Apapun namanya
kota sering menghancurkan kemanusiaan.
Orang orang jadi aneh menyimpang dari kegaliban.
Kuingat bergegas kita mencari pantai
menjerat matahari dan bulan.

JJ. Kusni dari puisi : Di detik ini.

Kata orang waktu terus berpacu dan merobah segalanya. Apakah kita ikut zaman atau ditinggalkannya, tak ada pilihan lain
Di luar kota besar, dimana saya tinggal, kalau ada anak perempuan yang kluyuran malam hari, semua orang gempar dan membicarakannya.
Tak pernah terdengar ada sepasang remaja pacaran berdua di taman sepi tersembunyi.
Tak pernah gadis hamil tanpa punya suami.
Kumpul kebo belum diciptakan dan orang tua tunggal tak ada yang tahu apa itu
Orang tua berarti ayah dan ibu yang kawin dan punya banyak anak.
Jelas dan tegas buat rakyat biasa

Tapi kini ada seorang penulis F.S Hartono (Yogyakarta) yang menulis (1998) : “Saya sangat terkesima ketika menyaksikan TV yang menayangkan wajah wajah penuh kegembiraan para penjarah bekas bongkaran sebuah gudang tua di Jakarta. Gambaran wajah para penjarah itu jelas menggambarkan bahwa mereka sama sekali tidak merasa telah melakukan perbuatan yang salah, yang merugikan orang lain”.
Lalu diteruskannya : “Mengingat penonton TV meliputi semua tingkat sosial dan umur dari masyarakat, termasuk anak anak remaja, saya khawatir kalau budaya pembenaran penjarahan ini akan menjadi contoh dan diteladani oleh kelompok kelompok masyarakat kita.
Gejalah ini sudah kita saksikan mulai dari kota besar, kota kecil bahkan sampai ke desa desa yang di zaman saya masih kecil, penduduknya sangat tabu dan malu melakukan perbuatan yang melanggar kaidah tata kerama serta norma yang berlaku. Mumpung belum membudaya dan parah, barangkali ada baiknya kalau para pakar hukum, aparat keamanan, bersama sama dengan para sosiolog, kriminolog serta pemuka agama segera mengatasi penyakit masyarakat ini.
Sungguh tak terbayangkan dan sangat mengerikan kalau sampai hal ini tidak teratasi.
Apakah kita akan menjadi “bangsa penjarah” yang melakukannya dengan penuh canda ria tanpa merasa berdosa.”

Di luar kota besar, orang bilang sangatlah perlu buat bangsa kita untuk bisa kembali punya rasa malu dan punya kehormatan serta harga diri
Orang Jepang yang selalu punya jiwa “Samurai”, kalau berbuat sesuatu yang memalukan dan merasa tak lagi punya kehormatan dan harga diri, mereka memilih “harakiri” atau mati yang terhormat.
Tempo doeloe nenek suka berperibahasa yang bilang : “Lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup bercermin bangkai “.
Semogalah seperti kata penulis F. S Hartono, yang namanya pemimpin, tokoh agama, kepala ini itu, adat istiadat dan suku, guru serta orang tua harus berjalan di depan sebagai teladan…………………..

Jika tidak, ingatlah apa yang dikatakan penyair W.S Rendra dalam puisinya “Sajak bulan Mei 1998 di Indonesia”. : “Apabila pemerintah sudah menjarah daulat rakyat, apabila cukong cukong sudah menjarah ekonomi bangsa, apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan, maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa, lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya”.

Masih ingat sama Joyoboyo?
Itulah zaman edan, dimana nilai dan moral terguling dalam comberan.

Udik tanah Australia 2004

========================================
Pengirim : Lasma Siregar
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *