Ketika Nabi Muhammad menikahkan Fatimah dengan Ali bin
Abi Thalib, beliau mengundang Abu Bakar, Umar, dan
Usamah untuk membawakan persiapan Fatimah. Mereka
bertanya tanya, apa gerangan yang dipersiapkan
Rasulullah untuk putri kinasih dan keponakan
tersayangnya itu? Ternyata bekalnya cuma penggilingan
gandum, kulit binatang yang disamak, kendi, dan sebuah
piring.
Mengetahui hal itu, Abu Bakar menangis. Ya Rasulullah.
Inikah persiapan untuk Fatimahtanya Abu Bakar
terguguk. Nabi Muhammad pun menenangkannya,
“Wahai Abu Bakar. Ini sudah cukup bagi orang yang
berada di dunia”
Fatimah, sang pengantin itu, kemudian keluar rumah
dengan memakai pakaian yang cukup bagus, tapi ada 12
tambalannya. Tak ada perhiasan, apalagi pernik pernik
mahal.
Setelah menikah, Fatimah senantiasa menggiling gandum
dengan tangannya, membaca Alquran dengan lidahnya,
menafsirkan kitab suci dengan hatinya, dan menangis
dengan matanya.
Itulah sebagian kemuliaaan dari Fatimah. Ada ribuan
atau jutaan Fatimah yang telah menunjukkan kemuliaan
akhlaknya. Dari mereka kelak lahir ulama ulama ulung
yang menjadi guru dan rujukan seluruh imam, termasuk
Imam Maliki, Hanafi, Syafii, dan Hambali.
Bagaimana gadis sekarang? Mereka, memang tak lagi
menggiling gandum, tapi menekan tuts tuts komputer.
Tapi bagaimana lidah, hati, dan matanya? Bulan lalu,
ada seorang gadis di Bekasi, yang nyaris mati karena
bunuh diri. Rupanya ia minta dinikahkan dengan pujaan
hatinya dengan pesta meriah. Karena ayahnya tak mau,
dia pun nekat bunuh diri dengan minum Baygon. Untung
jiwanya terselamatkan.
Seandainya saja tak terselamatkan, naudzubillah min
dzalik Allah mengharamkan surga untuk orang yang mati
bunuh diri.
Si gadis tadi rupanya menjadikan kemewahan
pernikahannya sebagai sebuah prinsip hidup yang tak
bisa dilanggar. Sayang, gadis malang itu mungkin belum
menghayati cara Rasulullah menikahkan putrinya.
Pesta pernikahan putri Rasulullah itu menggambarkan
kepada kita, betapa kesederhanaan telah menjadi darah
daging kehidupan Nabi yang mulia. Bahkan ketika pesta
pernikahan putrinya, yang selayaknya diadakan dengan
meriah, Muhammad tetap menunjukkan kesederhanaan.
Bagi Rasulullah, membuat pesta besar untuk pernikahan
putrinya bukanlah hal sulit. Tapi, sebagai manusia
agung yang suci, kemegahan pesta pernikahan putrinya,
bukan ditunjukkan oleh hal hal yang bersifat duniawi.
Rasul justru menunjukkan kemegahan kesederhanaan dan
kemegahan sifat qanaah, yang merupakan kekayaan
hakiki.
Rasululllah bersabda, Kekayaan yang sejati adalah
kekayaan iman, yang tecermin dalam sifat qanaah. Iman,
kesederhanaan, dan qanaah adalah suatu yang tak bisa
dipisahkan.
Seorang beriman, tecermin dari kesederhanaan hidupnya
dan kesederhanaan itu tecermin dari sifatnya yang
qanaah.
Qanaah adalah sebuah sikap yang menerima ketentuan
Allah dengan sabar; dan menarik diri dari kecintaan
pada dunia.
Rasulullah bersabda, Qanaah adalah harta yang tak akan
hilang dan tabungan yang tak akan lenyap
========================================
Pengirim : Conan
========================================