamzah yang saya kenal dulu. Seperti biasa saya selalu menyanbutnya dengan hangat dan akrab.
“ Hai, tumben kamu kemari, Ham. Ada apa ni, Bung Ketua Senat?” saya menyapanya akrab.
Hamzah tak menjawab.
Raut wajahnya bagai menyiratkan penderitaan yang dalam. Ia begitu lain, sangat lain.
“ Rud,” kata Hamzah lirih, nyaris tak terdengar. “ Saya sudah kalah. Amat telak. Mereka mahasiswa yang dulu mendukung saya ….. mengirim mosi tidak percaya ke BPM ( Badan Permusyawa ratan Mahasiswa ) dan Dekan.
Mereka juga memasang Pamflet dan selebaran yang menghujat kepemimpinan saya. Saya dikudeta, dengan amat keji. Saya sudah kehilangan segalanya”.
Hamzah bertutur seperti orang kehabisan energi. Ia kemudian menutupi mukanya dengan kedua telapak tangannya. Saya jadi kasihan melihatnya.
“ Sudahlah, Ham. Kehidupan memang, sulit diduga. Sesuatu dapat terjadi tanpa kita dapat memperkirakannya sebelumnya. Ini sebuah resiko. Hadapi dengan tabah. Ingat, Ham. Masih ada saya, sahabatmu,” saya mencoba menghiburnya seraya menepuk nepuk pundaknya.
Hamzah mengangkat wajah. Duka di matanya belum menghilang.
“ Ternyata, menangani mahasiswa bukan seperti membuat dan membaca partitur, Fluktuasi melodinya sukar ditebak dan ritme dinamika kehidupan tidak setertib untaian not not balok pada partitur. Saya lupa, betul betul lupa. Selama ini, saya sudah terlena. Saya menganggap dunia yang saya geluti sekarang adalah cakrawala dengan denyut yang dapat saya jinakkan dan irama yang dapat saya mainkan begitu saja. Saya keliru. Saya begitu bodoh dengan mendikte kehidupan yang tanpa saya sadari, ternyata, hal yang terjadi justru sebaliknya, “ujar Hamzah dengan penuh penyesalan.
Saya tersenyum tulus, Hamzah menghela nafas panjang, kemudian menoleh ke arah saya.
“ Kau begitu baik, Rud. Maafkan saya telah melupakanmu,” kata Hamzah balas tersenyum.
“ Kita sama sama sibuk, Ham. Saya bahkan tidak tahu perkembangan teakhir yang terjadi di Fakultasmu,” kata saya berusaha menempatkan diri pada posisinya. Saya tidak ingin ia merasa terlalu “bersalah”.
“ Ngomong ngomong, kita ke rumahku, yuk Ajak Hamzah. “ Saya ingin membuat lagu. Sudah lama saya tak melakukannya,” katanya lagi.
“ Bagaimana dengan Irma? Apa tidak lebih baik kau ke rumahnya?” saya mengajukan alternatif.
“ Kami putus,” sahut Hamzah enteng.
“Lho, koq bisa ?” saya agak terkejut mendegarnya.
Hamzah Cuma menyengir kuda, lalu menjawab,” saranmu dulu ternyata cocok. Saya harus bercermin dulu sebelum berkencan dengannya”.
Kami tertawa bersama.
Hamzah terlihat sangat bahagia. Kami menyusuri pantai losari dengan motor butut milik saya. Malam yang indah, kami betul betul menikmatinya. Telebih bagi Hamzah, segala beban yang menghimpinya bagai diuapka ke udara. Bebas lalu lepas.
“ Bung pemusik, kita mau kemana nih?” Tanya saya sembari memutar kunci motor , setelah kami bersama sama menikmati nasi goreng dipinggir pantai Losari.
“ Rud, saya tak mau sebutan itu lagi.” Kata Hamzah keberatan.
Saya mengerutkan kening.
“ Lalu?”
“ Panggil saya musikus ” ujarnya tegas dengan kilat jenaka di matanya.
Kami tertawa lagi. Lebih keras.
Ternyata, hidup ini begitu lucu dan menggelikan.
========================================
Pengirim : AMRIL TAUFIQ GOBEL / amriltgobel
========================================