Ketika aku mengenalnya pertama kali, bocah itu nampak kurus dan tampak sekali tidak terawat, pakain kumalnya jelas sekali telah beberapa hari tidak diganti, rambutnya nampak lusuh kemerahan, kulitnya menjadi gelap karena sengatan sinar matahari.
Tangannya menjinjing kotak semir, sambil mengusap peluh dikeningnya, dia datang mengahmpiri aku dan menawarkan jasa semir sepatu;
“Om semir Om, 500 perak “,
Aku tersenyum melihatnya kala itu, sepatuku memang kulit, tapi bahanya dari kulit no buck yg jelas butuh semir khusus untuk merawat sepatuku, tapi aku tak ingin membuat dia kecewa, aku suka dgn bocah yg rajin bekerja dan tentu saja aku prihatin dgn keadaannya saat itu;
“Adik kecil, sepatuku tak perlu di semir, kamu duduk bentar dan bercakap sebentar dgn aku ntar aku kasih 5.000 perak mau?”
Dia melongo menatapku, entah karena tak percaya atau karena kawatir aku punya niat jelek. Kereta yg kami tumpangi masih melaju, para pedagang sibuk menawarkan dagangannnya, para pengamen mulai bergerak dari gerbong ke gerbong.
Entah mengapa aku begitu suka naik kereta, kadang tanpa tujuan aku sekedar menghabiskan waktu liburan sambil melihat kehidupan langsung di masyarakat luas.
Sudah bebarapa tahun aku tinggal di German, disana yg namanya kereta api sunggh jauh berbeda dgn di Indonesia, baik kebersihan atau tarif untuk naik kereta api, di German kita bisa beli tiket di otomat, banyak pilihan yg bisa kita pilih, misalnya satu tiket single untuk satu hari penuh, untuk tiga hari, ataupun bisa juga partnert tiket untuk satu hari atau tiga hari, kita bisa keliling kota dgn satu tiket sampai seharian penuh, ada tiket kusus untuk dalam kota, luar kota dan untuk antar kota.
“Om nggak bercanda?” Suara anak kecil menydarkan aku dari lamunanku.
“Tentu nggak, tapi aku mau kamu cerita ke Om, aku ajukan pertanyaan dan kamu harus menjawabya, ntar kalo kelamaan aku kasih tips lagi” Dia masih melongo, lalu aku rogoh 5 ribuan dan aku kasihkan dia, tangan kecilnya yg kotor karena semir menerima uang itu dan mengucap ” Makasih Om Om mau tanya apa? “.
Dia duduk di sebelahku, aku belikan dia nasi bungkus, dan teh botol, aku juga ikut beli dan makan nasi bungkus itu, lalu mulailah aku menginterview nya.
Banyak sekali cerita dari mulut kecilnya, dari kisah pilu keluarganya yg serba kekurangan, himpitan ekonomi di tengah krisis yg terus menghantam Indoneisa, kala itu krisis di Inodesia lagi gencar gencarnya, antara tahun 2000 2001 aku lupa kapan tepatnya kejadian itu, yg pasti saat itu aku liburan musih panas, antara Juni September.
Aku tanyakan tentang sekolahnya, dia mengeluh, teramat sulit bagi dia membagi waktu antara kerja dan sekolah, padahal niat dan keinginannya untuk sekolah sangat kuat.
Dijalanan, katanya, terlalu banyak pengalaman pengalaman buruk yg menimpanya, demi sesuap nasi, demi membantu ibunya yg ditinggal pergi bapaknya, dia kadang semalaman tidak pulang rumah.
Tidur di stasiun kereta api adalah hal yg basa baginya, dia pernah coba coba merokok, katanya saat itu, dia merasa jadi hebat karena ada asap rokok keluar dari mulutnya, aku sempat tersenyum mendengar penuturan polosnya, tapi kemudian dia berhenti belajar merokok “Di marahi sama Mak, katanya pemborosan ”
Aku tersenyum mendengarnya, pemborosan bukan itu saja adik kecil, tapi penyakitan
Sementara dia ngoceh ngalor ngidul, pikiranku melayng ke masa masa aku selesai SMA, aku harus bepergian ke luar kota, aku tak punya mobil saat itu, tentu saja aku musti naik kendaraan umum, kereta api adalah pilihanku, dari pengalaman waktu itu aku banyak bergaul dgn anak anak jalanan yg malang nasibnya, nasibku sendiri tidaklah luar biasa, bahkan aku musti bertarung melawan kerasnya kehidupan ini nyaris tanpa bantuan orang tua sejak aku lulus SMA, beruntung aku dibelaki cukup pengetahuan dan didikan yg kuat, tradisi keluarga yg kuat, yg menjunjung tinggi kejujuran, moral, sopan santun dan agama (meski kemudian aku sadar ternyata aku tidaklah begitu kuat dalam hal fanatisme pada agama mungkin karena lingkunganku dimana aku tinggal).
Kira kira satu 45 menit dia ngobrol sama aku lalu aku putuskan untuk menjadi orang tua asuhnya, aku ketemu ibunya, lalu aku utarakan niatku untuk menjadi orang tua asuhnya. Aku ingin dia bisa belajar dengan tenang, sambil bekerja, nyemir sepatu bukanlah pekerjaan hina, bahkan butuh kekuatan mental, tidak semua anak atau orang dewasa sanggup melakukannya.
Aku atur dgn bank tempat aku menyimpan uangku untuk mendebet otomatis saldoku tiap bulannya dalam jumlah tertentu, tidak banyak memang, tapi lebih dari cukup untuk sekedar biaya sekolah dasarsampai waktu yg tidak terhingga atau sampai aku memutuskan untuk menghentikan bantuan itu, kebetualan aku kenal baik dgn direktur bank itu, jadi tak begitu sukar mengatur prosesnya.
Aku beri alamat tinggalku di German, Dietlindenstr. 7. 0.stock Scwhabing Munchen.
Aku ingin dia mengirim perkembangan kehidupannya, setidaknya satu bulan sekali, aku berikan cukup perangko.
Ibunya tidak bisa mengerti kenapa aku begitu baik padanya, sejujurnya aku juga tidak menjelaskan kenapa, begitu banyak anak jalanan di Surabaya, dan di kotakota besar lainnya, tapi kenapa dia? anak lelaki kecil yg kurus, berambut kemerahan berkulit gelap terbakar matahari, kenapa? aku juga tak habis pikir, itu semua terjadi begitu saja, mulanya aku mengamatinya saat dia keliling menawarkan jasa semir sepatu, dia begitu gigih dan sedikit memaksa, tapi dia sebisa mungkin membuat orang tidak terusik, aku sempat tersenyum melihat bakatnya untuk menjadi orang.
jelas secara fisik kami bertolak belakang, kulitku putih bersih, tubuhku cukup tinggi, lebih dari 175cm, tapi kenapa aku suka dgn anak kecil itu?
Kala itu, 2 3 tahun lalu, ketika kami berpisah, aku beri dia uang saku yg cukup, wajahnya berseri bahagia, aku sendiri merasa bahagia, rasa bahgia itu sungguh sangat menyentuh hatiku, mungkin aku rindu anak kecil, adik terkecilku sudah kuliah, tapi aku sendiri belum juga mempunyai anak, mungki itu sebabnya
Bulan berganti, tahun berganti, aku tak tak lagi menerima surat dari anak asuhku, hanya 6 bulan pertama aku tahu perkembangannya, kala itu dia masih berusia 11 tahun, tentunya sekarang dia sudah jadi remaja tanggung, 14 tahun
Aku penasaran ingin melihat perkembangannya, kebetulan aku musti ke Indonesia awal sammer tahun ini. Biaya pendidikannya masih rutin aku kirim lewat bank, tapi seperti apa dia sekarang aku tak tahu lagi. Dulu dalam surat suratku aku selalu sempatkan memberi dia wejangan tentang hidup, mungkin dia masih terlalu kecil untuk mengerti, tapi jauh didasar hatiku aku tahu dia cukup mengerti bagaimana memhami hidup, ditambah kerasnya kehidupannya sehari hari tentunya sangat membantunya untuk cepat menjadi dewasa.
Kali ini aku naik kereta lagi, aku parkir mobilku distasiun KA lalu aku naik KA jurusan Surabaya Sala, aku sangat rindu dgn hiruk pikuknya kereta apiku, dgn berseliwerannya segala macam manusia, dgn puluhan macam bau keringat mereka.
Seperti biasa, aku tidak suka duduk di tempat duduk, tapi aku memilih duduk di antara gerbong, melihat pemandangan, mendengar para pedagang jajanan sibuk mengtur jajanan dan menghitung recehan.
Masih cukup banyak juga para penyemir sepatu, pengamen, dan pengemis.
Pandanganku kosong melihat keluar jendela kereta, ketika mendadak aku merasakan benda dingin yg tajam menempel dipunggungku, terdengar suara pelan tapi penuh ancaman,
“Dompetnya Om Jangan berteriak kami lebih dari 7 orang ” Suara itu jelas bukan sura orang dewasa, tapi suara remaja tanggung Aku ingat benar, dulu semasa aku masih suka berambut panjang lebih dari sebahu, tak seorang premanpun berani menggangguku di manapun aku berada, tapi sekarang setelah rambutku aku potong pendek, tak ada lagi yg menakutkan mereka.
Aku menoleh kebelakang, kereta berjalan dgn kencangnya, aku nlihat 5 7 remnaja tanggung mengelilingi aku, aku tersenyum. Benda tajam itu semakin ditekan ke punggungku, tapi aku tenang saja, kalo aku mau, dgn sekali sentak aku bisa merebut bendatajam tersebut dan menghantam balik si penodong, tapi aku tak ingin melakukan itu.
Aku punya pikiran lain, lalu aku berkata cukup pelan ” Berapa yg kalian butuhkan?”
“Semuanya Om Cepat sebelum aku tusukkan pisau tajam ini ”
“Apakah kamu benar benar berani? ” tantangku dgn suara yg aku tenangkan. Memang diantara gerombolan itu ada pemuda yg cukup dewasa, mungkin 24 tahunan, dia mengawasiku dan mengawasi sekeliling.
“Crass ” pisau itu melukai sedikit punggungku, aku mengeluh kecil, tapi aku tahan rasa perih itu, itu sudah biasa pikirku, lalu dgn kecepatan yg sama sekali tidak diperhitungkannya aku berbalik dan merampas pisau itu, “plak” aku sempat menampar mukanya teman temannya jadi panick, tapi aku berkata cukup keras
“Diam kalian atau kalian mau mati dikeroyok penumpang lain? ”
Mereka saling pandang, gemetar
“Antok,” kataku kemudian kepada remaja tanggung yg menodongku tadi” Inikah hasil dari belajarmu? inikah balas budimu kepada orang tua asuhmu? lihat baik baik siapa aku. tiga tahun lalu kamu jadi tukang semir, lalu aku membawamu pada ibumu dan membiayai sekolahmu, bukankah kamu ingin jadi pilot? ”
Mata remaja tanggung tadi melotot menatapku, mukanya masih merah karena tamparan tanganku, pisaunya masih aku pegang.
“Om Viktor ? ” katnya melongo dan nyaris tak percaya dgn pandangannya.
“Ya, ini aku dulu memang aku masih gondrong tapi itu bukan hal yg penting, tapi kenapa dgn kamu? mana semangat hidup barumu? mana kepatuhan pada Mak mu? Bagaimana dgn proses belajarmu? mana surat suratmu? rupanya kamu telah menjadi penjahat kecil, hah ”
Tubuh remaja itu semakin menggigil, kereta berjalan semakin pelan, di stasiun berikutnya kereta itu harus berhenti, mendadak teman teman Antok berpencar kabur lari tunggang langgang, bahkan ada yg sampai lompat dari kereta ke sawah sawah.
Antok menunduk, lalu tiba tiba dgn kecepatan yg tidak aku duga dia juga telah berlari dan melompat dari kereta ke sawah sawah, kereta itu sudah tidak kencang lagi lajunya, jadi mereka bisa selamat meski pasti ada luka setelah itu.
Orang orang menghampiri aku dan bertanya ini itu, tapi aku cuma angkat bauh, aku bilang nggak tahu menahu.
Setelah itu aku tak ketemu lagi dgn Antok, aku sempatkan mampir ditempatnya dulu, tapi gubuk gubuk kumuh yg dulu banyak terjejer di sepanjang stasiun telah banyak yg digusur.
Ternyata liburan musim panas kali ini aku harus persingkat, karena urusan bisnis aku musti balik ke German.
Setelah aku confirm Thai airways untuk mengubah jadwal penerbangan, aku langsung balik ke German. Ini baiknya terbang pakai Thai airwys, kita tak perlu bayar fee untuk ganti jadwal penerbangan, coba kalo pake penerbangan lain, dulu saya pakai GIa harus bayar 125 eruos untuk merubah jadwal, jadi tiket murah kalo tidak fleksibel juga tidak banyak membantu.
Ketika tiba di apartment aku sempatkan mengecek kotak postku, teman teman lama danbebrapa tagihan ada di sana, laporan dari bank dan lain surat surat yg sudah seperti biasanya.
Mataku menatap sebuah amplop yg berperangko Indonseia, Antok, nama pengirimnya
Penasaran aku segara buka dan baca suratnya, tulisan tangannya masih seperti dulu, kasar dan tidak berturan
“OM Viktor, Antok minta maaf, Antok telah sesat, Mak meninggal dua tahun lalu, Antok nggak tahu lagi mau hidup bagaimana, kemudian antok ketemu Om Amir yg mengajarkan Antok jadi penjambret danpenodong. Benernya waktu dulu Om saya todong, Om telah dikuti sejak dari stasiun, tapi Om nggak ngerti pergerakan kami, jadi Om Viktor sudah kami incar, sayangnya Antok tak mengenali lagi Om Viktor, maaf Om, sekarang biarkan Antok membunuh impian Antok, biarkan nasib yg menentukan.
Sekali lagi maafkan Antok Om, moga kita tak pernah ketemu lagi, Antok malu sekali”
Aku termenung, satu lagi korban kerasnya kehidupan, satu lagi ketidakberdayaan nasib, apalah daya si Antok kecil yg harus harus sendirian di dunia ini melawan kejamnya keserakahan manusia, dan kejamnya tantangan hidup.
Yang miskin selalu saja sulit bangkit dari kemiskinan karena tidak cukupnya modal dan pengetahuan apalagi semangat untuk jadi kaya. S
Sementara yg kaya tidak lagi ingat pada yg miskin, seolah kekayaan itu jaminan kebahagiaan dan kemuliaan hidup, jangan kata sedekah, bertegur sapa dgn yg levelnya lebih rendah saja ogah ogahan.
Hidup ini memang kejam, egois, dan tak kenal kasihan
Tapi pakah kita tak ingin mengubahnya? meski cuma dalam skala terkecil sekalipun?
Sekecil apapun tindakan kemanusiaan kita, akan bisa mengurangi derita yg papa.
Ketidak pedulian kita pada si miskin adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan
========================================
Pengirim : Anonym
========================================